Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Kata enlightened secara lughawi mempunyai beberapa makna, yaitu “highly educated”, “having extensive information or understanding”, “freed from illusion”, “having or based on relevance experience”, “having knowledge and spiritual insight” dan “characterized by full comprehension of the problem involved”. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut enlighetened terkait dengan banyak adjective seperti understanding, knowing, open–minded, cultivated, wise, rational, reasonable, cultured, schooled, coached, well–grounded, informed, apprised, literate, educated, scholarly, aware, learned, knowledgeable, lettered, erudite, sensitive dan advised. Kata enlightened ketika disematkan pada thinker, sebenarnya merujuk pada makna kata raushanfikr yang dilontarkan oleh Ali Syari’ati, seorang sosiolog asal Iran. Kata ini sering diterjemahkan dengan pemikir atau intelektual tercerahkan. Di antara indikator intelektual tercerahkan adalah kemampuan mengatasi setiap persoalan yang dihadapi dan permasalahan serta tantangan yang ada di lingkungan sekitar di mana pun dia berada.
Seorang intelektual tercerahkan disyaratkan mempunyai kesadaran kritis tentang problem diri dan sekitar. Untuk dapat menjadi intelektual seperti ini tidak harus berlatar belakang pendidikan formal, sebab yang terpenting bukan lampiran gelar atau ijazah, namun kesadaran dan kemampuan mengatasi setiap persoalan diri dan sekitar. Hal ini relevan dengan pilar pendidikan kelima dari UNESCO yaitu transforming onself and society. Hal ini perlu ditekankan sebab banyak sarjana dan ilmuwan alumni perguruan tinggi, baik dari strata satu, strata dua, maupun strata tiga belum menjamin mempunyai kemampuan mengatasi persoalan diri dan sekitar. Ada yang belum selesai dengan dirinya sendiri, ada yang mementingkan diri dan kelompoknya, dan ada yang berada di ivory tower, menara gading, sibuk dengan konsep dan teori tetapi tidak pernah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, bagi Syari’ati sangat mungkin ada orang yang secara formal tidak pernah mengenyam pendidikan formal namun karena mempunyai kemampuan mentransformasi diri dan sekitar, maka dia termasuk kategori manusia tercerahkan.
“Untuk dapat menjadi intelektual seperti ini tidak harus berlatar belakang pendidikan formal, sebab yang terpenting bukan lampiran gelar atau ijazah, namun kesadaran dan kemampuan mengatasi setiap persoalan diri dan sekitar. “
Dr. Muqowim, M. Ag.
Menurut James McGregor Burns, karakteristik seorang intelektual adalah “a devotee of ideas, knowledge, and values”, mempunyai komitmen memperjuangkan gagasan, pengetahuan dan nilai yang diyakini. Dengan pengertian ini, seorang intelektual tidak cukup berhenti pada aspek normatif-teoritik semata, namun ada langkah nyata untuk mewujudkan gagasan tersebut lebih membumi untuk melakukan transformasi. Hal ini senada dengan gagasan dari Mansour Fakih tentang intelektual mekanik dan intelektual organik. Model intelektual pertama sibuk dengan persoalan formalisme, administrasi, teori, konsep tetapi tidak berkomitmen melakukan perubahan di masyarakat. Mungkin kategori ini dapat disebut dengan “man of discourse”, manusia wacana. Sementara itu, model kedua seperti yang diharapkan oleh Syari’ati, yaitu intelektual yang terlibat dalam pemecahan problem dan tantangan realitas. Ini adalah tipe “man of action”.
Berdasarkan pengertian di atas, agar mampu melakukan proses transformasi diri dan sekitar, kunci utamanya adalah kesadaran (consciousness). Kekuatan kesadaran menjadikan kita mampu melihat secara kritis tentang “siapa diri kita”, apa yang sudah kita lakukan, apa persoalan dan tantangan yang kita hadapi, dan mengetahui bagaimana mengatasi persoalan tersebut. Orientasi nilai dan spiritual sangat ditekankan pada intelektual tercerahkan. Fokus pada nilai dan spiritual menjadikan kita mampu melakukan self-disrupting, self-transforming, self-digesting dan self-driving. Sebelum melakukan perubahan terhadap realitas sekitar kita harus mempunyai keberanian dan berkomitmen mengubah diri sendiri secara jujur, tulus dan bertanggung jawab. Kita harus sering melakukan self-reflecting atau muhasabah al-nafs, terhadap setiap hasil bacaan dan pengalaman. Kemampuan melakukan refleksi diri ini akan menghasilkan gagasan dan inspirasi yang melahirkan beragam alternatif pemecahan masalah.
Seorang individu tercerahkan mempunyai kesadaran kenabian, bukan kesadaran mistik. Kesadaran kenabian menjadikan kita mampu menjadi “ukhrijat linnas”, trendsetter, bukan follower atau passenger (penumpang). Kita mampu menjadi penentu arah sejarah peradaban sebab kita selalu aktif “membaca” problem realitas dan melangkah dengan penuh keyakinan untuk memperjuangan nilai-nilai positif yang dapat diterima semua orang tanpa sekat dan batas kelompok seperti suku, etnis, bahasa dan agama. Kita berjuang mewujudkan nilai kerahmatan bagi seluruh alam. Hal ini memerlukan persyaratan yang tidak mudah, sebab kita harus berjuang mengatasi mental burden berupa egoism terutama pribadi dan kelompok baik secara ekonomi, sosial, politik, dan agama. Mungkin cukup mudah kita menjumpai orang yang dengan penuh semangat dan antusias memperjuangkan kepentingan kelompoknya sendiri, dan cenderung tidak mau tahu, bahkan, menyingkirkan atau menindas kelompok lain yang dianggap berbeda. Fokus manusia tercerahkan adalah nilai kemanusiaan universal, bukan ad hoc atau fragmental.
Kita diberi anugerah luar biasa oleh Allah berupa akal untuk menjadi manusia tercerahkan. Menurut Syari’ati, kita berada di antara dua kutub yaitu kutub Tuhan dan kutub syetan. Kutub pertama terkait dengan kesempurnaan dan absolutisitas sedangkan kutub kedua terkait dengan hal-hal negatif dan rendah seperti perilaku tercela atau akhlaq madzmumah. Dengan akal kita seharusnya mampu membuat pilihan dari kedua kutub tersebut. Kemampuan memilih dan memilah ini hanya dapat diwujudkan jika kita mempunyai kesadaran diri tentang siapa kita. Kita mampu membaca secara kritis relasi kita dengan Allah dan relasi dengan alam semesta. Kesadaran ini yang mengantarkan kita mampu memahami, mengidentifikasi dan menawarkan solusi terhadap setiap persoalan yang kita hadapi dan lingkungan sekitar. Kita proaktif melakukan perubahan dengan membuat goalsetting yang berbasis nilai dan spiritual. Dengan nilai dan spiritual kita terhubung dengan semua orang dari berbagai lapisan dan latar belakang [etnis, ras, bahasa dan agama] untuk mewujudkan dunia yang lebih baik.
Membuat dunia lebih baik saat ini agaknya sudah menjadi “barang langka”, sebab mayoritas manusia sibuk “ngurusi” dan memperjuangkan kepentingannya sendiri. Sebagian kita lebih fokus pada topeng, aksesoris dan lampiran yang bersifat material seperti organisasi sosial, ekonomi dan politik, sering melupakan dimensi kemanusiaan dan kebersamaan. Dengan nilai dan spiritual menjadikan kita terkoneksi dengan entitas lain (connecting the dots). Untuk mewujudkan ini tentu tidak mudah sebab kita terbiasa melihat segala sesuatu berdasarkan tampilan luar atau fenomena, jarang kita berpikir tentang noumena, “sesuatu yang ada di balik sesuatu”. Mayoritas kita lebih menekankan pada melihat hal-hal yang bersifat material atau bukti nyata baru yakin daripada bertolak dari keyakinan tentang nilai yang tidak tampak sehingga mampu menghasilkan perubahan nyata. Menurut Rhenald Kasali, kita lebih menekankan pada “seeing is believing”, melihat baru yakin, daripada “believing is seeing”, yakin dulu maka akan lihat hasilnya.