Pahami Diri yang Multidimensi!

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Allah menciptakan setiap diri kita sebagai makhluk sempurna. Mengapa? Sebab, zat yang menciptakan kita adalah Sang Maha Sempurna. Yang tidak sempurna adalah cara kita melihat diri sendiri. Tidak ada satu pun pemikir atau ilmuwan yang mampu mendefinisikan secara sempurna tentang siapa diri kita sebagai manusia. Hal ini disebabkan kompleksitas yang terdapat dalam diri kita. Bahkan, salah seorang pemenang Nobel Prize Bidang Kedokteran tahun 1912, Alexis Carrel, menyebaut kita sebagai makhluk paling misterius melalui karyanya, Man The Unkown. Manusia dalam konteks alam semesta disebut sebagai mikrokosmos, sedangkan alam semesta adalah makrokosmos. Semua unsur alam ada dalam diri kita. Betapa banyak nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita. Kalau kita mau menghitung nikmat Allah dalam diri kita, kita pasti tidak akan mampu menghitungnya.

Di antara para pemikir yang konsen dengan kajian tentang manusia adalah ‘Abdurrahman Salih ‘Abdullah, Ziba Mir-Hosseini, dan Samuel P. Huntington. ‘Abdurrahman Salih ‘Abdullah, dalam karyanya Educational Theory: A Qur’anic Outlook, mengatakan bahwa manusia mempunyai empat dimensi yang harus dipahami jika akan mengembangkan semua potensi yang dimiliki, yaitu ahdaf al-jismiyyah, ahdaf al-‘aqliyyah, ahdaf al-ijtima’iyyah, dan ahdaf al-ruhiyyah. Dimensi pertama terkait dengan fisik-jasmani seperti warna kulit, jenis rambut, jenis kelamin, dan tingggi atau berat badan, dimensi kedua tentang intelektual seperti kemampuan kognitif dan penalaran, aspek ketiga tentang sosial seperti kemampuan membangun relasi, komunikasi, interaksi, dan kolaborasi dengan sesama manusia, dan aspek keempat terkait psikis-spiritual seperti kualitas afektif, mental dan kesadaran tentang dirinya dan Tuhan. Semua proses pendidikan yang kita lakukan seharusnya didesain untuk memaksimalkan setiap aspek tersebut agar menjadi insan kamil, manusia yang sempurna.

Semua proses pendidikan yang kita lakukan seharusnya didesain untuk memaksimalkan setiap aspek tersebut agar menjadi insan kamil, manusia yang sempurna.

Dr. Muqowim, M. Ag.

Berbeda dengan ‘Abdullah yang cenderung melihat manusia dari perspektif normatif-al-Qur’an, Ziba adalah seorang aktivis dan antropolog. Dia sangat konsen dengan isu HAM dan gender. Baginya, manusia harus dipahami sebagai makhluk yang mempunyai multiple layers, lapisan yang majemuk. Lapisan tersebut antara lain fisik, gender, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan politik. Setiap lapisan tersebut harus dipahami secara utuh agar tidak menimbulkan bias dan salah perlakuan. Setiap aspek yang kita miliki tersebut berkembang secara dinamis tergantung konteks sosial dan budayanya. Setiap orang perlu dilihat menurut konteksnya, tidak boleh dihakimi menurut kepentingan orang lain. Karena itu, setiap orang harus dihargai (respected) dengan semua keunikan yang dimiliki, perlu dilindungi (protected) dari setiap hal yang dapat menurunkan kualitas kemanusiannya, dan harus dipenuhi (fulfilled) kebutuhannya. Kesadaran tentang semua lapisan yang kita miliki sangat penting agar semua potensi yang kita miliki berkembang secara optimal.

Sementara itu, Huntington, dalam bukunya Who Are We?, membahas tentang identitas orang Amerika yang banyak mengalami tantangan dan perubahan. Setiap orang mempunyai multiple identities yang perlu dipahami secara cermat. Pandangan Huntington tentang identitas ini agak mirip dengan Ziba tentang lapisan yang melekat dalam diri setiap orang. Hanya saja, Ziba lebih menekankan lapisan secara antropologis sedangkan Huntington secara sosiologis. Menurut Huntington, dihadapkan pada tantangan dan perubahan jaman, identitas yang kita miliki mengalami perubahan juga. Kita tidak dapat melihat seseorang hanya dari satu aspek identitas saja seperti jasmani, geografi, pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, atau politik saja.

Seluruh identitas tersebut harus kita pahami sebab saling berkait-berkelindan. Terlebih di era globalisasi saat ini muncul hybrid identity, ketika ada “twofold process involving the interpenetration of the universalization of particularism and the particularization of universalism”, antara dimensi lokal yang bersifat partikular saling berinteraksi dengan dimensi global yang bersifat universal. Kita tidak bisa lagi memaknai orang yang tinggal di daerah pedesaan dengan sudut pandang lama yang cenderung tertutup, kuper, dan katrok, sebab mereka sudah menjadi warga global melalui smartphone yang bersentuhan secara aktif dengan dunia tanpa batas. Sebagian mereka sudah mempunyai hybrid identity. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang revolusioner memungkinkan setiap diri kita terhubung dengan dunia luar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Munculmya borderless world yang terjadi saat ini menyebabkan terjadinya banyak perjumpaan antar identitas yang sangat beragam. Akibatnya, muncul banyak varian baru tentang identitas seperti agama, etnis dan bahasa.

Berdasarkan uraian singkat di atas, yang harus kita pahami bersama adalah bahwa semua dimensi yang kita miliki berkembang secara dinamis. Perubahan ini berdampak pada cara pandang kita terhadap diri dan lingkungan sekitar. Ketika dihadapkan pada persoalan dan tantangan baru, pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki sebelumnya boleh jadi sudah tidak relevan lagi sehingga harus di-update. Kita tidak mungkin mengatasi persoalan baru dengan menggunakan perspektif lama, bakalan tidak nyambung. Menghadapi situasi yang terus berubah tersebut, pola pikir kita juga harus berubah. Hal ini seharusnya menjadi kesadaran kita ketika dihadapkan pada orang lain yang juga mengalami perubahan. Karena itu, kemampuan menyadari diri sendiri seharusnya juga dibarengi dengan kemampuan memahami orang lain di sekitar kita.

Tanpa kesadaran ini, kita akan cenderung memperlakukan orang lain dengan paradigma lama. Jika hal ini kita lakukan maka akan menimbulkan banyak benturan dan ketegangan. Menurut Sadruddin Aga Khan, munculnya banyak ketegangan, konflik dan kekerasan lebih banyak disebabkan oleh the clash of ignorances, benturan ketidaktahuan. Semakin banyak kita mengenal orang lain dari berbagai perspektif semakin kita terhubung dengan mereka. Sebaliknya, semakin minim pengetahuan kita tentang identitas lain yang multidimensional semakin besar kita terpisah, berjarak dan terjadi benturan. Karena itu, di antara kunci mengenal entitas lain yang berbeda ini adalah kemampuan kita memahami identitas yang multidimensional, sebab semua manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk multidimensional yang berkembang secara dinamis.


About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *