Merdeka dalam Konteks Teologi Pembebasan
Sebagaimana dijelaskan di atas, pedagogi kritis menekankan pentingnya otentisitas setiap orang yang berkarakter dan mempunyai jati diri. Setiap orang harus menjadi hebat dan bermartabat. Setiap orang diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk sempurna yang mampu menentukan nasibnya sendiri. Hanya saja, potensi hebat tersebut kurang dirawat sejak dilahirkan sehingga sering terpengaruh oleh problem realitas. Nalar kritisnya kurang diasah sehingga lebih mempuntai mental passanger dan follower, bukan trendsetter dan driver. Akibatnya, dia tidak mampu mengatasi setiap persoalan yang dihadapi, apalagi memberikan kontribusi dalam memecahkan problem lingkungan sekitar. Dengan demikian, dia belum merdeka sebab masih terbelenggu oleh realitas di luar dirinya. Menurut Ali Asghar Engineer, setiap orang harus mampu mengatasi setiap persoalan yang ada dan fully-engaged dalam penyelesaian problem realitas. Misi ajaran agama adalah membebaskan manusia dari berbagai hal yang membelenggu dan menindas. Ketika terjadi persoalan di masyarakat seperti ketimpangan sosial atau penyalahgunaan kekuasaan, yang salah bukan ajaran agama, namun kualitas manusianya yang rendah sehingga cenderung berperilaku menyimpang.
Menurut ajaran Islam, rukun Islam yang pertama, yaitu membaca syahadat, terutama syahadat tauhid, merupakan bentuk konkret dari upaya memerdekaan manusia dari semua ketergantungan terhadap ilah (makhluk) selain Allah. Tidak10 ada tuhan [ilah] selain Allah. Asyhadu-an-laa-ilaaha-illa-’llaah. Kata ilah merujuk pada semua hal selain Allah. Hal ini dapat dijabarkan dengan menambahkan beberapa poin misalnya tidak ada yang patut disembah, patut diikuti, patut dijadikan petunjuk, patut dijadikan rujukan, dan patut dijadikan sebagai tempat bergantung, selain Allah. Apa arti semua ini? Hanya Allah-lah satu-satunya Zat yang harus disembah, diikuti, dijadikan rujukan, dan tempat bergantung dalam setiap langkah orang Islam. Ini merupakan bentuk persaksian yang berdampak secara radikal atau mendasar dalam kehidupan. Dengan persaksian ini orang Islam benar-benar menjadi manusia merdeka dari semua belenggu makhluk.
Tuhan yang dimaksud dalam konteks syahadat bukan sekedar bersifat material namun juga non-material. Dalam berbagai kisah umat terdahulu, seringkali tuhan diwujudkan dalam bentuk benda seperti patung, benda keramat, atau sosok manusia. Dalam sejarah kita mengenal berhala yang disebut dengan Lata, Manata dan Uzza. Nabi Ibrahim as menghancurkan patung-patung yang dijadikan sebagai obyek penyembahan. Raja Fir’aun menganggap dirinya sebagai tuhan. Pada hakikatnya, tuhan dapat juga berupa non-material atau sesuatu yang tidak kelihatan. Mungkin kita pernah mendengar kata “menuhankan hawa nafsu”. Kata “menuhankan” ini menunjukkan bahwa ada orang yang cenderung menuruti hawa nafsu dalam melangkah, bahkan cenderung melupakan Allah, maka ini dapat disebut sebagai menuhankan hawa nafsu. Makna ini dapat diperluas, misalnya menjadikan kepentingan diri dan kelompok sebagai yang paling penting, menganggap orang atau kelompok lain sebagai pihak yang salah dan harus dilenyapkan. Sikap ini tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai universal yang ditekankan Allah dalam ajaran agama. Sikap ini cenderung “menuhankan” diri dan kelompok, menjadikannya sebagai ilah selain Allah.
