Menjadi Penggerak Perubahan Nilai dengan Model Living Values Education (LVE) dan Design For Change (DFC)

Ditulis oleh Dr. Muqowim, M. Ag.

Tidak ada pasien yang putus asa, yang ada adalah dokter yang negatif [emosinya].

Avicenna

Energi Itu menular
Ungkapan di atas dimodifikasi dari pandangan Ibnu Sina, salah seorang pemikir prolifik yang mengarang al-Qanun fi al-Thibb. Karya magnum opus bidang kedokteran tersebut digunakan sebagai salah satu referensi utama di hampir semua fakultas kedokteran di Eropa sampai abad ke-19. Menurutnya tidak ada pasien yang putus asa, yang ada adalah para dokter yang buruk. Kondisi pasien sangat dipengaruhi oleh kualitas dokter yang menangani. Jika seorang dokter mempunyai emosi negatif, maka energi dari emosi tersebut akan menular ke pasien yang ditangani, pasien menjadi ikut-ikutan negatif. Sebaliknya, jika seorang dokter mempunyai kualitas energi positif, maka energi positif tersebut akan menular ke pasien juga. Boleh jadi, apa yang disampaikan oleh pakar kedokteran Islam abad ke-10 tersebut juga kita rasakan ketika kita sedang dirawat di rumah sakit.

Kualitas jiwa para petugas medis seperti dokter dan tenaga kesehatan yang menangani penyakit kita sangat berpengaruh terhadap kondisi penyakit yang sedang kita derita. Di tangan petugas medis yang positif, antara lain tercermin dari ekspresi wajah, gesture, ucapan dan sikap, menjadikan penyakit yang kita derita lebih cepat pulih. Sebaliknya, di tangan petugas medis yang cenderung negatif, boleh jadi penyakit yang kita derita semakin parah, kita merasa semakin sakit dan menderita. Ini menunjukkan bahwa energi itu memang menular, terlebih relasi antara dokter dengan pasien tidak sekedar hubungan profesi secara formal namun lebih dari itu, terhubung dengan nilai kemanusiaan. Dokter tidak sekedar menjalankan profesi secara formal, namun sebuah panggilan kemanusiaan.

Yang perlu kita ingat adalah bahwa dokter dan petugas medis lain juga manusia biasa. Seperti halnya pasien, mereka pun mempunyai persoalan pribadi yang sering mempengaruhi pikiran dan emosi. Sebagai sebuah ilustrasi, dalam situasi saat ini, di tengah wabah COVID-19 yang berlangsung di seluruh dunia, mereka adalah garda terdepan dan pahlawan yang diharapkan mampu menolong dan menyelamatkan pasien yang diidentifikasi terinfeksi coronavirus tersebut. Dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) mereka berjuang siang malam menangani para pasien. Selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, mereka meninggalkan keluarga berjibaku untuk menyelamatkan para pasien.

Kondisi ini sangat mungkin berdampak pada kondisi psikologi mereka. Kadang mereka mengalami kelelahan lahir dan batin yang sering berdampak pada keselamatan diri mereka. Wajar jika ada semacam keputusasaan mereka ketika merespons perilaku sebagian masyarakat yang cenderung mengabaikan protokol kesehatan dalam beraktifitas sebab pada akhirnya ketika terkena COVID-19, para petugas medis jugalah yang menangani. Karena itu, di tengah situasi seperti sekarang diperlukan kesadaran, kerjasama dan sinergi untuk memutus mata rantai penyebaran, sebab kita tidak mungkin mengandalkan sepenuhnya pada tenaga medis yang mempunyai keterbatasan juga.

Apa hubungan ilustrasi singkat di atas dengan proses menggerakkan perubahan dengan nilai-nilai moderasi beragama? Meskipun dalam konteks berbeda, hubungan antara seseorang dalam konteks komunitas yang dimiliki, terlebih jika di komunitas ini sebagai pemimpin atau koordinator, mirip dengan relasi antara seorang dokter dengan pasiennya. Hubungan yang dibangun antar pribadi seharusnya bersifat humanistik yang melibatkan dua ego yang mempunyai “urf” atau adat kebiasaan berbeda sehingga kedua belah pihak perlu “li-ta’arafu”, saling mengenal satu sama lain. Menurut Ziba-Mir-Hussaini, seorang antropolog asal Iran, setiap orang mempunyai multiple layers, banyak lapisan yang melekat dalam diri tiap orang.

Samuel P. Huntington menyebut lapisan ini dengan istilah multiple identities. Di antara lapisan tersebut ada struktur fisik seperti warna kulit, jenis rambut, bentuk wajah, tinggi badan dan berat badan, jenis kelamin, kondisi geografi, kondisi ekonomi, budaya, sosial, etnis, bahasa, afiliasi politik, dan agama. Semua lapisan tersebut perlu disadari bersama sebab dapat mempengaruhi pola relasi dan komunikasi antar anggota komunitas. Meskipun dalam konteks masyarakat yang majemuk ini seharusnya setiap orang saling menyadari semua lapisan yang dimiliki dan lapisan yang dimiliki orang lain di sekitarnya. Kesadaran tentang semua lapisan tersebut akan mempengaruhi pola interaksi dan komunikasi antar individu.

