Di antara faktor penentu peradaban Islam mencapai puncak peradaban dalam bidang sains dan teknologi pada era klasik adalah sikap moderat yang ditampilkan oleh para ilmuwan. Pandangan ini ini disampaikan oleh Dr. Muqowim, M.Ag. dalam sebuah Kuliah Umum secara virtual yang diselenggarakan oleh Program Studi BKPI Pascasarjana IAIN Curup Bengkulu pada tanggal 27 Mei 2021. Lebih lanjut, dosen FITK UIN Sunan Kalijaga yang juga pendiri Rumah Kearifan ini mengatakan bahwa sikap moderat yang ditampilkan para khalifah seperti Harun al-Rasyid dan khalifah al-Makmun dari Dinasti Abbasiyyah merupakan kunci meraih kemajuan.
Di antara sikap moderat ini tampak dari pembentukan tim yang bertujuan mengumpulkan semua hasil karya peradaban dalam bidang sains dan teknologi dari tradisi intelektual bangsa lain seperti Yunani, Romawi, China, Persia, dan India. Setelah melakukan proses amalgamasi, tim yang dipimpin oleh Hunain bin Ishaq (seorang Kristen Nestorian) dan Tsabit bin Qurrah sebagai sekretaris tim (beragama Majusi) tersebut melakukan proses translasi (penerjemahan) karya-karya tersebut ke bahasa Arab sehingga mudah diakses oleh ilmuwan muslim. Para ilmuwan muslim lahir saat itu antara lain Ibnu Sina, al-Kindi, Ibn Bajjah, al-Farghani, al-Biruni, al-Khawarizmi, Abu Mahasin, dan Ibn Zuhr.
Munculnya para saintis muslim tersebut dimulai ketika mereka dapat mengakses berbagai karya dari peradaban lain yang sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Arab sehingga mereka dapat melakukan kajian kritis dan menawarkan hal baru secara kreatif dan inovatif. Kemajuan sains dan teknologi tersebut dicapai karena beberapa faktor. Pertama, al-Qur’an dijadikan sebagai inspirasi dalam pengembangan sains dan teknologi. Menurut George Sarton, dalam karyanya Introduction to the History of Science, kemajuan sains dan teknologi dalam peradaban Islam dicapai karena “the gravity of the Qur’an”, kitab suci umat Islam ini dijadikan sebagai pusat inspirasi yang didialogkan dan dipraktikkan dalam realitas, bukan sekedar dihafalkan.
Faktor selanjutnya yang menyebabkan kemajuan peradaban Islam dalam bidang sains adalah karena adanya dukungan dari penguasa (khalifah). Saat itu khalifah mempunyai komitmen tinggi dalam bidang keilmuan sehingga membuat kebijakan yang pro-sains seperti pembentukan tim pengembang sains dan teknologi serta mendirikan pusat pengembangan sains yang disebut dengan Baitul Hikmah (House of Wisdom). Melalui lembaga ini, berbagai fasilitas disediakan bagi para peneliti agar mereka merasa nyaman dalam melakukan kajian.
Faktor selanjutnya adalah adanya jaringan internasional dengan bangsa lain sehingga terjadi dialog dan pertukaran ilmu pengetahuan. Luasnya jaringan keilmuan ini menyebabkan terjadinya dialog antar peradaban dari tradisi yang berbeda. Jaringan yang luas ini dapat terbentuk disebabkan adanya sikap keterbukaan terhadap entitas lain yang berbeda. Akhirnya, penyebab selanjutnya dari kemajuan peradaban islamdi bidang sains dan teknologi adalah adanya kemajuan ekonomi, sebab saat itu Dinasti Abbasiyyah menguasai wilayah Mediterrania yang merupakan pusat perdagangan dunia. Beberapa faktor tersebut dilakukan karena sikap moderat dalam beragama.
Para penguasa dan ilmuwan ketika itu tidak akan melakukan berbagai langkah progresif dalam pengembangan sains dan teknologi kalau mereka tidak mempunyai karakter inklusif, open-minded, toleran, peduli, kasih sayang, cinta, berbagi, berdiri di tengah, berorientasi pada solusi, komitmen, mempunyai goalsetting, mendahuluan yang utama, demokratis, learning to learn, to grow and to change, time management, kreatif, inovatif, dinamis, kerjasama, menghargai, dan egaliter. Dalam konteks modern, mereka mempunyai softskill tinggi sebab softskill inilah yang menunjang 80% keberhasilan seseorang dalam hidup, baik yang berupa intrapersonal maupun interpersonal.
Menurut Kementerian Agama yang diinisiasi oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), indikator sikap moderat tersebut dikenal dengan istilah NISWA (nilai-nilai Islam wasathiyyah) yang berjumlah sekitar dua belas nilai yaitu tawassuth, tasamuh, tawazun, ishlah, syura, ibtikar, tathawwur, aulawiyyah, musawah, i’tidal, muwathanah, dan qudwatiyyah. Jika semua nilai ini dipraktikkan dalam konteks keseharian baik secara personal maupun insititusional dapat dipastikan madrasah akan menjadi ujung tombak kemajuan sains dan teknologi sebagaimana dicontohkan pada era klasik Islam.