Oleh: Umu Nisa Ristiana, S. Sos. (Mahasiswi S2 Interdisciplinary Islamic Studies konsentrasi Bimbingan dan Konseling Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
“Wa Kafaa Bil Mauti Wa Idzho”
(Cukuplah Kematian Sebagai Pemberi Nasihat)
Tidak Memilih dan Tidak Bergejala
Siapa sangka tahun 2020 akan ada lebih dari 202.864 orang[1] di dunia yang harus kehilangan nyawa disebabkan oleh makhluk kecil berdiameter 125 nanometer[2] bernama virus SARS-coV-2 atau lebih familiar dikenal dengan penyakit Covid-19. Pada 9 Maret 2020, WHO mendeklarasikan Covid-19 sebagai sebuah pandemi sebab penyebarannya sudah berskala besar dan mengglobal.[3] Meskipun saat ini teknologi kedokteran berkembang pesat dan sudah canggih tapi tidak lantas mempermudah penemuan vaksin Covid-19, nyatanya sudah hampir sepuluh bulan semenjak virus SARS-coV-2 ditemukan di Wuhan, China bulan Desember 2019 vaksin ini belum kunjung ditemukan.
Hampir seluruh negara di dunia sedang berjuang melawan penyebaran Covid-19. Pemerintah berlomba-lomba merumuskan formula yang tepat untuk menekan angka kematian kasus Covid-19. Para ilmuwan di seluruh dunia juga sedang kejar target untuk membuat vaksin Covid-19. Kemudian juga, para tenaga medis harus berjuang menggunakan APD saat bertugas sebagai upaya melindungi diri agar tidak ikut tertular virus. Panas, sesak belum lagi harus menahan kencing selama berjam-jam itulah gambaran singkat duka menjadi tenaga medis saat menangani pasien Covid-19. Dan tidak terkecuali, seluruh masyarakat juga dipaksa untuk menerapkan kebiasaan baru sebuah protokol kesehatan seperti sering mencuci tangan selama 20 detik, menggunakan masker berlapis dan saling jaga jarak >1.5 meter.
Perjuangan dan kesulitan ini dialami oleh seluruh manusia di dunia, tanpa terkecuali. Namun, sayangnya sudah hampir sepuluh bulan virus ini tidak kunjung pergi malah justru semakin menjadi-jadi. Seperti sifat dasar virus pada umumnya, virus SARS-coV-2 juga ikut bermutasi. Pada awal Maret 2020 para ahli menemukan mutasi virus Covid-19 yang dinamakan D614G telah menyebar di Indonesia.[4] Aktivitas mutasi D614G membentuk dinamika baru dari penyebaran Covid-19 seperti yang disebutkan para ahli bahwa mutasi ini 10 kali lebih menular dibanding jenis mutasi virus Covid-19 lainnya.
Selain itu, pada Juni 2020 para ahli juga menemukan adanya gejala baru dari pasien Covid-19 yang disebut dengan Silent Hypoxemia kemudian berkembang menjadi Happy Hypoxia. Sebutan happy, karena pasien yang mengalami Silent Hypoxemia tidak mengalami napas tersenggal-senggal sehingga tetap dapat beraktivitas seperti biasa. Namun, jika diperiksa kadar oksigen dalam darah hasilnya sangat rendah. Kurangnya oksigen dalam darah membuat jaringan organ seperti otak, jantung, ginjal dan lainnya akan rusak dalam waktu yang singkat hingga dapat menyebabkan kematian secara mendadak.
Tonang Dwi Ardyanto seorang Ahli Patologi Klinis yang juga menjadi juru bicara Satgas Covid-19 di RS UNS mengatakan 80% pasien dengan kategori Orang Tanpa Gejala (OTG), separuh diantaranaya berakhir dengan kondisi Happy Hypoxia. Di Banyumas sendiri sudah ada tiga pasien yang meninggal diidentifikasi mengalami Happy Hypoxia.[5] Temuan gejala Happy Hypoxia pada pasien Covid-19 juga ditemukan hampir di seluruh dunia. Sampai saat ini peneliti masih melakukan kajian mengenai kasus Happy Hypoxia pada penderita Covid-19.