Setiap pemimpin komunitas seharusnya lebih memahami, merasakan dan mengimplementasikan nilai-nilai moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perspektif Thomas Lickona mereka diharapkan dapat mengintegrasikan tiga matra dalam pendidikan yaitu knowing the values and spirituality (dimensi kognitif), feeling the values and spirituality (dimensi afektif), dan doing the values and spirituality (dimensi psikomotorik). Sebagai agen penggerak nilai-nilai moderasi beragama, setiap umat beragama diharapkan membiasakan diri menjadi living positive model, orang yang menghidupkan nilai-nilai moderasi beragama, bukan membicarakan atau mewacanakannya.

Secara umum, pada level pendidikan tinggi, nilai-nilai moderasi seringkali bersifat akademik-teoritik, padahal nilai-nilai tersebut seharusnya disadari dan dibiasakan di lingkungan masing-masing baik secara personal maupun institusional. Dengan mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka diharapkan menjadi positive energy generator (sumber energi positif) yang mampu menebarkan nilai-nilai tersebut di lingkungan sekitarnya. Dengan energi positif yang dimiliki, mereka diharapkan bisa menjadi positive energy transmitter, penebar energi positif, yaitu nilai-nilai moderasi beragama.

Mengapa Menghidupkan Nilai Penting?
Dalam buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Sir Muhammad Iqbal, salah seorang filosof dan penyair muslim asal Pakistan mengatakan, “The Qur’an is a book which emphasizes ‘deed’ rather than idea”, al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang lebih menekankan amal atau tindakan daripada gagasan. Hal ini setidaknya tampak dari penggunaan fi’il madly (kata kerja bentuk lampau) terkait dengan kata “amal”, bukan fi’il mudlari’ (kata kerja sekarang dan akan datang), misalnya dalam QS. Al-Thin. Orang yang akan mendapatkan predikat ahsani taqwim dan diberi pahala yang selalu mengalir tanpa putus, falahum-ajrunghairu-mamnun, adalah orang yang telah amanu-wa-‘amilus-shalihat, orang yang sudah beriman dan mengerjakan amal shalih.

Sebaliknya, orang yang tidak beriman dan tidak pernah melakukan kebaikan, maka mereka akan ditempatkan Allah pada asfala-safilin, tempat (derajat) serendah-rendahnya. Mereka tidak akan mendapatkan pahala yang mengalir. Pahala yang mengalir dalam konteks sekarang adalah pencairan energi dari seluruh energi yang pernah dikeluarkan sebelumnya. Jika energi yang dikeluarkan adalah positif, maka kita akan mendapatkan pencairan energi positif juga. Sebaliknya, jika energi yang kita keluarkan adalah negatif, maka kita harus siap-siap menerima pencairan energi negatif juga. Ini adalah hukum sunnatullah, the law of attraction, hukum tarik-menarik. Hukum ini berlaku secara universal, bagian dari ayat kauniyyat yang diciptakan Allah. Hukum ini tidak mengenal latar belakang seseorang seperti suku, ras, agama, jenis kelamin, dan bahasa.

Ada beberapa pertanyaan menggelitik yang muncul terkait keberhasilan yang dicapai oleh orang-orang yang tidak beragama dalam beberapa hal seperti ekonomi ataupun sains. Mengapa banyak orang hebat, bahkan menjadi manusia terkaya di planet bumi ini, padahal mereka tidak beragama? Bagi yang berpandangan subyektif akan mengemukakan alasan apologis tentang hal ini misalnya [bagi mereka] yang lebih penting adalah beragama meskipun dalam kondisi miskin atau kurang berprestasi tidak masalah, orang-orang yang tidak beragama tersebut hanya hebat di dunia saja tetapi kelak di akhirat akan masuk neraka, dan mengatakan bahwa agama pasti benar. Sementara itu, bagi orang yang berpandangan kritis-obyektif, dihadapkan pada situasi tersebut mereka akan melakukan introspeksi, muhasabah, dan refleksi diri. Bagi kelompok ini mengapa sebagian orang beragama tidak maju dalam hal ekonomi dan kurang berkembang dalam hal sains dan teknologi, hal ini bukan karena faktor ajaran agama atau kitab suci, tetapi lebih disebabkan oleh kualitas umat beragama itu sendiri yang masih rendah, stagnan atau jumud.

Bagi umat beragama, ajaran agama yang dianut diyakini sudah sangat lengkap dan komprehensif, tetapi jika kualitas umat beragama tidak bagus, maka ajaran agama tersebut kurang membumi. Hal ini sebagaimana pengalaman Muhammad Iqbal pada akhir abad ke-19 ketika pergi ke Eropa, dia mengatakan, “Saya melihat Islam ada di [Eropa] sini meskupun tidak banyak orang Islam. Sebaliknya, di negara Saya banyak orang Islam tetapi ajaran Islam tidak tampak dalam realitas.” Lebih dari seratus tahun berikutnya, kondisi tidakjauh berbeda. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Rehman dan Askari, dua ilmuwan muslim dari George Washington University tahun 2010. Fokus riset mereka tentang negara mana yang dianggap sebagai paling islami. Dari 208 negara yang disurvei, negara yang dianggap paling banyak mengamalkan nilai-nilai sesuai dengan ajaran Islam (islami) adalah Selandia Baru disusul beberapa negara dari Skandinavia seperti Norwegia, Swedia, dan Finlandia. Dalam survey ini Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia menempati peringkat 140.

Indonesia seharusnya menjadi negara paling islami jika yang menjadi indikator adalah jumlah penduduk. Hanya saja, sebagaimana diingatkan oleh Muhammad Abduh, salah seorang reformis asal Mesir, perlu dibedakan antara ajaran Islam di satu sisi dan umat Islam di sisi yang lain (al-islamu-syai’un-wal-muslimuna-syai’una-akhar). Ajaran Islam adalah wahyu dari Allah yang bersifat absolut dan mutlak, sedangkan umat Islam adalah makhluk Allah yang bersifat relatif dan sementara. Kehebatan ajaran Islam belum tentu mampu ditunjukkan oleh pemeluknya, sebab hal ini sangat dipengaruhi oleh kualitas mereka. Jika umat Islam mempunyai kualitas tinggi maka akan mampu menampilkan ketinggian ajaran Islam dalam semua bidang seperti ekonomi dan sains serta teknologi.

Sebaliknya, jika kualitas umat Islam rendah, maka mereka tidak mampu mengamalkan kandungan dari ajaran agamanya. Hal ini sebagaimana digelisahkan oleh Karen Armstrong dalam salah satu karyanya Charter for Compassion. Menurut Armstrong seharusnya setiap pemeluk agama mampu menampilkan misi utama ajaran agama di dunia, yaitu mewujudkan nilai welas asih. Hanya saja, menurutnya misi besar agama tersebut belum ada dalam kenyataan sebab di banyak tempat masih terjadi ketegangan, konflik, kekerasan dan kerusuhan. Yang lebih memprihatinkan lagi, seringkali berbagai persoalan tersebut dipicu oleh sentimen keagamaan oleh para pemeluknya. Bahkan, hal ini sering dilakukan oleh para elit atau tokoh agama yang seharusnya menjadi teladan positif. Biasanya hal ini terjadi karena persoalan politik, sosial, budaya dan ekonomi. Tampaknya ada diskrepansi yang cukup tajam antara normatifitas dari nilai-nilai agama di satu sisi dengan historisitas perilaku agama dari para penganutnya di sisi yang lain.

Seharusnya, di Indonesia banyak dijumpai agen welas asih, sebagaimana diingatkan oleh Armstrong, sebab [bagi pemeluk Islam] setiap memulai aktifitas dianjurkan untuk membaca lafadz basmalah, bismillahir-rahmanir-rahim. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jika kebiasaan membaca “basmalah” ini dikaitkan dengan salah satu hadis Nabi, berakhlaklah kamu sekalian dengan akhlak Allah, takhallaqu-bi-akhlaqillah, maka umat Islam benar-benar menjadi model welas asih (living compassionate). Agaknya aktifitas membaca ayat dalam al-Qur’an ini baru sebatas di mulut atau secara kognitif saja, belum masuk ke hati (afektif) dan perilaku (psikomotorik). Jika meminjam pandangan Amin Abdullah, jenis beragama umat Islam sebagian besar masih didominasi having a religion, belum ke being religious..

Model beragama pertama lebih menekankan dimensi intelektual dan formalisme, sedangkan model kedua lebih menekankan implementasi ajaran agama dalam realitas. Dimensi pertama menekankan pada wilayah output, sedangkan yang kedua pada aspek outcome. Rasulullah pernah mengingatkan orang Islam yang berpuasa dengan, “kam-min-sha’imin-laisa-lahul-jaza’-illal-ju’-wal-‘athasy”, berapa banyak orang yang menjalankan ibadah puasa tapi tidak mendapatkan balasan apa pun kecuali hanya lapar dan dahaga. Ini merupakan peringatan Nabi kepada umat Islam agar ketika berpuasa tidak sekedar menahan diri dari makan, minum dan berhubungan badan bagi suami-istri selama satu bulan. Jika ini yang dilakukan, maka umat Islam baru mendapatkan output saja, sedangkan outcome dari ibadah puasa boleh jadi belum diperoleh yakni kemampuan selfcontrol dari melakukan hal-hal yang bersifat negatif seperti bersikap egois (egoism), suka marah (anger), arogan (arrogance), lebih menekankan aspek material-duniawi (attachment), dan menuruti hawa nafsu (lust).