Setiap hari umat Islam diingatkan tentang syahadat tersebut melalui ibadah shalat. Tidak hanya membaca syahadat, namun umat Islam membaca ayat dalam surat al-Fatihah yang menegaskan “hanya kepada-Mu [ya Allah] kami menyembah, dan hanya kepada-Mu [ya Allah] kami minta pertolongan”. Seharusnya apa yang dibaca ketika shalat ini dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita perlu merefleksikan secara personal, apakah kita benar-benar menyembah hanya kepada Allah ataukah tidak, sebab kadang kita masih menganggap pendapat diri sebagai pihak yang paling benar dan cenderung menyalahkan pihak lain, bahkan pihak lain tersebut harus dilenyapkan. Sikap merasa paling benar ini hakikatnya termasuk takabur yang boleh jadi merupakan bagian dari syirik khafiy.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketika menghadapi persoalan, apakah orang masih konsisten dengan ayat yang dibaca dalam shalat tersebut? Menjadikan Allah sebagai satu-satunya penolong? Agaknya mayoritas orang Islam lupa dengan kandungan ayat tersebut, sebab yang lebih didahulukan bukan Allah tetapi makhluk, yaitu bergantung pada pertolongan manusia. Ketika sudah tidak ada jalan keluar, kuldesak, selalu gagal, baru minta tolong kepada Allah. Allah dinomorsekiankan ketika menghadapi persoalan. Dalam perspektif psikologi agama, manusia yang lebih rajin beribadah kepada Allah adalah ketika mereka tidak mampu menyelesaikan persoalan dengan kemampuannya sendiri. Ada perbedaan kualitas relijiusitas yang dimiliki antara ketika sedang tidak mempunyai masalah dengan ketika sedang mempunyai masalah. Mayoritas manusia lebih intensif berdialog dengan Allah, mohon pertolongan kepada Allah ketika menghadapi masalah seperti sakit parah11 atau menghadapi ujian. Ketika penyakit dan ujian tersebut sudah hilang manusia cenderung melupakan Allah. Agaknya Allah telah dijadikan sebagai “patner dagang” yang selalu dikaitkan dengan untung dan rugi.
Dari narasi di atas, kemerdekaan pada dasarnya ketika kita terbebas dari semua bentuk pengaruh dan belenggu yang menyebabkan kita jauh dari Allah. Proses pendidikan seharusnya mampu mengantarkan setiap orang sebagai pribadi yang merdeka, menjadi dirinya sendiri dan selalu berkomunikasi dengan Allah. Setiap orang harus mempunyai God’s consciousness dan GPS (God Positioning System), setiap orang mampu menjadi khalifah, mewakili Allah di muka bumi. Untuk memerankan fungsi khalifah, setiap orang harus “takhallaqu-bi-akhlaqillah”, berakhlak dengan akhlak Allah. Ada dua karakter pokok yang harus dimiliki seorang khalifah, apa pun peran dan profesi yang ditekuni, yaitu pertama, menjaga, merawat dan melestarikan alam dan, kedua, membangun harmoni serta kerahmatan bagi sesama manusia. Hal ini untuk menjawab keraguan malaikat yang “memprotes” Allah ketika akan menjadikan seorang khalifah, “apakah Engkau akan menciptakan orang yang [kerjanya] membuat kerusakan dan menumpahkan darah?”
Kualitas tersebut hanya dapat dihasilkan melalui proses pendidikan. Pendidikan yang dimaksud di sini bukan dalam pengertian pendidikan formal, namun bisa berlangsung di mana saja seperti keluarga dan masyarakat, yang penting ada proses transformasi diri dan sekitar untuk menghasilkan pribadi yang berkesadaran profetik dengan ciri humanisasi (ta’muruna-bil-ma’ruf), emansipasi (tanhauna-’anil-munkar), dan transendensi (tu’minuna-billah). Hal ini hanya dapat diperoleh jika praktik pendidikan membiasakan kesadaran kritis kepada setiap peserta didik. Dengan kesadaran profetik tersebut, setiap orang mampu menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi dan mampu memberikan alternatif pemecahan dari problem realitas sekitar. Kesadaran ini mengantarkan kita sebagai positive trendsetter, bukan follower. Kita menjadi driver, bukan passanger. Semoga konsep merdeka belajar yang saat ini sedang diperkenalkan pemerintah melalui pendidikan mampu mencetak setiap orang mempunyai kesadaran kenabian, enlightened person, manusia tercerahkan dan mencerahkan sekitar.
Untuk menjadi trendsetter sebagaimana diharapkan dalam pedagogi kritis, setiap orang [Islam] seharusnya mempunyai kesadaran kenabian. Pemikiran Kuntowijoyo tentang ilmu sosial profetik penting dijadikan inspirasi dalam konteks ini. Dia sering merujuk QS. Ali Imran (3): 110, yang artinya, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Ayat ini, menurut Kuntowijoyo, setidaknya mengandung empat hal penting yang perlu dicermati, yaitu konsep tentang umat terbaik, pentingnya aktivisme sejarah, makna sebuah kesadaran, dan etika profetik (Kuntowijoyo, 1998: 64). Umat terbaik yang dimaksud dalam ayat ini dapat dipahami sebagai umat yang mampu memberikan pilihan terbaik atau alternatif pemecahan yang dapat membawa kebaikan semua umat manusia. Untuk dapat menjadi umat terbaik, pendekatan yang dilakukan dalam memberikan alternatif pemecahan adalah yang interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Makna aktivisme sejarah dalam ayat ini adalah proaktif membuat perubahan menjadi lebih baik. Perubahan ini didasarkan pada sebuah cita-cita membangun peradaban yang dapat memberikan manfaat untuk seluruh umat manusia. Makna sebuah kesadaran artinya hidup bersifat teleologis, bertujuan ke arah kemajuan, tidak asal melangkah. Sementara itu, etika profetik dicirikan dengan humanisasi, emansipasi dan transendensi.
Prinsip humanisasi dalam paradigma profetik mengacu pada ta’muruna bil- ma’ruf. Prinsip humanisasi tidak sekedar mengajak kebaikan dalam arti konvensional seperti mengajak shalat, berdzikir, berbakti kepada orangtua dan menjalin silaturahim, namun prinsip ini dapat diartikan secara luas misalnya mendirikan lembaga pendidikan, menciptakan teknologi mutakhir yang bermanfaat dan mendirikan rumah sakit. Prinsip emansipasi atau liberasi berasal dari kata tanhauna ‘anil-munkar. Prinsip ini tidak terbatas pada melarang minuman keras, berjudi dan berzina, namun dapat berupa aturan tentang larangan illegal logging atau illegal fishing dan pembakaran hutan. Sementara itu, prinsip transendensi berasal dari kata tu’minuna-billah. Prinsip ini menegaskan pentingnya kesadaran tentang Tuhan di mana pun berada. Dalam konteks sekarang prinsip ini terkait dengan karakter. Di mana pun berada kita harus menjadi pribadi yang berkarakter. Karakter identik dengan terma taqwa. Rasulullah menegaskan tentang pentingnya bertaqwa di mana pun berada (Kuntowijoyo, 1998).
Paradigma profetik tersebut sangat relevan dengan pedagogi kritis, sebab dengan tiga prinsip dalam etika profetik menjadikan setiap orang Islam proaktif memberikan alternatif dari setiap persoalan yang ada di sekitarnya. Untuk dapat menawarkan alternatif pemecahan tersebut diperlukan kesadaran kritis. Selain itu, paradigma tersebut juga relevan dengan konsep merdeka sebab tidak ada yang mengikat kecuali tiga prinsip tersebut. Orang yang mempunyai kesadaran profetik hanya bergantung kepada Allah, tidak kepada makhluk. Yang menggerakkan pribadi merdeka adalah prinsip tauhid, bahwa hanya Allahlah yang menjadi tempat bergantung. Dengan tiga prinsip dalam paradigma profetik mendorong terwujudnya paradigma transformatif dalam pendidikan Islam. Rasulullah, sebagai model transformasi dalam peradaban Islam, dikenal sebagai living qur’anic values, sebagai sosok yang menghidupkan nilai-nilai al-Qur’an (Al-Attas, 1981: 7). Rasulullah merupakan sosok liberatif-transformatif dari semua persoalan yang muncul saat itu.
Dalam perspektif Iqbal, pendidikan Islam harus mampu mencetak individu yang dapat menyerap cakrawala, bukan orang yang larut dalam cakrawala. Iqbal menyebut yang kedua dengan orang yang mempunyai kesadaran mistik (mystical consciousness) sementara yang pertama dengan orang yang mempunyai kesadaran kenabian (prophetic consciousness). Dengan pengertian ini, produk pendidikan Islam mestinya dapat melahirkan tipe orang kedua, yang mampu menentukan arah perjalanan sejarah, bukan dipermainkan oleh sejarah. Untuk itu, pendidikan harus dapat menghasilkan individu yang berkesadaran kenabian atau raushan fikr, bukan berkesadaran mistik. Tipe orang pertama selalu terlibat aktif dalam penyelesaian masalah, bukan menjadi bagian dari masalah atau menciptakan masalah. Singkatnya, pendidikan harus dapat menciptakan kesalehan sosial atau fungsional, bukan kesalehan individual yang egois dan individualis (Mulkhan, 2002: 207).
Ajaran Islam seharusnya menginspirasi umat Islam dalam memberikan alternatif pemecahan dari semua persoalan kontemporer mulai dari bidang ekonomi, hukum, sosial, budaya, politik, dan sains. Ajaran seharusnya mendorong umat Islam mempunyai kesadaran kritis-transformatif sehingga menjadi inspirator munculnya transformasi individual dan sosial, dalam arti dapat mencetak individu yang aktif dalam pergumulan sosial dengan spiritualitas Islam serta membentuk masyarakat yang lebih baik. Semua aktifitas pendidikan senantiasa disinari oleh semangat ajaran Islam sebagai agama pembebas, sementara proses pendidikan sebagai upaya membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketertindasan, keterbelakangan dan penyimpangan baik secara vertikal maupun horizontal (Esack, 1997).
Inti ajaran Islam adalah menjadi diri yang merdeka. Makna tauhid dalam pandangan Islam mempunyai dampak sosial yang luar biasa, dalam arti bahwa tidak ada satu pun orang atau tatanan yang dijadikan sebagai rujukan atau tempat bergantung kecuali Tuhan sendiri. Dengan prinsip ini, semua aktifitas kehidupan diorientasikan pada pengabdian pada Tuhan, bukan untuk kepentingan materialis- hedonis duniawi. Karena itu, tauhidic paradigm (al-Faruqi, 1986) mestinya dapat membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan pengekangan unsur selain Tuhan. Hal ini dapat dilakukan melalui proses dan praktek pendidikan yang membebaskan. Untuk mewujudkan ajaran tauhid ini pendidikan mempunyai peran sentral sebagai media transformasi individu menuju terbentuknya manusia yang berkesadaran kenabian. Sebab, figur konkret yang harus ditiru oleh setiap individu muslim adalah Muhammad, sebagai individu tercerahkan yang mampu melakukan transformasi sosial ketika itu di Jazirah Arab. Meneladani Rasulullah tidak diartikal secara harfiyyah namun harus hermeneutis-kontekstual. Karena itu, Sunnah Nabi tidak diartikan sekedar secara literal, namun harus melalui pembacaan secara hermeneutis sesuai dengan konteks sosial yang dihadapi oleh ‘sang pembaca’. Dalam konteks ini Fazlur Rahman (1984: 4-7), Mohammed Arkoun (1986: 56-61), Ali Engineer (2000), merupakan contoh pemikir muslim modern yang menawarkan pola berpikir hermeneutis-transformatif
Menurut Muthahari, secara garis besar ada dua misi utama dari seorang Nabi (1991: 29). Pertama, mengajak umat manusia ke arah pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya. Kedua, menegakkan keadilan dan kesederajatan dalam masyarakat manusia. Misi pertama mengacu pada surat al-Ahzab (33): 45-46, yang artinya, “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan sebagai cahaya yang menerangi.” Sedangkan misi kedua mengacu pada surat al-Hadid (57): 25, yang berarti, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” Sementara itu, menurut al-Tabattaba’i di antara tugas seorang Rasul adalah menegakkan keadilan di antara umat manusia. Ini berarti bahwa para rasul datang untuk menyampaikan ajaran tauhid serta muamalah. Karena itu, misi seorang rasul dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi yang pertama berkaitan dengan aturan bagaimana melakukan muamalah antar sesama makhluk termasuk manusia misalnya bidang ekonomi, sosial dan pendidikan. Sedangkan dimensi yang kedua berkaitan dengan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni menyangkut persoalan ibadah.
Berkaitan dengan misi nabi sebagai seorang pembebas dari penyakit-penyakit sosial, Engineer menegaskan bahwa pengetahuan akan kondisi sosial, politik, relijius, budaya dan ekonomi adalah sebuah keharusan bagi setiap umat Islam (Engineer, 2000: 41). Sebab, gerakan pembebasan selalu berangkat dari pengetahuan dan kesadaran terhadap kondisi ini. Dikaitkan dengan konteks tersebut, Muhammad telahberhasil membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan14 keterbelakangan, seperti buta huruf, etnosentris, adanya Tuhan agen, subordinasi dan penindasan kaum perempuan, perbudakan, dan kesenjangan ekonomi. Hal-hal tersebut berhasil dibebaskan dan dihilangkan oleh Muhammad, sehingga kedatangan Islam betul-betul sebagai pembebas dari berbagai penyakit, baik penyakit rohani maupun sosial.
Pendidikan Islam yang menjadikan Nabi sebagai model hakikatnya sesuai dengan paradigma pendidikan kritis. Hal ini terlihat dari proses kreatif yang dilakukan Nabi sebagai hasil pembacaan terhadap problem realitas. Nabi aktif dalam penyelesaian problem di masyarakat, tidak mengejar kesalehan individual. Tradisi yang menurut masyarakat Arab sebagai sesuatu yang lumrah dan lazim dianggap oleh Nabi sebagai masalah, misalnya posisi kaum perempuan yang selalu mengalami diskriminasi. Menurut masyarakat Arab, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar, sebab kaum perempuan secara fisik memang kurang dapat diandalkan untuk membela kepentingan sukunya. Namun, bagi Nabi, perlakuan semacam itu tidak manusiawi karena kedudukan manusia sama di hadapan Tuhan, yang membedakan hanya kualitas taqwa (QS. Al-hujurat: 13). Hanya saja, proses kreatif Nabi dalam menyelesaikan problem sosial tersebut tidak banyak dipraktekkan oleh pemikir dan praktisi pendidikan mutakhir di Indonesia dalam membentuk peserta didik yang berkarakter emansipatif-liberatif-transendental.
Melanjutkan membaca, “Pendidikan Islam Kritis…“