Adanya gejala Happy Hypoxia semakin membuat was-was dan cemas di tengah situasi pandemi saat ini. Orang yang terlihat sehat, bugar dan aktif beraktivitas tidak menjamin bersih dari virus, bisa jadi orang tersebut mengalami gejala Happy Hypoxia yang mana hanya bisa diketahui saat melakukan pemeriksaan. Gejala yang tidak terlihat jelas ini paling tidak berdampak pada dua hal, yakni peningkatan penyebaran virus yang massif jika seseorang ini berlaku abai dan juga berdampak pada dirinya sendiri dimana secara perlahan kadar oksigen yang berkurang memicu kegagalan organ jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat akan berujung pada kematian mendadak.
Melihat hal ini, pandemi Covid-19 bukan lagi menjadi barang remeh. Tiap orang berpotensi terkena Covid-19, tidak memandang status, jabatan dan kelas sosial. Apalagi adanya gejala Happy Hypoxia semakin membuat abu-abu antara orang yang sehat dan orang yang sakit. Belum lagi, ketidakpastian berakhirnya pandemi ini membuat situasi semakin mengkhawatirkan.
Penyakit baru dengan Penanganan Khusus
Seperti yang telah diketahui bahwa penyakit Covid-19 ini merupakan penyakit baru yang belum diketahui secara pasti penanganan dan obatnya, hanya diketahui bahwa penyakit ini mudah sekali menular sehingga proses perawatannya harus sangat hati-hati. WHO menjelaskan ada empat cara penularan Covid-19 yaitu; (1) Melalui droplet saat seseorang bersin, batuk, berbicara bahkan bernafas, (2) Melalui partikel-partikel kecil yang melayang di udara, (3) Melalui permukaan benda yang terkontaminasi akibat pernah tersentuh oleh seseorang yang positif Covid-19, (4) melalui fecal-oral (urin dan feses).
Selain itu, WHO juga menginformasikan ketahanan virus di permukaan benda mencapai tiga sampai tujuh hari. Kemudian, beberapa riset menambahkan informasi ketahanan virus Covid-19 di atas permukaan benda seperti pada benda berbahan kaca bisa sampai lima hari, benda dari kayu selama empat hari, plastik dan baja hingga tiga hari, karton selama 24 jam dan tembaga selama empat jam. Jika dimaknai secara mendalam, ketahanan virus di atas permukaan benda menyiratkan bahwa semua benda yang selama ini dibanggakan, dipamerkan dan dikejar-kejar untuk dimiliki mampu membawa sebuah penyakit yang mungkin berujung pada kematian.
Mengingat bahwa virus ini sangat mudah menular membuat prosedur penanganan Covid-19 dirancang sedemikian rupa dengan ketat. Adapun menurut WHO yang ditegaskan lagi oleh Kementerian Agama[6] prosedur penanganan pasien dan pengurusan jenazah Covid-19 sebagai berikut;
- Penanganan Pasien Covid-19
Tidak semua pasien positif Covid-19 perlu perawatan khusus, bagi orang yang mengalami gejala ringan seperti batuk dan demam ringan disarankan untuk melakukan isolasi mandiri dan memantau secara mandiri perkembangan gejala yang dirasakan. Isolasi mandiri artinya memisahkan diri dari orang sekitar guna mencegah penularan virus kepada orang lain. Isolasi mandiri di rumah dapat dilakukan dengan cara membatasi aktivitas di dalam kamar berventilasi baik yang dilengkapi dengan toilet dan tempat mencuci tangan atau jika tidak memungkinkan maka pisahkan tempat tidur kurang lebih satu meter dengan tempat tidur anggota keluarga lain. Kegiatan isolasi mandiri ini dilakukan selama 14 hari.