Allah juga memperingatkan dengan keras kepada orang yang menjalankan ibadah shalat dengan firman-Nya, “fawailul-lil-mushallin”, celakalah orang-orang yang shalat. Mengapa orang yang shalat justru disebut oleh Allah sebagai orang yang celaka? Kata Allah, “alladzinahum-‘an-shalatihim-sahun,” yaitu orang-orang yang lupa ketika sedang shalat, tidak ada kesadaran ketika shalat. Selain itu, menurut Allah orang celaka ketika shalat adalah, “alladzinahum-yura’un”, yaitu orang yang [shalatnya] ingin dilihat, pamer atau riya’. Membaca beberapa ayat tentang shalat ini jika tidak dikaitkan dengan ayat lain secara utuh (munasabah) tampak seperti paradoks. Di satu sisi Allah memerintahkan umat Islam agar menjalankan ibadah shalat, namun di sisi lain ketika sudah menjalankan ibadah tersebut Allah justru mencelanya.

Ini menjadi sebuah renungan penting bahwa kita perlu membedakan antara dimensi formalitas yang tampak secara fisik, kuantitas, dan dimensi eksoterik dengan dimensi spiritualitas yang tampak dari aspek ruh, kualitas, nilai dan esoterik. Dalam konteks ini, Allah mengingatkan pentingnya spiritualitas dalam beribadah. Jika aspek spiritualitas ini dapat diwujudkan, maka orang yang selesai menjalankan ibadah shalat mampu meraih kedamaian di dalam hati (innerpeace), sehingga mereka mampu menjadi pribadi yang menebarkan kualitas kedamaian tersebut di lingkungan masing-masing, apa pun jenis profesi yang mereka tekuni. Karena itu, bagian akhir dari ibadah shalat adalah salam, artinya penuh kedamaian. Nilai kedamaian ini disebarkan ke sekeliling yang disimbolkan dengan gerakan menengok ke kanan dan ke kiri.

Pendekatan Living Values Education (LVE)
Fazlur Rahman, dalam buku Islam dan Major Themes in the Qur’an, pernah mengatakan bahwa Rasulullah menampilkan diri sebagai living qur’anic values. Dengan memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah langsung bisa menjadi model yang dapat diteladani. Dia adalah tipe man of action, bukan tipe man of discourse. Ini merupakan bukti nyata, sebagaimana dilontarkan Iqbal di atas bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang lebih menekankan tindakan (deed) daripada gagasan (idea). Karena itu, memahami, menggali, menghayati dan mengamalkan kandungan al-Qur’an lebih penting dari sekedar menghafal atau membaca secara harfiyyah. Nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci ini merupakan petunjuk yang tidak diragukan lagi (QS. Al-Baqarah: 2). Karena sebagai petunjuk, maka setiap umat Islam, bahkan seluruh umat mansia, ketika mengalami persoalan hidup, tidak ada jalan lain, dan gelap gulita dalam melangkah, maka seharusnya mereka berkonsultasi kepada kitab ini agar diberi petunjuk. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara berkonsultasi dengan al-Qur’an secara tepat sehingga kitab suci ini benar-benar sebagai huda, furqan, syifa’, adz-dzikr, mau’idzah, dan rahmah. Di antara para ilmuwan menawarkan pendekatan untuk membumikan nilai-nilai al-Qur’an adalah Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zaid.

Dalam Islam and Modernity, Fazlur Rahman menawarkan pendekatan yang disebut dengan “double movement”, pendekatan gerakan ganda. Menurut Rahman, ketika menghadapi persoalan kontemporer, maka umat Islam perlu melakukan refleksi tentang bagaimana al-Qur’an dulu diturunkan untuk menjawab persoalan. Menurut Rahman, gerakan pertama adalah “one has to understand the import or meaning of a given statement by studying the historical situation or problem to which it was the answer.” Kita harus memahami kandungan makna dari al-Qur’an dengan cara mengkaji konteks historis ketika kitab suci ini memberikan jawaban atas persoalan yang terjadi saat itu. Gerakan pertama adalah langkah untuk mencari meaning. Dalam gerakan pertama ini, kita harus “to generalize those specific answers and enunciate them as statements of general moral-social objectives that can be ‘distilled’ from specific texts in light of the socio-historical background and the oftenstated rationes legis.” Dengan nilai dan makna yang diambil dari konteks sejarah masa lalu inilah kemudian kita bawa untuk menjawab problem saat ini. Membawa nilai masa lalu untuk konteks sekarang inilah yang disebut dengan gerakan kedua.

