Sebagai sebuah ilmu, pendidikan berkembang secara dinamis dan kontekstual sebab konsep tentang profil manusia yang ideal selalu baru dan berubah seiring dengan perubahan dan perbedaan ruang dan waktu di mana proses pendidikan berjalan. Dalam konteks praktis, secara internal pendidikan harus dilihat sebagai sebuah sistem yang melibatkan banyak anasir atau komponen. Di antara komponen tersebut antara lain kurikulum, pendekatan dan strategi, pendidik, peserta didik, lingkungan, penilaian, dan sumber belajar. Sementara itu, secara eksternal, praktik pendidikan melibatkan banyak disiplin lain yang relevan seperti sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi, manajemen, dan sains-teknologi.
Secara normatif pandangan Islam tentang pendidikan pada dasarnya sudah ideal, namun secara historis, praktik pendidikan sangat ditentukan atau dipengaruhi oleh kualitas, kapasitas dan kompetensi pelaku [umat Islam] itu sendiri. Semakin berkualitas dan kompeten praktisi pendidikan, maka semakin ideal sebuah praktik pendidikan. Sebaliknya, ketika kapasitas dan kompetensi pelaku pendidikan menurun, maka kualitas praktik pendidikan juga otomatis akan menurun. Karena itu, para praktisi pendidikan seharusnya menyadari pentingnya meningkatkan kualitas diri secara terus-menerus khususnya terkait dengan semua perspektif yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan pendidikan secara ideal. Dalam konteks penyediaan praktisi pendidikan, LPTK mempunyai tanggung jawab menyiapkan SDM pendidikan dengan memberikan perspektif yang menyeluruh terkait konsep dan praktik pendidikan.
Terkait dengan pemikiran di atas, Program Studi Pendidikan Agama Islam FITK UIN KHAS Jember mengadakan Seminar Nasional tentang Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner. Kegiatan yang dikemas secara hybrid (luring dan daring) ini diselenggarakan pada tanggal 21 Juni 2023 yang diikuti oleh lebih dari 100 orang dari unsur dosen dan mahasiswa. Kegiatan diawali dengan laporan panitia oleh Ibu Dr. Fathihaturohmah dan dibuka secara resmi oleh Dekan FITK, Ibu Prof. Dr. Mukni’ah. Pada kesempatan ini Dekan menekankan pentingnya melakukan kajian secara terus-menerus dan komprehensif terkait dengan Pendidikan Islam sebab tantangan dan permasalahan terus berubah. Semua civitas akademika, terutama dosen dan mahasiswa, harus terus meng-update ilmu pengetahuan agar tidak ketinggalan sebab pendidikan membutuhkan keilmuan lain. Karena itu, kegiatan ini sangat penting dan dapat dijadikan bahan refleksi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, terutama di Tarbiyah.
Selanjutnya, pada kegiatan ini Dr. Muqowim menekankan pentingnya menggunakan pendekatan multidisipliner dalam pendidikan sebab pendidikan termasuk ilmu sosial terapan yang selalu berkaitan dan membutuhkan disiplin ilmu lain. Gagasan tentang pendekatan multidisipliner ini banyak terinspirasi oleh Amin Abdullah terutama dikaitkan dengan konteks masyarakat majemuk. Menurut Muqowim, yang perlu mendapatkan banyak perhatian dalam isu tersebut adalah mengubah mindset para pelaku Pendidikan meskipun hal ini memerlukan waktu yang tidak sebentar. Hal ini dapat dimulai dengan memaknai pendidikan secara filosofis sebagai proses transformasi untuk menghasilkan individu yang berkesadaran transformatif.
Sejauh ini, masih banyak proses pendidikan yang mampu menghasilkan pribadi yang berpikir kritis, sistemik dan sebagai problem solver. Mengapa terjadi demikian? Pertama, masih terjadi diskrepansi antara konsep dan praktik pendidikan. Secara teoritik, makna pendidikan sebenarnya sudah dirumuskan secara ideal, terlebih pendidikan yang berbasis ajaran Islam, namun praktiknya belum sepenuhnya berjalan ideal. Sebagai sebuah gambaran, pendidikan seharusnya mencetak insan kamil, namun realitasnya masih “instan kamil”, manusia instan yang mempunyai karakter cross-cut, mental menerabas. Pendidikan seharusnya menghasilkan individu yang bahagia, namun faktanya sering kita jumpai produk pendidikan yang cenderung galau dan tidak siap menghadapi realitas kehidupan.
Selanjutnya, pendidikan cenderung fokus menggarap aspek fisik-material semata, kurang menekankan aspek mental-spiritual. Yang pertama fokus pada kesadaran tubuh (body consciousness), sedangkan yang kedua lebih pada kesadaran jiwa (soul consciousness). Model pendidikan pertama lebih cenderung menganggap pendidikan sebagai proses administratif-formal yang bersifat rutinitas-robotik, kurang menyentuh pada jantung pendidikan yaitu jiwa itu sendiri. Sementara itu, model pendidikan tipe kedua lebih menekankan pada jiwa, sebab jiwa yang notabene sebagai suprastruktur dalam pendidikan menjadi penentu semua praktik pendidikan. Selain itu, pendidikan seharusnya lebih menitikberatkan pada aspek touching (menyentuh) daripada teaching (mengajar). Touching berarti transfer of values, yang lebih berorientasi menyentuh jiwa atau suprastruktur, sedangkan teaching lebih menekankan transfer of knowledge yang cenderung menggarap aspek raga atau infrastruktur.
Berdasarkan pemikiran tersebut, ada beberapa hal yang perlu direfleksikan ulang sebagai wujud memaknai kembali pendidikan terutama dari aspek paradigma, kebijakan, program, SDM, dan praktik di lapangan. Dari konteks paradigma, tujuan utama pendidikan adalah menghidupkan kualitas hebat dan sempurna setiap individu sebagai makhluk ciptaan Allah Sang Maha Sempurna. Kualitas hebat ini dimiliki oleh setiap insan yang melekat saat diciptakan oleh Allah swt. Hanya saja, kualitas ini bersifat ruhani, bukan jasadi. Paling tidak ada lima kualitas jiwa yang dimiliki setiap manusia ketika diciptakan Sang Khalik yaitu penuh kedamaian, cinta, kebahagiaan, daya dan kemurnian.
Tujuan pokok pendidikan adalah menghidupkan dan mengimplementasikan lima kualitas tersebut, bukan membicarakan, menjelaskan atau mewacanakannya. Ada istilah the heart of education is education of the heart and from the heart, inti pendidikan adalah pendidikan hati dan dari hati. Jika proses dan praktik pendidikan berorientasi ke arah menghidupkan lima kualitas tersebut, maka kita bisa menjadi diri yang penuh dengan nilai kedamaian, cinta, kebahagiaan, daya dan ketulusan. Apa pun profesi yang kita tekuni, kalau kita mempunyai kelima kualitas ini, maka hidup menjadi indah dan nyaman di mana pun kita berada. Aspek tujuan pendidikan ini hakikatnya terkait dengan paradigma dan filsafat pendidkan itu sendiri.
Hal penting lain terkait dengan paradigma dalam pendidikan adalah makna manusia itu sendiri. Manusia dalam konteks pendidikan perlu dipahami sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang multidimensional, unik dan sempurna. Aspek multidimensional manusia antara lain tampak dari segi fisik, akal, mental, dan sosial. Manusia tidak hanya dilihat dari dimensi ragawi yang membedakan satu orang dengan yang lain. Hal ini tampak dari berat badan, warna kulit, tinggi badan, jenis kelamin, dan wajah. Kalau aspek ini saja yang dilihat, maka akan muncul tindakan diskriminatif antara satu individu dengan yang lain, sebab ukuran kehebatan dari dimensi material. Karena itu, dimensi akal, mental dan sosial juga harus ditekankan. Setiap individu mempunyai ide dan gagasan yang berbeda.
Meskipun pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki sama, boleh jadi apa yang dipahami berbeda, bahkan bisa bertolak belakang. Selain itu, setiap individu mempunyai perkembangan psikologi yang unik. Apa yang dialami dan dirasakan satu orang dengan yang lain pasti berbeda, meskipun mempunyai bacaan literatur yang sama. Dari aspek sosial, setiap orang, meminjam terma dari Donna Haraway, mengalami situatedness, terkondisi dalam situasi tertentu tanpa daya, tinggal menerima begitu saja. Ketika seseorang dilahirkan oleh orang tua tidak berpendidikan formal, di desa terpencil dan dalam konteks masyarakat miskin, dia tidak bisa memprotes Allah SWT yang dianggap “seakan” tidak adil terhadap dirinya. Yang perlu dilakukan adalah bukan menyesali dan meratapi kondisi yang ada, cenderung menjadi pribadi berbasis masalah, namun harus berubah menjadi pribadi yang berbasis pada solusi. Jika yang pertama cenderung membawa masa lalu dalam konteks kekinian, sedang tipe kedua cenderung membawa masa depan ke masa sekarang.
Dimensi kedua yang perlu dilihat sebagai turunan dari yang pertama, paradigma, adalah kebijakan. Kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pihak pimpinan lembaga pendidikan atau yang mempunyai otoritas itu, seharusnya didasarkan pada paradigma pendidikan sehingga tidak asal membuat kebijakan. Kebijakan dalam konteks pendidikan antara lain kurikulum, pendekatan pembelajaran, pendidik, infrastruktur, penilaian, lingkungan, pembiayaan, dan manajemen. Semua aspek kebijakan ini seharusnya dibuat sebagai turunan (breakdown) dari paradigma dalam pendidikan, tidak sekedar membuat kebijakan. Sebagai contoh, kurikulum yang didesain seharusnya memberikan pengetahuan dan pengalaman sebanyak mungkin kepada peserta didik yang bertujuan menghasilkan profil lulusan yang lebih menghidupkan nilai-nilai positif (living positive model).
Karena itu, domain kognitif, afektif dan psikomotorik benar-benar perlu menjadi pertimbangan dalam mendesain kurikulum. Pendekatan pembelajaran yang menjadi aspek kebijakan pendidikan yang lain juga harus dibuat untuk lebih membiasakan peserta didik mempunyai dan menghidupkan kualitas jiwa positif. Hal ini juga berlaku untuk penilaian pendidikan. Pendidikan dianggap berhasil jika profil lulusan mempunyai dan menghidupkan kualitas jiwa positif, apa pun profesi yang ditekuni. Untuk menghasilkan profil lulusan seperti ini dunia pendidikan membutuhkan pendidikan yang mampu menjadi model positif, tidak hanya menjalankan fungsi teaching, namun yang terpenting adalah fungsi touching.
Setelah aspek kebijakan dalam pendidikan berubah atau dimaknai kembali secara positif, aspek program juga harus mampu menjabarkan kebijakan tersebut dengan paradigma positif. Semua kegiatan yang ditawarkan kepada peserta didik harus mengacu pada paradigma di atas. Dalam hal ini, pihak yang harus menindaklanjuti paradigma dan kebijakan pada tingkat praktis tidak hanya pendidik saja namun semua pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan juga harus melakukan hal yang sama seperti tenaga kependidikan, orangtua, dan masyarakat. Dalam hal ini semua anggota stakeholder pendidikan hakikatnya adalah guru, yang seharusnya mampu menampilkan diri sebagai living positive model bagi peserta didik, tidak hanya guru di kelas. Satpam, tukang parkir, pegawai cleaning service, tukang kebun, sopir, tukang masak, dan pustakawan harus mampu menjadi model positif juga sehingga terjadi sinergi dan mempunyai spirit yang sama. Karena itu, aspek personnel (SDM) dalam pendidikan juga harus menjadi perhatian serius.
Sejauh ini, SDM pendidikan yang dianggap penting adalah hanya pendidik atau guru saja, sedangkan SDM lainnya dianggap hanya “lampiran” atau “pelengkap penderita” semata. Pengembangan kualitas dan kapasitas SDM pendidikan sejauh ini juga lebih fokus pada aspek hardskills saja, bukan softskills, sebagai dimensi yang jauh lebih penting. Sebab, lebih dari 80% keberhasilan pendidik ditentukan oleh soft competence, bukan hard competence. Hard competence (HC) dalam konteks keguruan adalah kompetensi profesional dan kompetensi pedagogis, sedangkan soft competence (SC) adalah kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. HC lebih fokus pada pengetahuan dan keterampilan teknis yang membedakan profesi guru dengan profesi lain seperti dokter, jurnalis, pemain bola, akuntan, dan pengacara. Sementara itu, SC diperlukan oleh semua profesi. Dengan kata lain, apa pun profesi seseorang, SC-nya sama seperti bertanggung jawab, jujur, integritas, proaktif, inisiatif, komitmen, bekerjasama, komunikatif, toleran, mau belajar, mau berubah, dan mampu beradaptasi.
Dimensi terakhir dari perubahan dalam pendidikan adalah praktik pendidikan itu sendiri. Sehebat apa pun konsep dan teori yang kita miliki tentang pendidikan kalau tidak diimplementasikan secara nyata maka hanya sebatas jargon. Karena itu, aksi nyata diperlukan untuk melakukan perubahan, apa pun hasilnya. Langkah keseribu tidak akan terjadi tanpa langkah pertama. Dalam konteks perubahan, ada dua fase yang perlu dilalui yaitu mental creation dan physical creation. Yang pertama terkait dengan paradigma, nilai, cita-cita, rencana, mimpi dan tujuan, sedangkan yang kedua terkait dengan tindakan nyata. Jika melibatkan lebih dari satu orang, langkah kedua memerlukan penyatuan ide, persepsi dan gagasan agar cita-cita dan mimpi yang telah dibuat dapat segera ditindaklanjuti, sebab boleh jadi ada perbedaan cara mewujudkan mimpi yang telah dibuat. Karena itu, sinergi, komunikasi dan team building sangat diperlukan untuk mewujudkan mimpi bersama.