Namun, untuk orang yang mengalami gejala berat seperti batuk atau demam disertai dengan kesulitan bernafas/sesak napas, nyeri/tekanan dada, kehilangan kemampuan bicara atau bergerak disarankan untuk segera mencari pertolongan medis dengan menghubungi penyedia layanan kesehatan sehingga pasien dapat diarahkan ke fasilitas kesehatan yang tepat. Pasien postif Covid-19 bergejala serius akan ditempatkan di ruang isolasi dan dipantau oleh tenaga medis. Tidak sembarang orang boleh masuk di ruang isolasi termasuk anggota keluarga, hanya tenaga medis yang bertugas saja yang diperbolehkan memeriksa perkembangan kesehatan pasien itupun melalui protokol khusus dengan menggunakan Alat Pelindung Diri. Meskipun dalam ruang isolasi, pasien Covid-19 masih bisa berkomunikasi dengan keluarga melalui handphone. Selain itu, dokter dan perawat juga akan membantu proses komunikasi antara pasien dengan keluarga jika pasien sudah sulit untuk berbicara.
2. Pengurusan Jenazah Covid-19
Pada dasarnya penyakit Covid-19 bisa disembuhkan melalui penanganan yang cepat dan tepat. Tapi, Covid-19 juga berpotensi menghilangkan nyawa seseorang. Adapun prosedur yang dirancang untuk memandikan dan memakamkan jenazah Covid-19;
- Memandikan Jenazah Covid-19
Beberapa ahli menganggap jenazah Covid-19 masih berpotensi menularkan virus. Oleh sebab itu, aktivitas memandikan jenazah dilakukan dengan cara khusus seperti jenazah dimandikan tanpa melepaskan pakaian atau apabila tidak memungkinan untuk jenazah dimandikan maka diperbolehkan dengan cara tayamum. Sesuai syari’at Islam, seseorang yang memandikan jenazah wajib berkelamin sama atau jika tidak memungkinkan jenazah dimandikan dengan menggunakan pakaian untuk menjaga ketentuan syar’i. Setelah proses memandikan, kemudian jenazah dikafani dengan kain yang menutup seluruh tubuh. Jika dikhawatirkan jenazah tersebut masih mengeluarkan cairan yang mampu menularkan virus maka dilapisi kembali dengan plastik yang tidak tembus air. Selanjutnya disemprot dengan cairan klorin sebagai disinfektan.
- Memakamkan jenazah Covid-19
Setelah proses memandikan dan mengkafani, jenazah ditaruh di peti mati dengan posisi miring ke kanan untuk jenazah Muslim agar saat dimakamkan posisi jenazah menghadap ke kiblat. Kemudian, untuk proses mensolati jenazah dapat dilakukan oleh satu orang dan dapat dilakukan di tempat pemakaman. Jenazah yang yang sudah dimandikan dan disholati harus segera dimakamkan tidak lebih dari empat jam.
Dari informasi penanganan pasien dan pengurusan jenazah Covid-19 dapat terlihat bahwa semua berjalan dengan cara khusus dan sangat berbeda dari penanganan jenis penyakit lainnya.
Kisah yang Ditinggalkan dan yang Meninggalkan
Media sosial memberikan ruang kepada orang yang ditinggalkan untuk menuangkan kisahnya sebagai bentuk peringatan bahwa Covid-19 benar nyata adanya. Seperti kisah viral Dea Winnie Pratiwi yang harus kehilangan tiga keluarganya secara berturut-turut mulai dari ayah, ibu dan kakak kandung beserta janin yang dikandungnya. Ayah Dea menjadi orang pertama yang meninggal akibat Covid-19 pada tanggal 30 Mei 2020, kemudian kakak Dea pada tanggal 31 Mei 2020 dan terakhir ibu Dea yang berpulang pada tanggal 2 Juni 2020. Bahkan Dea sendiri juga ikut terinfeksi Covid-19 sampai indera pengecap dan penciumannya sempat hilang. Berjuang sendiri setelah ditinggalkan oleh orang terkasih menjadi kisah paling memilukan dalam kehidupan Dea Winnie Pratiwi.