Melalui gerakan kedua ini, “the general has to be embodied in the present concrete socio-historical context”, kita membumikan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an untuk menjawab persoalan mutakhir. Istilah sekarang merujuk pada saat umat Islam hidup baik di era klasik, pertengah maupun modern. Hal ini senada dengan yang ditawarkan oleh Abu Zaid, bahwa al-Qur’an diturunkan untuk menjawab setiap persoalan kemanusiaan. Al-Qur’an tidak hanya kitab suci yang dibaca secara statis dan diulang-ulang (qira’ah mutakarrirah), namun harus dibaca secara produktif (qira’ah muntijah) sehingga benar-benar menjadi solusi dari setiap masalah kemanusiaan. Untuk dapat mewujudkan misi ini, kita harus mampu menangkap ma’na (meaning) dari ayat al-Qur’an kemudian mengaitkannya dengan maghza (significance) di era sekarang. Signifikansi dari makna al-Qur’an tersebut sangat dipengaruhi oleh problem yang dihadapi tiap orang, artinya dapat diterapkan dalam berbagai konteks seperti pendidikan, sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Secara garis besar, apa yang disampaikan oleh Rahman maupun Abu Zaid tersebut merupakan tawaran konkret agar nilai-nilai al-Qur’an dapat selalu hidup dalam setiap situasi, shalihun likulli zamanin wa-makanin. Dalam konteks pendidikan, salah satu pendekatan yang tepat untuk menghidupkan nilai-nilai al-Qur’an, adalah LVE (Living Values Education), yang di-launching oleh PBB tahun 1996 dalam rangka memperingati ulang tahun badan dunia tersebut ke-50. Pendekatan ini lebih menekankan pada proses menghidupkan nilai, bukan mengajarkan nilai. Jika hal ini diadopsi, kita bisa menggunakan istilah Living Islamic Values Education (LIVE). Kata Islamic ditambahkan sebelum Values sebagai kata sifat yang bermakna nilai Islam. Kata nilai hakikatnya bersumber dari banyak tradisi seperti agama, budaya, dan filsafat. Hanya saja, kata Islamic Values sengaja dibuat untuk mengingatkan nilai yang secara khusus digali dari tradisi ajaran Islam atau yang berkembang dalam komunitas muslim, terutama dari al-Qur’an.

Pendekatan LIVE ini digunakan untuk mengingatkan tentang praktik pendidikan Islam yang sejauh ini lebih banyak menekankan pada aspek formalitas-kognitif daripada afektif dan psikomotorik. Sebagaimana diuraikan di atas, banyak orang Islam yang sebenarnya sudah banyak menghafal ayat al-Qur’an dan matan Hadis namun belum membumikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, umat Islam sudah mengetahui tentang konsep kedamaian, termasuk dalil dari al-Qur’an dan Hadis, namun faktanya mereka belum merasakan kedamaian dan menyebarkan nilai tersebut di sekitar mereka. Hal ini boleh jadi disebabkan kecenderungan pada aspek menghafal nilai kedamaian yang ada dalam dalil-dalil ajaran Islam, namun belum menghidupkan dalam kehidupan praxis.

Orientasi pendidikan dalam Islam seharusnya mengarah pada living qur’anic values dan living hadith values. Pembelajaran akidah yang selama ini lebih fokus pada hafalan dogma dan berbagai aliran dalam teologi Islam, seharusnya diarahkan pada penghayatan tentang teologi yang lebih membumi, yang langsung memecahkan persoalan hidup sehari-hari. Di dalam QS al-Ma’un, yang dimaksud dengan pendusta agama adalah orang yang tidak mau menolong orang miskin dan menyantuni anak yatim. Ini berarti akidah harus lebih fungsional dalam memecahkan problem realitas. Pembelajaran akhlak yang selama ini cenderung fokus pada menghafal berbagai akhlak terpuji dan tercela, seharusnya mulai diarahkan untuk langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kita boleh jadi sudah hafal tentang ayat-ayat toleransi namun faktanya belum sepenuhnya mampu bersikap toleran dan inklusif. Pembelajaran fiqih yang selama ini lebih fokus pada aspek ritual dan cenderung melupakan nilai atau tujuan dari ritual seharusnya diarahkan untuk mendisiplinkan nilai (self-disciplining) yang terkandung dalam agama Islam, misalnya ritual puasa untuk mendisiplinkan nilai selfcontrol agar tidak melakukan hal-hal negatif. Pembelajaran tarikh yang selama ini cenderung pada model antiquarianisme [menghafal data dan fakta masa lalu semata], cenderung melupakan sejarah yang rekonstruktif, seharusnya diarahkan untuk merekonstruksi fakta masa lalu agar dapat diambil nilai dan isnpirasinya untuk memecahkan problem aktual. Dengan pendekatan LIVE diharapkan nilai-nilai ajaran Islam hidup dalam realitas, selalu aktual.

Pembiasaan Nilai Moderasi Beragama dengan DfC
Setiap orang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk sempurna, sebab mereka diciptakan oleh Sang Maha Sempurna, yang tidak sempurna adalah cara kita melihat diri sendiri dan realitas sekitar. Melalui proses pendidikan diharapkan setiap orang mampu mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki baik dari aspek jismiyyah, ijtima’iyyah, ‘aqliyyah maupun ruhiyyah. Secara garis besar, menurut Goleman, pengembangan diri ini mencakup aspek intrapersonal dan interpersonal. Hal ini dimulai dari self-awareness, self-regulation, motivation, empathy, dan social skill. Seperti halnya proses pendidikan, proses pendidikan diharapkan membantu setiap orang menjadi hebat dan bermartabat di bidangnya masing-masing. Proses pendidikan seharusnya mampu mengantarkan setiap orang menjadi pribadi yang positif. Menurut Denise Lawrence, indikator diri yang positif yang melekat dalam diri setiap orang saat diciptakan oleh Allah adalah penuh kedamaian, cinta, kebahagiaan, daya dan ketulusan.

Untuk dapat menghasilkan kualitas tersebut, proses pendidikan seharusnya lebih menekankan dimensi mental-spiritual daripada fisik-material. Dimensi pertama lebih fokus pada kesadaran jiwa (soul consciousness), sedangkan dimensi kedua lebih menekankan pada kesadaran materi (body consciousness). Karena itu, proses pendidikan seharusnya lebih menitikberatkan touching, yang lebih menyentuh jiwa setiap peserta didik. Hal ini hanya dapat dilakukan jika seorang pendidik menekuni profesi ini karena calling, bukan sekedar career, apalagi job. Menurut Arvan Pradiansyah, tingkatan tertinggi orang bekerja adalah tipe calling, yaitu melakukan aktifitas karena panggilan jiwa. Dengan tipe ini, seorang konselor akan lebih bahagia sebab mempunyai positive emotion, engagement (terlibat secara lahir dan batin), dan meaning (menjalani profesi penuh makna). Berbeda dengan tipe calling, orang yang menekuni profesi dengan tipe career ketika melakukan aktifitas lebih didorong oleh target secara material seperti mendapatkan penghargaan, penghasilan atau jabatan. Boleh jadi mereka sukses dalam profesi tetapi belum tentu bahagia sebab ukuran kebahagiaan bukan sekedar dimensi material. Sementara itu, tipe job adalah tipe paling rendah sebab orang yang menekuni profesi dengan tipe ini lebih didorong oleh faktor di luar dirinya seperti karena tata tertib, aturan, kewajiban atau reward and punishment. Orang yang mempunyai tipe terakhir ini biasanya tidak menikmati pekerjaan yang digeluti.

Untuk dapat mewujudkan diri dengan kualitas positif di atas, seorang pendidik  perlu membiasakan diri dengan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara untuk lebih menghidupkan nilai-nilai tersebut adalah dengan model Design for Change (DfC) yang diperkenalkan oleh Kiran Bir Sethi dari Riverside School, India. Melalui DfC ada empat tahapan yang perlu dilakukan untuk membuat sebuah perubahan, yaitu Feel, Imagine, Do, dan Share. Tahapan FEEL menekankan pada kegelisahan atau masalah yang dihadapi baik secara personal maupun institusional. Masalah berarti adanya jurang antara harapan dengan kenyataan, apa yang diinginkan belum sesuai dengan kenyataan.

Sebagai ilustrasi seharusnya kita bahagia tapi kenyataan kita belum bahagia, seharusnya kita penuh kedamaian namun faktanya kita sering galau, gelisah, dan penuh ketegangan, dan seharusnya kita bisa tepat waktu dalam melakukan kegiatan atau target namun kita cenderung mengulur waktu. Selain secara personal, kegelisahan dapat juga terjadi secara kelembagaan atau kolektif dalam komunitas. Kadang kita merasakan ada yang perlu diubah atau diperbaiki dari lembaga atau komunitas yang kita ikuti. Dalam konteks kolektif, proses perubahan biasanya berlangsung lebih lama sebab melibatkan banyak orang sehingga perlu menyatukan persepsi bersama tentang apa yang perlu diperbaiki. Hal ini terkait dengan identifikasi masalah atau memilih masalah mana yang paling prioritas untuk diselesaikan. Di samping itu, faktor utama akar masalah juga penting dilihat secara bersama. Bagi satu orang boleh jadi menjadi masalah tapi bagi orang lain bukan masalah.

