Oleh: Dr. Muqowim, M.Ag.
(Accredited Trainer Living Values Education (LVE) dan Founder Rumah Kearifan)
Pentingnya Wasatiyah Literacy
Yang dimaksud dengan wasatiyah literacy (melek wasatiyah) adalah kemampuan seseorang (orang Islam) dalam merefleksikan pengetahuan dan pengalaman beragama yang telah dimiliki di masa lalu sehingga menjadi ide dan nilai yang menginspirasi melangkah menjadi lebih baik di masa depan dalam menghadapi kehidupan secara lebih positif untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Dengan pengertian ini yang dimaksud orang yang melek wasatiyah bukan hanya orang yang kaya secara keilmuan dan pengalaman saja namun dia harus mampu merefleksikan keduanya (pengetahuan dan pengalaman) tersebut menjadi nilai dan gagasan yang transformatif baik secara personal maup]un sosial. Karena itu, literasi wasatiyah mensyaratkan tiga hal yang harus kita miliki agar kita termasuk dalam kategori literate (melek huruf), yaitu learning, unlearning dan relearning. Learning berarti belajar tentang nilai-nilai wasatiyah sebanyak mungkin sehingga seseorang mempunyai pengetahuan dan pengalaman sebanyak mungkin tentang nilai tersebut. Proses ini lebih bermakna memahami nilai wasatiyah secara kognitif-diskursif. Setelah proses pertama ini dikuasai, maka proses kedua, yaitu unlearning, perlu dilakukan. Tahap kedua ini lebih menekankan pada kemampuan dan kemauan melakukan refleksi terhadap pengetahuan dan pengalaman yang telah kita miliki tentang nilai wasatiyah tersebut. Hasil dari proses refleksi diri ini antara lain berupa pelajaran, ide, arti dan makna penting dari nilai wasatiyah. Proses kedua ini akan menghasilkan banyak pesan dan gagasan mengenai urgensi nilai wasatiyah, pentingnya menghidupkan nilai wasatiyah, dan peta tentang nilai-nilai wasatiyah yang sudah dan belum diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari baik secara perseorangan maupun kelembagaan. Berdasarkan peta diri tentang nilai-nilai wasatiyah yang digali dari pengetahuan dan pengalaman tersebut, maka proses relearning perlu dilaksanakan. Proses ketiga ini menghasilkan rencana dan langkah konkret untuk mengimplementasikan nilai-nilai wasatiyah tersebut dalam kehidupan nyata baik dalam konteks individu maupun sosial khususnya di lembaga pendidikan msalnya sekolah dan madrasah. Dengan narasi singkat tersebut, orang yang melek wasatiyah (wasatiyah literate) berarti orang yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang nilai-nilai wasatiyah (knowing and having the wasatiyah values), merasakan makna dan nilai wasatiyah dalam beragama (feeling and loving the wasatiyah values), dan mengamalkan nilai-nilai wasatiyah dalam kehidupan sehari-hari (doing the wasatiyah values).
Dengan penjelasan singkat di atas, kita dapat merefleksikan diri tentang posisi keberagamaan kita masing-masing saat ini. Boleh jadi kita masih buta huruf wasatiyah meskipun kita sudah mempunyai pengetahuan tentang wasatiyah, sebab kita baru mempunyai pengetahuan tentang wasatiyah. Boleh jadi kita sudah mempunyai pengetahuan dan wawasan mendalam tentang nilai-nilai wasatiyah, namun jika pengetahuan dan pengalaman tersebut tidak kita refleksikan dan renungkan secara mendalam, maka hakikatnya kita masih buta huruf wasatiyah meskipun sudah mempunyai pengetahuan mumpuni tentang wasatiyah. Pengetahuan kita tentang nilai-nilai wasatiyah seharusnya mampu menggerakkan kita melakukan perubahan dan transformasi ke arah yang positif sehingga mampu menjadi agen wasatiyah. Di antara ciri kita sudah melek huruf wasatiyah adalah jika kita mampu membangun kehidupan harmoni di masyarakat dan melestarikan alam. Nilai-nilai wasatiyah seharusnya menjadi ruh dalam setiap langkah. Dengan demikian, diharapkan kita memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai wasatiyah sehingga mampu menjadi agen rahmatan lil-‘alamin.
Dalam konteks lembaga pendidikan Islam terutama madrasah, proses pendidikan seharusnya menuju pada terbentuknya individu yang melek huruf wasatiyah, yaitu mempunyai pengetahuan dan pengalaman nilai wasatiyah dan menghidupkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja, agaknya, harapan ini belum sepenuhnya terjadi di madrasah. Beberapa indikator tentang hal ini antara lain penekanan aspek kognitif-administratif dari agama cenderung mendominasi, agama masih dijadikan sebagai context of justification (justifikasi dari pendapat seseorang tentang sesuatu), bukan context of discovery (nilai-nilai agama yang menginspirasi pada transformasi diri dan lingkungan sekitar di mana pun berada), dan agama sering dijadikan sebagai alat kepentingan sesaat yang bersifat material-duniawiyah seperti ekonomi dan politik. Muncul fenomena orang beragama hanya karena ada kepentingan, bukan menitikberatkan pada bagaimana menghidupkan nilai-nilai agama. Jika hal ini yang terjadi secara terus-menerus, maka agama kehilangan elan vital-nya. Agama berhenti pada level “stempel”, bukan ruh beragama untuk menjadi khalifah Allah swt di muka bumi.
Setidaknya ada dua belas nilai yang terkandung dalam wasatiyah literacy yaitu tawasuth, tawazun, tasamuh, musawah, islah, syura, i’tidal, aulawiyah, tahadlur, tathawur, ibtikar, dan muwahanah. Secara garis besar tawasuth berarti kemampuan mengatasi persoalan dengan berdiri di tengah tidak melakukan keberpihakan hanya karena likebility atau attachment secara personal dan kelompok. Orang yang mempunyai nilai ini seperti wasit yang memberikan solusi berdasarkan koridor yang ada. Tawazun kurang lebih bermakna kemampuan bersikap seimbang. Ada hubungannya dengan nilai tawasuth, orang yang bersikap tawazun ini mampu menyeimbangkan kondisi ke tengah, tidak ke kanan dan ke kiri secara ekstrim. Tasamuh bermakna toleran dalam menghadapi keragaman. Kita mampu memahami, mengelola dan menghargai keragaman yang ada tanpa harus kehilangan jati diri. Tasamuh juga berarti kemampuan memahami dan merasakan apa yang dialami dan dirasakan orang lain. Orang yang mempunyai nilai ini tidak mudah menghakimi dan menilai orang lain menurut dirinya sendiri. Musawah bermakna setara, artinya orang yang mempunyai nilai musawah mampu bersikap eqaliter dan tidak diskriminatif baik secara gender, etnis, bahasa, maupun agama. Satu-satunya ukuran yang digunakan dalam melihat orang lain adalah kualitas karakter dan ketaqwaan, bukan lampiran ataupun topeng duniawi. Terkait dengan sikap musawah adalah syura dan islah. Syura berarti kemampuan bersikap demokratis dan menghargai keragaman sehingga setiap persoalan diselesikan dengan memahami, mendengar dan mengelola keragaman untuk mendapatkan solusi bersama. Sementara itu, islah berarti kemampuan melakukan perbaikan dan alternatif pemecahan dari persoalan yang ada. Dengan sikap islah ini akan muncul maslahah dan manfaat.
I’tidal berarti kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya sehingga tercipta keseimbangan dan ketenangan. Dia mampu bersikap adil dan imparsial. Nilai ini ada kaitannya dengan aulawiyah, ibtikar, tathawur, tahadlur dan muwathanah. Aulawiyah menekankan kemampuan mengambil prakarsa dan inisiatif dalam bertindak berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Orang mempunyai nilai ini mampu memilih prioritas dengan lebih mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi dan kelompok atau golongan. Ibtikar berarti inovatif dan kreatif dalam menyelesaikan tantangan dan persoalan yang ada. Orang yang mempunyai nilai ini mampu menggeser sudut pandang untuk mencari solusi, keluar dari kebuntuan. Karena itu, orang seperti ini pasti bersikap tathawur, artinya dinamis dan selalu mau belajar, mau tumbuh dan mau berubah. Orang dengan sikap tathawur tidak akan terjebak dalam zona nyaman yang cenderung meninabobokkan dirinya. Sementara itu, tahadlur bermakna kemampuan bersikap progresif dan bernilai positif dalam ranah publik. Tahadlur mengarah pada pentingnya kita mempunyai public civility (keadaban publik). Nilai ini sangat terkait dengan muwathanah, yaitu kesadaran kita sebagai warga negara. Citizenship value sangat penting saat ini di tengah maraknya ide penggantian sistem bernegara dengan khilafah yang tidak sesuai dengan spirit pendirian negara kita oleh para founding father and mother. Sebagai warga yang baik dalam bertindak harus memahami kesepakatan para pendiri bangsa yang sudah tercantum dalam konstitusi.
Melanjutkan membaca : MODERASI BERAGAMA DAN SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS [3]