Ada juga kisah dari Syah Fridan Alif yang harus kehilangan seluruh keluarganya (ayah, ibu dan nenek) dalam waktu singkat bahkan dirinya juga turut terkena Covid-19 sehingga harus menjalani perawatan selama 18 hari. Hanya berselang 30 menit Fridan kehilangan ayah kemudian disusul oleh ibunya, keesokan harinya nenek Fridan juga harus ikut berpulang. Ditinggalkan oleh orang terkasih kemudian harus berjuang melawan virus sendirian tanpa ada dukungan orang-orang terdekat membuat Fridan merasakan sedih yang berlipat ganda.
Masih berlatar di Jawa Timur, kisah yang diceritakan sendiri oleh Agi Arinta yang harus kehilangan istri dan anaknya akibat Covid-19 di usia pernikahan yang baru menginjak satu tahun. Kejadian ini membuat Agi merasa marah, kesal dan kecewa. Belum lagi, pada akhir Juli 2020 ia sempat sembuh dari Covid-19 kemudian positif kembali pada pertengahan Agustus 2020. Berpindah ke Jakarta, Agus Langgeng mencurahkan kesedihannya saat ditinggalkan oleh kakak ipar dan bibi tercinta sebab terinfeksi Covid-19. Kesedihan semakin mendalam saat keluarga tidak bisa melihat atau mengantarkan jenazah kakak tercinta untuk terakhir kalinya. Agus Langgeng juga merasa kasihan dengan kakaknya yang harus pergi tanpa mendapatkan penghiburan dari orang-orang yang dicintainya.
Kisah-kisah pilu ini menyiratkan bahwa Covid-19 benar-benar penyakit yang serius dan tidak boleh diremehkan. Covid-19 mampu membuat seseorang dengan singkat kehilangan nyawanya. Tidak hanya itu, prosedural khusus yang harus dijalani oleh jenazah Covid-19 membuat semakin sunyi kepulangannya. Anggota keluarga yang diharapkan mengurus jenazahnya tidak dapat berbuat apa-apa, sebab seluruh proses mulai dari memandikan, mengkafani, mensholatkan dan memakamkan hanya boleh dilakukan oleh petugas khusus yang menggunakan Alat Pelindung Diri.
Kesedihan anggota keluarga yang ditinggalkan juga begitu mendalam mengingat semenjak orang yang terkasih mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit, keluarga tidak bisa membesuk dan bertemu. Momen terakhir bertemu adalah saat mengantarkannya untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit, setelah itu tidak ada kesempatan lagi untuk bertemu dan melihat langsung perkembangan kesehatannya. Mendapatkan perawatan dalam kondisi khusus seperti ini bukan hanya melawan virus saja, namun juga melawan kesunyian. Sebab, mulai dari penanganan sampai masuk ke liang kubur semua proses harus dilalui dalam kondisi jauh dari keluarga. Harapan untuk dirawat keluarga saat kondisi sakit sudah tidak memungkinkan akibat adanya prosedur penanganan pasien Covid-19 yang cukup ketat, belum lagi jika memang sudah waktunya “pergi” keluarga tidak diperbolehkan ikut memandikan, prosesi sholat jenazah juga dibatasi jumlahnya, bahkan saat mengantarkan ke liang kubur pun keluarga hanya diperbolehkan melihat dari jarak yang cukup jauh. Covid-19 benar-benar membuat kepergian terasa lebih sunyi dari biasanya.
Bincang-Bincang Kematian
Tidak semua orang senang membicarakan kematian. Kematian dinilai sebagai sesuatu yang pamali untuk dibicarakan entah dianggap sebagai tanda sedang “diujung jalan” atau hanya karena takut saja, saking takutnya banyak yang memilih untuk melupakan topik ini. Namun, memilih untuk melupakan mati atau kematian bukan berarti menghilangkan kepastian akan kematian. Paling tidak ada dua alasan mengapa seseorang takut mati yaitu takut dengan hukuman di kehidupan selanjutnya dan takut kehilangan semua pencapaian yang ada di dunia. Seringkali orang kelewat takut, sampai menganggap waktu hidupnya masih lama.
“Ah masih ada besok hari” kalimat yang menganggap bahwa waktu yang dimilikinya masih panjang. Namun, kondisi pandemi saat ini menyiratkan sebuah ketidakpastian masa depan yang mana membuat kematian terasa jauh lebih dekat. Apalagi, setelah mendengar kisah duka para korban Covid-19 yang harus merenggut nyawa dalam waktu singkat.
Sebenarnya, banyak keutamaan dari mengingat kematian, mengutip dari kalimat Bones dalam film Star Trek Beyond (2016) “Fear of death is what keeps us alive” artinya ketakutan akan kematian yang membuat kita tetap hidup. Hidup disini tidak hanya diartikan sekedar bertahan hidup, tetapi jauh lebih dari itu yakni hidup yang bermakna dan memberi makna.
Adapun beberapa keutamaan mengingat mati atau kematian, seperti;
- Tidak Mudah Kehilangan Arah
Mengingat bahwa kematian itu dekat membuat seseorang juga teringat dengan misi hidupnya. Sehingga segala keputusan dan perbuatan yang diambil didedikasikan untuk mencapai misi dalam hidupnya. Meskipun, diluar sana akan ada banyak godaan, tetapi bagi seseorang yang selalu mengingat kematian membuatnya untuk tetap berjalan di jalan yang benar.
2. Meningkatkan Optimisme dan Ketekunan dalam Melaksanakan Kewajiban
Seringkali manusia lebih fokus pada pemenuhan hak tanpa serius melaksanakan kewajiban. Jika terkait pemenuhan hak, ia akan melakukan segala cara untuk memenuhinya bahkan dengan cara-cara yang buruk sekalipun. Hal ini sedikit banyak membentuk manusia menjadi semakin egois, hanya memikirkan dirinya sendiri. Dengan mengingat kematian, seseorang akan lebih fokus pada pelaksanaan kewajiban daripada pemenuhan hak, sehingga lebih merasa ikhlas dalam beramal.
3. Mudah Bersyukur
Mengingat kematian meningkatkan rasa syukur terhadap apapun nikmat dan kesempatan kecil yang datang dalam kehidupan kita baik dan buruk dinilai sebagai sebuah anugerah yang patut disyukuri sebab jika kita meninggal, nikmat dan kesempatan ini tidak akan pernah dirasakan lagi.
4. Hidup Lebih Berkesadaran
Banyak dari kita yang terlalu banyak memikirkan masa depan sampai lupa dengan kesempatan yang sedang dijalani. Dengan mengingat kematian mendorong kita untuk bekerja dan beraktivitas semaksimal mungkin seakan besok hari kita akan meninggal. Hal ini membuat semua yang sedang dijalani dilakukan dengan sadar dan fokus.
Banyak hal yang dapat didapatkan dari mengingat kematian. Adanya pandemi Covid-19 ini dapat dijadikan sarana untuk sejenak merefleksikan diri pada hal-hal yang selama ini sempat terabaikan. kematian memang sarat dengan kesedihan, namun kematian juga menyiratkan pelajaran yang mendalam terkait memaksimalkan waktu yang telah dianugerahkan Tuhan. Seringkali, kita terlampau nyaman dengan dunia sampai tidak ingat dengan kehidupan akhirat. Seringkali, kita menganggap kematian masih jauh masanya sampai hidup diisi dengan hal-hal yang tidak penting. Namun, pandemi Covid-19 ini menyadarkan bahwa kematian terjadi sangat singkat dan sunyi.
[1] Kompas.com, “Korban Meninggal Covid-19 di Seluruh Dunia Capai 202.000 Orang.”
[2] Antaranews.com, “Virus Corona Berukuran 400-500 Mikrometer? Ini Faktanya”
[3] Covid-19.go.id “Tanya-Jawab, Apa yang Dimaksud Dengan Pandemi”
[4] Kompas.com, “Alasan Mutasi Virus D614G Tak Memengaruhi Pengembangan Vaksin Covid-19.”
[5] Tirto.id, “Gejala Happy Hypoxia Covid-19 yang Bisa Sebabkan Pasien Meninggal.”
[6] Indonesia.go.id, “Tata Cara Pengurusan dan Penguburuan Jenazah Covid-19”