Setelah mengidentifikasi masalah dan menentukan akar masalah (FEEL), langkah kedua adalah IMAGINE. Fokus dari langkah ini adalah membayangkan apa yang seharusnya terjadi, misalnya jika yang dirasakan suka meremehkan, maka yang dibayangkan adalah menghargai atau toleran. Jika yang dirasakan sedih, maka yang dibayangkan adalah bahagia. Kalau pada tahapan FEEL lebih berorientasi masa lalu, maka IMAGINE lebih berorientasi pada masa depan. Yang pertama cenderung problem-based, yang kedua berorientasi solution-based. Fokus dari tahap imajinasi adalah kondisi yang diharapkan, mimpi, atau solusi dari tahap pertama. Benedict Anderson menyebut ini dengan istilah imagined community, komunitas yang diimajinasikan. Solusi yang dibayangkan dan akan dilakukan sangat ditentukan oleh kemampuan kita memilih masalah prioritas mana yang perlu diatasi sekaligus mencari akar masalahnya. Tahap kedua ini mirip dengan dream atau goalsetting dalam menatap masa depan, meskipun jangka waktunya lebih terbatas. Jika tahap ini sudah jelas, maka tahapan selanjutnya adalah DO.

Tahap DO mencakup rencana (PLAN) dan implementasi (IMPLEMENT) dari harapan atau solusi yang sudah kita pilih. Rencana lebih terkait dengan berbagai langkah apa saja yang diperlukan untuk mewujudkan mimpi atau harapan yang telah dibuat pada tahap kedua. Rencana sebaiknya dibuat sangat konkret, sebab semakin konkret rencana semakin jelas langkah yang akan kita ambil. Kita dapat menggunakan rumus SMART dalam hal ini, yaitu Specific (indikator lebih spesifik), Measurable (dapat diukur dan dievaluasi pencapaiannya), Achievable (dapat dicapai), Realistic (realistis) dan Timely (ada batasan waktu). Dengan beberapa ketentuan ini, maka implementasi dari yang kita rencanakan lebih jelas. Semakin jelas rencana, semakin jelas langkah untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan yang dibayangkan. Pada tahap ketiga ini, kita harus konsisten melaksanakan rencana yang telah dibuat, baik terkait dengan waktu maupun tempat. Karena itu, kita perlu membuat batasan waktu pelaksanaan dari rencana yang telah kita buat agar lebih jelas melihat keberhasilannya.

Setelah tahap ketiga dilaksanakan, maka tahap terakhir dari DfC adalah SHARE. SHARE artinya kita berbagi pengalaman dan inspirasi dari semua yang telah kita lakukan dalam mengatasi masalah sesuai dengan langkah-langkah yang telah direncanakan. Pada tahap ini, belum tentu semua rencana dan langkah yang kita rencanakan berjalan dengan baik, sebab boleh jadi ada faktor dan variable lain yang mempengaruhi. Rencana yang berisi langkah-langkah menuju dream atau harapan boleh jadi tidak berjalan secara optimal. Karena itu, kita perlu berbagi tentang berbagai hal yang mendukung dan menghambat implementasi langkah yang telah dibuat. SHARE dapat berupa tulisan ataupun lisan.

Secara tertulis, hasil implementasi dapat berupa laporan naratif atau deskripsi yang menggambarkan semua langkah yang telah dilakukan. Sementara itu, secara lisan, sharing dapat berupa presentasi tentang hasil perubahan. Yang juga perlu diperhatikan pada tahap terakhir ini adalah melakukan refleksi untuk mengambil pelajaran (best-practice) dari desain perubahan yang telah kita buat. Dengan DfC ini kita akan mengetahui tingkat keberhasilan dalam mengatasi persoalan dalam menghidupkan nilai-nilai positif. Dengan cara ini kita dapat selalu meningkatkan kualitas nilai kita di masa mendatang. Jika hal ini dilakukan secara terus-menerus, maka kita akan mengalami continuous quality improvement. Gambar di bawah ini menjelaskan secara singkat tentang model DfC.

Design for Change

Self-Transformation
Pembiasaan nilai-nilai moderasi beragama melalui model DfC dalam short course di atas merupakan tahapan penting dalam proses paradigm shift bagi para peserta yang akan menjadi penggerak perubahan. Perubahan paradigma yang dimaksud adalah mereka perlu membiasakan diri sebagai agen perubahan moderasi beragama ketika berada di komunitas masing-masing. Untuk dapat menularkan energi positif mereka harus melakukan self-transformation, mengubah diri menjadi positif terlebih dahulu. Ketika hal ini terjadi maka mereka akan mampu menebarkan nilai-nilai moderasi beragama tersebut ke sekitar mereka, sebab energi itu menular. Nilai-nilai yang dipraktikkan seorang pemimpin akan menular kepada para pengikutnya. Ketika seorang pemimpin menampilkan diri sebagai sosok penuh toleransi, menghargai, kesetaraan, kedamaian, dan kerjasama, maka semua energi positif ini akan mengalir dan menular kepada orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, ketika seorang pemimpin menampilkan diri sebagai figur yang intoleran, meremehkan, egois, suka marah, dan [maaf] arogan, maka energi negatif ini pun juga akan menular kepada lingkungan sekitar. Karena itu, seorang pemimpin diharapkan mampu mengubah diri dari lingkaran keburukan (vicious circle) menuju lingkaran kebajikan (virtuous circle).

Untuk membiasakan calon penggerak perubahan dengan nilai-nilai moderasi beragama, maka proses pembiasaan dengan pendekatan experiential and participatory learning perlu dilakukan. Melalui pendekatan tersebut diharapkan terjadi pembiasaan sehingga muncul kesadaran nilai (values awareness), terjadi transformasi (transformation), dan ada keterhubungan (connectedness) dengan semua pihak dari aspek nilai-nilai positif. Pembiasaan berkesadaran nilai antara lain dilakukan dengan memaknai setiap momen pengalaman yang dimiliki secara positif. Menurut Jack Canfield, setiap hari orang dewasa memikirkan sekitar enam puluh ribu hal. Hanya saja, sejauh ini banyak yang kita pikirkan tersebut seakan lewat begitu saja tanpa kita maknai.

Karena itu, sebagaimana disarankan oleh Klaus Schwab, salah seorang penggagas Revolusi Industri 4.0 setiap orang perlu menyediakan time to pause, waktu untuk jeda, berhenti dari semua aktifitas rutin. Waktu jeda ini penting dilakukan sebab mayoritas kita terjebak pada kegiatan rutin dan berjalan secara mekanik. Karena itu, langkah selanjutnya adalah time to reflect, waktu untuk merefleksikan setiap momen yang pernah kita lewati agar dapat diambil inspirasi, nilai atau ‘ibrah-nya. Bukankah ada peribahasa experience is the best teacher? Pengalaman hanya akan menjadi guru kalau kita mampu mengambil pelajaran dari masa lalu tersebut. Setelah kita mengambil nilai dan pelajaran dari setiap momen tersebut, maka langkah berikutnya adalah time to engage in meaningful conversation, terlibat dalam aktifitas yang lebih positif.

Kesadaran nilai ini hanya akan terjadi jika kita mau melakukan transformasi diri. Transformasi ini dapat dilihat dari perubahan cara pandang tentang motivasi menjadi konselor dari sekedar profesi secara formal menjadi profesi karena panggilan hati sehingga menuntut diri agar lebih positif dan menularkan energi positif melalui proses konseling. Menjadi pemimpin komunitas yang menghidupkan nilai-nilai moderasi beragama tidak cukup berhenti pada level diskursif, namun yang lebih penting adalah bagaimana berlatih menghidupkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya, dalam proses menghidupkan nilai, berlatih agar selalu terhubung dengan nilai-nilai moderasi beragama penting dibiasakan sebab keterhubungan (connectedness) antara pemimpin dengan komunitasnya tidak sekedar secara fisik semata. Hubungan keduanya seharusnya berjalan secara humanis, bukan secara mekanik sehingga dapat memecahkan persoalan yang dihadapi secara bersama. Karena itu, dalam proses pendampingan di komunitas sebaiknya yang lebih ditekankan adalah aspek “kekitaan”, bukan “keakuan”[1].

Rumah Kearifan, 3 Agustus 2021

Daftar Pustaka

  • Adi W. Gunawan, Born to be a Genius, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003
  • Andrias Harefa, Mindset Therapy, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
  • Anthony Robbins, Unlimited Power, Batam: Kharisma Publishing Group, 2006.
  • Arvan Pradiansyah, I Love Monday, Bandung: Mizan, 2015.
  • Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang, Yogyakarta: INSISTPress, 2008.
  • Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya, Jakarta: Gramedia, 2018.
  • Diane Tillman & Diana Hsu, Living Values Activities for Children Ages 3-7, Florida: Health Communications, Inc., 2000.
  • Muqowim, Pengembangan Softskills Guru, Yogyakarta: Pedagogia, 2012.
  • Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to America’s National Identity, UK: Simon and Schuster, 2004.
  • Stephen R. Covey, Living the 7 Habits Menerapkan 7 Kebiasaan dalam Kehidupan Sehari-hari, Jakarta: Binarupa Aksara, 2002.
  • Thomas Lickona, Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012.
  • Tim Noura Book dan Gagas Anak, Aku Bisa (Inspirasi dari Gerakan Design for Change), Bandung: Noura Book Publishing, 2015.
  • Martin E. Seligman, Beyond Authentic Happiness, Bandung: Kaifa, 2008.
  • Ziba Mir-Hosseini, “Being from There: Dilemma of a Native Anthropologist” in Shanaz Nadjmabadi (ed.), Conceptualizing Iranian Anthropology, Oxford: Berghahn, 2010: 180-191.

[1] Sebagian tulisan ini diambil dari buku 2 jilid dengan judul Living Qur’anic Values yang ditulis Tim Pendidikan Kimia 2019 UIN Sunan Kalijaga terbitan K Media Yogyakarta tahun 2019.

nb: Bagi yang menginginkan file materi, silahkan unduh disini.

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *