Konsep dan Praktik Pembelajaran Seharusnya Berubah! [4]

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Teori Pembelajaran Harus Dinamis!
Sebagaimana dijelaskan di atas, meminjam paradigma Thomas S. Kuhn, paradigma dan teori dalam ilmu pengetahuan seharusnya berkembang secara dinamis seiring dengan tantangan dan problem yang dihadapi manusia. Ibarat alat, teori seharusnya berubah seiring dengan tantangan yang terus berubah. Hal ini menuntut ilmuwan terutama ilmuwan pendidikan untuk melakikan kajian dan penelitian secara terus-menerus dan berkelanjutan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Piaget, ketika yang diamati dan diteliti adalah manusia yang berbeda, maka teori yang dihasilkan otomatis berubah. Hanya saja, dinamika pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan sangat dipengaruhi oleh paradigma ilmuwan pendidikan itu sendiri.

Paling tidak ada tiga paradigma dalam penelitian yang perlu kita pahami bersama. Paling tidak hal ini menurut Sotirios Sarantakos dalam Social Research. Menurutnya ada tiga paradigma penelitian yang dapat digunakan untuk memotret arah penelitian yaitu paradigma positivistik (positivistic paradigm), paradigma interpretif (interpretive pradigm), dan paradigma transfomatif (transformative paradigm). Paradigma positivistik biasa digunakan oleh peneliti untuk memecahkan problem penelitian dengan menggunakan teori atau pendekatan tertentu. Hubungan antara peneliti dengan yang diteliti seperti subyek dan obyek. Terhadap obyek yang diteliti peneliti berupaya untuk judging (menghakimi), measuring (mengukur), evaluating (mengevaluasi), verifying (memverifikasi), associating (mengasosiasikan), comparing (membandingkan), dan correlating (mengkorelasikan). Untuk dapat melakukan hal ini sebelum terjun ke lapangan seorang peneliti “harus sudah lengkap atau siap dengan senjata atau teori”.

Keilmuan yang sering digunakan oleh peneliti dengan paradigma positivistik adalah ilmu alam seperti matematika, fisika, kimia, dan statistik, tapi beberapa keilmuan lain juga sering digunakan misalnya psikologi dan sosiologi. Obyek penelitian ditelaah dengan kerangka teori tertentu. Sebagai sebuah ilustrasi sederhana, ketika seorang peneliti melihat fenomena anak berlarian di kelas, jika paradigma yang digunakan positivistik, maka boleh jadi perilaku anak tersebut akan dikategorikan pada standar tertentu seperti “anak nakal atau hiperaktif”. Ketika melihat ada peserta didik yang diam dan duduk paling belakang di kelas boleh jadi akan dikelompokkan sebagai anak kurang minat belajar, tidak konsentrasi, dan motivasi rendah. Semua “judge” tersebut muncul karena peneliti menggunakan teori yang dimiliki seperti psikologi. Padahal, fenomena anak duduk diam di belakang boleh jadi bukan karena tidak cerdas atau kurang minat belajar, tapi karena dia mempunyai karakter introvert atau mempunyai kecerdasan intrapersonal.

“Keilmuan yang sering digunakan oleh peneliti dengan paradigma positivistik adalah ilmu alam seperti matematika, fisika, kimia, dan statistik, tapi beberapa keilmuan lain juga sering digunakan misalnya psikologi dan sosiologi.”

Dr. Muqowim, M. Ag.

Paradigma riset yang kedua, interpretif, biasa digunakan oleh peneliti yang menggunakan pendekatan [keilmuan] antropologi, fenomenologi, hermeneutik, sejarah, semiotik, sebagian psikologi, dan sebagian sosiologi. Terhadap obyek yang diteliti peneliti melakukan proses understanding (memahami), interpreting (menafsirkan), dan describing (menggambarkan). Sebelum terjun meneliti seorang peneliti “tidak harus” membekali dengan senjata lengkap (teori), namun menggunakan asumsi-asumsi tertentu yang relevan dengan obyek penelitian. Teori diperlukan untuk lebih memahami obyek riset tapi tidak digunakan secara ketat sebagaimana paradigma positivistik. Teori digunakan untuk lebih memahami realitas yang diteliti. Hubungan peneliti dengan subyek yang diteliti bukan subyek dan obyek sebagaimana paradigma positivistik, namun hubungan subyek-subyek. Sebagai ilustrasi, ketika di kelas seorang peneliti melihat ada peserta didik yang duduk diam di deretan kursi belakang tidak langsung “menghakimi” dengan teori yang ada, namun peneliti berusaha lebih memahami peserta didik tersebut. Peneliti harus mampu “menahan diri” memberikan analisis berdasarkan ukuran teori yang dimiliki, namun dia berupaya lebih menggali apa yang sebenarnya terjadi. Boleh jadi fenomena peserta didik tersebut bukan karena dia tidak mempunyai minat belajar tinggi namun dia mungkin sedang melakukan “refleksi” dengan caranya sendiri. Melihat subyek penelitian menurut keunikan masing-masing orang menjadi ciri tersendiri dari paradigma interpretif ini.

