Pembelajaran Berbasis Proyek dalam KURMER

Terkait dengan pemberlakuan Kurikulum Merdeka (KURMER) saat ini, salah satu poin yang harus dipahami adalah Proyek Pembelajaran Profil Pelajar Pancasila. Banyak praktisi pendidikan, khususnya guru, yang menyalahpahami tentang makna dan implementasi proyek. Sebagian memahami proyek sebagai sesuatu hal yang mahal dan mengeluarkan biaya besar. Selain itu, proyek juga seringkali hanya sebatas aktifitas formal, kurang menjangkau hal yang lebih esensial, yaitu pengamalan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, Dr. Muqowim berkesempatan ngobrol santai dengan pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta, Sri Wahya ningsih, atau lebih akrab disapa Bu Wahya. Kegiatan ini berlangsung tanggal 19 Mei 2023 di rumah Bu Wahya. Selain sebagai pendiri SALAM, Bu Wahya juga termasuk tokoh ikon Pancasila yang dipilih oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Jakarta.

Fokus obrolan Pak Muqowim dan Bu Wahya terkait dengan implementasi pembelajaran proyek dalam KURMER. Berdasarkan ngobrol santai dari kedua pakar pendidikan tersebut, ada beberapa poin yang perlu digarisbawahi. Pertama, harus dipahami bersama bahwa semua aktifitas pembelajaran adalah untuk membiasakan nilai atau karakter. Hal ini juga berlaku untuk pembelajaran proyek dalam KURMER. Pembelajaran proyek didesain untuk membiasakan nilai-nilai Pancasila khususnya beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, mandiri, gotong royong, kreatif dan bernalar kritis. Karena itu, semua proyek harus dilandasi kesadaran untuk menghidupkan nilai-nilai tersebut, tidak sekedar membuat proyek.

Poin selanjutnya yang perlu dipahami terkait dengan proyek adalah bahwa proyek dibuat berdasarkan kebutuhan setiap peserta didik, bukan dibuatkan oleh guru. Dalam praktik pendidikan yang berpusat pada guru, proyek lebih banyak dibuat atau disiapkan oleh guru, kurang memberikan ruang atau kesempatan pada setiap anak untuk mendesain bersama. Akibatnya, proyek yang ditawarkan guru seringkali tidak berbasis kebutuhan dan tidak sesuai dengan konteks realitas sekitar di mana anak tinggal. Guru lebih banyak mengejar aspek formal-administratif ketimbang substansi proyek tersebut. Karena itu, anak-anak kurang peka terhadap problem realitas dan tidak terbiasa menawarkan alternatif pemecahan terhadap permasalahan yang ada.

Selanjutnya, perlu dipahami bahwa hakikat proyek adalah setiap aktifitas yang dilakukan oleh peserta didik yang didesain oleh guru, tidak harus dipahami sebagai sebuah kegiatan yang besar dan memakan biaya besar. Bahkan, aktifitas yang didesain oleh guru melalui strategi pembelajaran di kelas pada dasarnya dapat disebut sebagai proyek. Hanya saja, dalam konteks KURMER, setiap aktifitas tersebut sebaiknya dilandasi oleh kesadaran untuk lebih menghidupkan nilai-nilai Pancasila, bukan sekedar aktifitas pembelajaran semata. Hal ini mensyaratkan adanya value awareness bagi guru sebelum mendesain pembelajaran. Desain pembelajaran untuk menghidupkan nilai berkebinekaan global tentu saja berbeda dengan aktifitas untuk menghidupkan nilai kemandirian, gotong royong, kreatif atau bernalar kritis, meskipun boleh jadi dalam sebuah desain pembelajaran melibatkan lebih dari satu nilai.

Akhirnya, Pak Muqowim dan Bu Wahya sepakat bahwa keberhasilan implementasi KURMER melalui pembelajaran proyek sangat ditentukan oleh paradigma dan mindset guru. Bagi guru yang mempunyai kesadaran kritis dan growth mindset akan mudah menerapkan kurikulum baru ini secara tepat, mencerahkan dan menginspirasi. Sebaliknya, di tangan guru yang mempunyai fixed mindset membuat kurikulum baru tersebut terasa memberatkan, cenderung formalistik dan anti realitas alias tidak kontekstual. Karena itu, PR terbesar pemerintah, terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama adalah mengubah mindset dan kultur berpikir guru. Hal ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar, terlebih bagi guru-guru yang terbiasa berorientasi formal-administratif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *