Kemajemukan di masyarakat pada dasarnya merupakan sebuah keniscayaan sebab hal tersebut merupakan ayat kauniyyah yang “by design” oleh Allah. Hal ini tampak dari keragaman orang yang, antara lain, tampak dari perbedaan jenis kelamin, etnis, suku, agama, golongan, kondisi ekonomi, budaya, dan afiliasi politik. Hanya saja, dalam kenyataan sering kita jumpai sebagian orang yang cenderung kurang menyadari hal ini. Bahkan, ada sebagian orang yang berusaha menghakimi orang lain dengan satu sudut pandang saja. Hal ini bisa menimbulkan kesalahpahaman, miskomunikasi, gesekan, ketegangan dan konflik di masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Rumah Kearifan mengadakan diskusi Bersama Mohammad Shofan, Direktur Program MAARIF Institute. Diskusi berlangsung di Ruang Serba Guna Rumah Kearifan lantai 1 pada tanggal 28 Mei 2023 yang diikuti oleh 30 orang dari beragam latar belakang.
Diskusi yang dipandu oleh Direktur Rumah Kearifan, Ziadatul Husnah, M.Pd., ini diantarkan oleh Dr. Muqowim, M.Ag., sebagai founder Rumah Kearifan yang juga dosen UIN Sunan Kalijaga. Dalam sambutannya, Dr. Muqowim menegaskan teori yang dikemukakan oleh Sadruddin Aga Khan terkait “the clash of ignorances”. Menurut Aga Khan, munculnya benturan, ketegangan dan konflik dalam masyarakat majemuk lebih banyak disebabkan oleh “benturan ketidaktahuan” antara satu orang atau komunitas dengan orang atau komunitas lain. Semakin seseorang mau memahami dan mengenal orang lain, semakin kecil akan terjadi benturan dan gesekan. Sebaliknya, semakin seseorang tidak memahami atau terhubung dengan orang lain, maka akain semakin besar kemungkinan terjadi prasangka, ketegangan dan konflik. Karena itu, kesediaan untuk menerima pihak lain yang berbeda tradisi atau kebiasaan akibat pengalaman dan pengetahuan yang berbeda menjadi sangat diperlukan dalam hidup bersama di masyarakat.
Sementara itu, dalam kesempatan ini M. Shofan selaku Direktur Program MAARIF Institute antara lain memaparkan tentang keunikan setiap orang yang harus dipahami setiap orang. Dalam konteks keindonesiaan yang majemuk hal ini sangat penting sebab seringkali kita jumpai berbagai ketegangan di masyarakat disebabkan oleh munculnya klaim kebenaran sepihak oleh sekelompok orang yang digunakan untuk menghakimi pihak lain. Dalam menghadapi perbedaan pendapat, terutama dalam memahami atau menafsirkan ajaran agama, seharusnya yang lebih dikedepankan adalah kesediaan tiap orang untuk mau mendengar dan memahami pendapat atau penafsiran dan logika orang lain. Sebab, bagaimanapun, sehebat apa pun pemikiran seseorang tentang ajaran agama, pada dasarnya bersifat relative, tidak ada yang berhak mengatakan pandangan dan argumen dirinya paling benar. Kebenaran absolut dan mutlak hanyalah milik Allah. Karena itu, yang perlu lebih dikedepankan adalah kesediaan mendengar dan menghargai pemikiran orang atau kelompok lain. Dalam konteks ini, negara seharusnya melindungi kebebasan berpendapat setiap orang.
Di akhir diskusi, Ziadatul Husnah menggarisbawahi tentang pentingnya kesediaan setiap orang untuk mau memahami, mendengar dan berdialog dengan orang lain yang berbeda. Dialog menjadi salah satu kunci agar klaim kebenaran seseorang tentang sesuatu tidak terjadi. Terlebih di era Revolusi Industri di mana media sosial berkembang sangat pesat sehingga setiap orang terhubung secara global. Setiap orang menjadi wartawan dengan smartphone yang dimiliki. Hanya saja, mayoritas orang belum mendapatkan “pelatihan etika jurnalistik”. Akibatnya, sering terjadi dijumpai unggahan di media sosial yang kurang empatik dalam menarasikan sebuah peristiwa, sebab narasi yang dibuat lebih didasarkan pada pendapat pribadi, kurang melihat perspektif banyak orang yang akan mengakses atau membaca narasi tersebut. Akibatnya, narasi yang diunggah tersebut menimbulkan persoalan di kemudian hari seperti ketegangan, prasangka atau konflik. Untuk itu, Direktur Rumah Kearifan ini menekankan pentingnya selalu bersikap arif dalam konteks masyarakat majemuk agar tercipta suasana yang penuh kedamaian dan kebahagiaan.