“Paradigma riset interpretif, biasa digunakan oleh peneliti yang menggunakan pendekatan [keilmuan] antropologi, fenomenologi, hermeneutik, sejarah, semiotik, sebagian psikologi, dan sebagian sosiologi.”

Dr. Muqowim, M. Ag.

Jika paradigma positivistik cenderung menggunakan “etik”, melihat fenomena dengan norma tertentu, maka paradigma interpretif menggunakan “emik”, melihat fenomena menurut subyek itu sendiri. Sebagai ilustrasi lain, ketika ada pertanyaan tentang apa arti kyai, jika menggunakan aradigma positivistik, maka semua jawaban bersumber dari buku atau norma umum, seperti orang yang mempunyai pesantren, orang yang ahli agama, orang yang diikuti nasihatnya, atau orang Islam yang salih. Namun, jika menggunakan paradigma interpretif boleh jadi pengertian kyai bukan seperti yang ada di buku atau ensiklopedi, tapi menurut yang berkembang di lapangan. Kyai boleh jadi berarti nama seekor kerbau bule yang keluar setiap malam satu Sura di Keraton Surakarta, atau nama-nama senjata pusaka dan kereta atau pohon di keraton. Bahkan setiap orang laki-laki dewasa disebut dengan kyai. Hal ini bukan bearti bertolak belakang dengan hasil penelitian dengan paradigma positivistik, tapi memang cara melihat persoalan berbeda sehingga hasilnya pun berbeda. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam paradigma interpretif antara lain participant-observation (pengamatan terlibat), in-depth interview (wawancara mendalam), etno-fotografi, dan dokumentasi.

Sementara itu, paradigma penelitian ketiga, yakni transformatif, digunakan peneliti untuk lebih mengubah obyek yang diteliti (transforming), menawarkan sebuah tindakan perubahan (affirming) atau menggeser satu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik. Dalam paradigma ini peneliti mencoba memberikan tawaran perubahan terhadap obyek yang diteliti, namun caranya berbeda dengan positivistik. Kalau positivistik peneliti menghakimi dan menawarkan sesuatu dengan teori yang dimiliki, namun dalam transformatif peneliti dan subyek yang diteliti bersama-sama mengubah sesuai dengan kondisi yang diinginkan (menjadi lebih baik). Ukuran lebih baik sangat tergantung pada konteks penelitian, sebab boleh jadi ukuran yang dimiliki peneliti dengan subyek yang diteliti berbeda. Karena itu, hubungan keduanya setara, sama-sama subyek, bukan subyek dan obyek. Paradigma ini hakikatnya “kelanjutan” dari paradigma interpretif ketika seorang peneliti memperoleh gambaran yang utuh dan mendalam mengenai obyek yang diteliti. Langkah tindakan atau perbaikan sangat ditentukan oleh gambaran tuh tersebut. Peneliti dan subyek yang diteliti bersama-sama mencari soulsi terbaik yang relevan dengan kebutuhan. Paradigma transformatif ini relevan dengan penelitian tindakan (action research) atau penelitian dan pengembangan (research and development). Penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang dilakukan oleh guru untuk memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas atau penelitian tindakan sekolah (school action research) yang dilakukan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah termasuk dalam kategori transformative paradigm ini.

Paradigma baru dalam pendidikan atau pembelajaran yang terus bermunculan merupakan bukti bahwa teori tentang pembelajaran berkembang dinamis. Mengapa hal ini terjadi? Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa praktik pendidikan seharusnya berubah seiring dengan perubahan perspektif tentang manusia, sebab praktik pendidikan hakikatnya merupakan upaya untuk mewujudkan profil manusia yang diidealkan tersebut. Dengan bahasa yang berbeda, Thomas Armstrong menegaskan “biarlah 1000 sekolah berkembang sesuai dengan caranya sendiri”, artinya praktik pendidikan seharusnya berbeda antar lembaga pendidikan disebabkan perbedaan karakteristik peserta didik yang dihadapi. Pernyataan ini muncul seiring dengan gagasan dia bersama Howard Gardner terkait dengan pengembangan multiple intelligences, kecerdasan majemuk.

“Paradigma baru dalam pendidikan atau pembelajaran yang terus bermunculan merupakan bukti bahwa teori tentang pembelajaran berkembang dinamis.”

Dr. Muqowim, M. Ag.

Ragam teori pembelajaran juga tampak dari tawaran para pemikir terkait dengan pendidikan, seperti behaviorisme, kognitivisme, konstruktivisme, dan humanistik. Menurut aliran behavioristik belajar adalah terjadinya perubahan perilaku, khususnya perubahan kapasitas seseorang untuk berperilaku (yang baru) sebagai hasil belajar, bukan sebagai hasil proses pematangan (pendewasaan) semata. Ada banyak tokoh aliran ini seperti Ivan Pavlov, Edward Lee Thorndike, John B. Watson, B.F. Skinner dan Albert Bandura. Menurut Pavlov, setelah bereksperimen dengan anjing, proses belajar terjadi karena adanya stimulus yang menimbulkan reaksi. Teori ini juga disebut sebagai aliran pengkondisian klasik (classical conditioning). Setelah melakukan eksperimen pada kucing yang dimasukkan pada sangkar dengan pintu otomatis, Thorndike berpendapat bahwa belajar merupakan hasil dari proses interaksi antara stimulus dan respon. Teori ini juga disebut sebagai aliran koneksionisme (connectinism). Agak mirip dengan Thorndike, menurut Watson belajar merupakan hasil dari proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon-nya harus dalam bentuk tingkah laku yang dapat diamati dan diukur. Sementara itu, Skinner berpendapat bahwa belajar merupakan hasil interaksi antara stimulus dan respon dalam suatu lingkungan yang menimbulkan perubahan tingkah laku, misalnya dalam penerapannya seorang guru memberi hadiah kepada peserta didiknya sebagai penghargaan nilai paling tinggi sehingga peserta didik itu lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Sementara itu, Bandura berpendapat bahwa belajar merupakan hasil dari meniru (imitation) dan contoh berperilaku (modelling). Dia memandang perilaku individu bukan semata-mata hasil dari refleks atas stimulus, melainkan ada juga penyebab lain yakni hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitifnya sendiri.  Aliran Bandura ini juga disebut dengan social learning.

Teori belajar kognitif adalah teori yang menjelaskan proses pemikiran dan perbedaan kondisi mental serta pengaruh faktor internal dan eksternal dalam menghasilkan belajarnya seorang individu. Apabila proses kognitif bekerja normal, maka perolehan informasi dan penyimpanan pengetahuan akan bekerja dengan baik pula. Namun apabila proses kognitif bekerja tidak sebagaimana mestinya, maka terjadilah masalah dalam belajar. Ada beberapa prinsip yang dianut oleh teori belajar kognitif, misalnya proses lebih penting daripada hasil, persepsi menentukan tingkah laku seseorang serta pemahaman terhadap situasi berhubungan dengan tujuan belajar, perubahan persepsi merupakan proses pembelajaran yang kadang tidak tampak dalam bentuk tingkah laku, situasi belajar atau materi pelajaran yang dipisah-pisah menjadi komponen-komponen kecil atau dipisah-pisah akan menghilangkan makna, belajar adalah proses internal yang terdiri dari perolehan informasi, ingatan, pengolahan informasi dan aspek kejiwaan lainnya, belajar juga merupakan aktivitas berpikir yang kompleks, keterlibatan dan keaktifan peserta didik sangat penting dalam pembelajaran, materi pelajaran dan proses pembelajaran disusun secara bertahap yang dimulai dari yang sederhana sampai ke yang kompleks, dan keberagaman individu peserta didik perlu diperhatikan, karena sangat berpengaruh terhadap keberhasilan belajarnya.

Di antara tokoh teori belajar kognitif adalah Max Wertheimer, Kurt Koffka, Wolfgang Kohler, Kurt Levin, Jean Piaget, David Ausubel, Jerome Bruner, dan Robert Gagne. Wertheimer, Koffka, dan Kohler adalah pelopor teori gestalt. Mereka berpendapat bahwa keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian bagi kognisi manusia sehingga proses pembelajaran baiknya dimulai dari keseluruhan (gestalt) lalu menganalisis unsur-unsurnya. Levin dikenal sebagai pengembang teori motivasi di sekitar medan. Inti teorinya terkait dengan pembelajaran ialah bahwa semakin peserta didik dekat dengan medan belajar, motivasi belajar semakin kuat dibanding dengan peserta didik yang lebih jauh dari medan belajar. Medan yang dimaksud ialah medan psikologis arena belajar peserta didik. Piaget sebagai salah seorang tokoh psikologi kognitif mempunyai kontribusi besar dalam pemahaman terhadap perkembangan intelektual anak. Dia membagi tahap perkembangan kognitif anak menjadi empat, yaitu teori sensori-motor, pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Piaget mengemukakan empat proses belajar yaitu melalui skemata, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan (equilibrium).

Skemata adalah sekumpulan konsep yang digunakan  ketika berinteraksi dengan lingkungan. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang. Akomodasi adalah proses penyesuaian yang dilakukan seseorang ketika menghadapi rangsangan atau pengalaman baru dia tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru tersebut dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Sementara itu, ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.

Ausubel berpendapat bahwa belajar seharusnya bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses yang dikaitkan dengan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta saja, tetapi merupakan kegiatan yang menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Bruner mengusulkan teori yang disebutnya free discovery learning atau belajar menemukan secara bebas. Dia berpendapat bahwa manusia adalah sebagai processor, thinker, dan creator informasi. Dalam belajar yang terpenting adalah cara-cara bagaimana seseorang secara aktif memilih, mempertahankan dan mentransformasikan informasi yang diterimanya. Sementara itu, Gagne sebagai tokoh kognitif lain menawarkan model pembelajaran yang disebut “Peristiwa Pembelajaran”. Melalui model ini, dia berpandangan bahwa yang terpenting dalam peristiwa pembelajaran adalah kualitas penetapan (daya simpan) dan kegunaan belajar, tidak terjadi melalui proses penemuan (discovery) atau proses penerimaan (reception) sebagaimana yang dikenalkan oleh Bruner dan Ausubel.

Teori konstruktivisme berpendapat bahwa pembelajaran bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Di antara prinsip teori belajar konstruktivisme adalah mengembangkan strategi untuk mendapatkan dan menganalisis informasi, pengetahuan terbentuk bukan hanya dari satu prespektif, tapi dari perspektif yang beragam (multiple perspectives), peran peserta didik sangat sentral dalam proses pembelajaran, baik dalam mengatur atau mengendalikan proses berpikirnya sendiri maupun untuk ketika berinteraksi dengan lingkungannya, scaffolding (proses memberikan tuntunan atau bimbingan kepada peserta didik untuk dikembangkan sendiri) digunakan dalam proses pembelajaran, pendidik berperan sebagai fasilitator, tutor dan mentor untuk mendukung dan membimbing belajar peserta didiknya, dan pentingnya evaluasi proses dan hasil belajar yang otentik.

Di antara tokoh teori belajar konstruktivisme adalah driver dan Bell, Vygotsky, Tasker, Wheatley, dan Hanbury. Di antara pandangan Driver dan Bell adalah bahwa peserta didik dipandang sebagai pasif, tetapi memiliki tujuan, keterlibatan peserta didik seoptimal mungkin dalam pembelajaran, pengetahuan tidak datang dari luar tetapi dikonstruksi oleh peserta didiknya sendiri, pembelajaran bukan berupa transfer pengetahuan, tetapi melibatkan pengendalian dan rekayasa kondisi dan situasi kelas, dan kurikulum tidak sekedar dipelajari, melainkan sebagai perangkat sumber yang harus dikembangkan. Vygotsky berpendapat bahwa belajar dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial.  Proses belajar seseorang dengan model discovery lebih mudah dilakukan apabila dalam konteks sosial budaya. Inti pandangan Vygotsky adalah bahwa belajar lebih berhasil ketika terjadi proses interaksi antara aspek internal dengan eksternal dalam lingkungan sosial. Sementara itu, Tasker menekankan tiga hal yang harus ada dalam pembelajaran, yaitu peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna, pentingnya mengaitkan ide-ide baru dalam proses mengkonstruksi, dan mengaitkan antara informasi yang baru diterima dengan gagasan-gagasan yang dikembangkan. Berbeda sedikit dengan Tasker, menurut Wheatley ada dua prinsip utama yang harus ada dalam pembelajaran, yaitu pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif tetapi secara aktif oleh struktur kognitif peserta didik dan kognisi berfungsi adaptif dan membantu pengorganisasian pengalaman nyata untuk dikembangkan dalam proses belajar. Akhirnya, Hanbury sebagai salah seorang tokoh konstruktivisme berpendapat bahwa paling tidak ada empat aspek yang harus ada dalam teori belajar kontruktivisme yaitu belajar melalui proses mengkonstruksi informasi dan ide yang dimiliki, pembelajaran menjadi bermakna apabila peserta didik mengerti, strategi [yang digunakan] peserta didik lebih bernilai dan peserta didik berkesempatan untuk berdiskusi dengan sesamanya.

Teori belajar humanistik memandang bahwa perilaku manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, faktor internal dirinya, bukan pengetahuan ataupun kondisi lingkungannya. Menurut teori belajar humanistik, aktualisasi diri merupakan puncak perkembangan individu. Ia mampu mengembangkan potensinya dan merasa dirinya utuh, bermakna dan berfungsi (fully functioning person). Kebermaknaan diri itu bukan saja dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya. Teori ini meyakini bahwa motivasi belajar harus datang dari dalam diri individu. Menurut teori ini, proses belajar yang bermakna adalah belajar yang melibatkan pengalaman langsung, berpikir dan merasakan, atas kehendak sendiri dan melibatkna seluruh pribadi peserta didik. Hasil belajar harus dirasakan oleh individu. Ia menyadari terjadinya hasil belajar dan bahkan mampu menilainya. Belajar yang bermakna tidak lain hanyalah belajar yang dapat memenuhi kebutuhan nyata individu. Singkatnya, teori menekankan pentingnya memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri manusia, pemahaman diri sebagai manusia.

Di antara tokoh teori aliran humanistik adalah Abraham Maslow, Carl Rogers, Arthur Combs, Jurgen Habermas, dan Benjamin S. Bloom. Maslow mengembangkan teori belajarnya berdasarkan teori kebutuhan dan perkembangan motivasi. Menurutnya manusia merupakan makhluk yang tidak akan pernah puas dalam mencapai sesuatu, kecuali hanya sesaat saja. Manusia akan mencari peluang lain untuk menutupi kebutuhannya. Menurutnya puncak pemenuhan kebutuhan sekaligus sebagai ukuran keberhasilan individu ialah berhasil dalam mengaktualisasikan diri dalam dunianya. Sementara itu, Rogers memandang bahwa manusia adalah makhluk yang rasional, realistis, sosialis, dan ingin maju. Baginya, manusia merupakan makhluk yang punya potensi untuk tumbuh dan actual, sehingga memiliki martabat yang tinggi. Intinya, Rogers menempatkan manusia secara manusiawi pada martabat kemanusiaannya. Dalam konteks guru, dia berpendapat bahwa guru merupakan fasilitator terjadinya pemahaman (insight) atas sesuatu oleh peserta didik. Dalam membimbing peserta didik itu sendiri perlu diberi kebebasan, sehngga teorinya menghasilkan sebuah prinsip belajar yang disebut learning to be free, yang mengonsepsikan pembelajaran sebagai upaya becoming a person, freedom to be dan courage to be. Menurutnya, pembelajaran yang berbasis to be free akan membuat peserta didik berupaya untuk menjadi lebih otonom, spontan dan yakin akan dirinya sendiri. Arthur berpandangan bahwa belajar akan  terjadi apabila berarti bagi seorang individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan peserta didiknya. Ketika muncul perlawanan, hal itu sebenarnya merupakan bentuk perilaku buruk yang mencerminkan ketidakmauan seseorang untuk mempelajari hal yang bukan minatnya, karena sama saja dengan melakukan sesuatu yang baginya tidak mendatangkan kebutuhan atau bahkan kepuasan. Untuk memahami tingkah laku manusia, yang penting adalah paham tentang bagaimana dunia ini dilihat dari sudut pandangnya. Pernyataan seperti ini merupakan salah satu dari pandangan humanistik mengenai perasaan, persepsi, kepercayaan, dan tujuan tingkah laku “dari dalam” (inner) yang membuat seseorang berbeda dengan yang lain. Sementara itu, menurut Hubermas belajar akan terjadi apabila ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud merupakan lingkungan belajar, yaitu lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab di antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Hubermas membagi tipe belajar menjadi tiga bagian yaitu technical learning (belajar teknis), practicallearning (belajar praktis), dan emancipatorylearning (belajar emansipatoris). Akhirnya, tokoh humanistik lain adalah Benjamin S. Bloom. Bloom dikenal sebagai tokoh pembuat taksonomi belajar dengan tiga domain yaotu kognitif, afektif dan psikomotorik. Tujuan belajar adalah menguasai tiga matra ini.

Melanjutkan membaca “Penutup: Mewujudkan Theory of Indigenous Learning

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *