Dalam konteks pendidikan kita harus menyadari bahwa selalu ada gap antara yang wilayah normatif dengan yang historis, antara teks dengan konteks, antara das Sein dan das Sollen. Hal ini perlu dijadikan sebagai bahan untuk meningkatkan kualitas diri secara terus-menerus agar dapat mencapai tingkat yang lebih ideal. Secara normatif, pembelajaran PAI seharusnya mampu membiasakan setiap peserta didik dengan nilai-nilai yang positif agar menjadi agen rahmatan lil-‘alamin, namun dalam praktiknya pembelajaran PAI baru sebatas di wilayah normatif-tekstual, belum mengarah sepenuhnya pada proses menghidupkan nilai-nilai ideal tersebut.
Di era Revolusi Industri 4.0, banyak gejala di masyarakat termasuk dunia pendidikan yang mengarah pada proses dehumanisasi seperti fear of missing out, narcissistic personality syndrome, voyeurism, dan muncheon syndrome. Hal ini terjadi antara lain karena manusia “dimanjakan oleh kemajuan teknologi” yang serba mudah dan cepat. Hal ini terjadi juga di dunia pendidikan. Untuk mengatasi hal ini antara lain dengan mengembalikan makna dan spiritualitas pendidikan. Proses pendidikan harus dimaknai sebagai sebuah upaya untuk membiasakan setiap peserta didik agar mampu melihat setiap persoalan dan tantangan secara filosofis-substansial, sebab sejauh ini pendidikan lebih banyak dilihat dari aspek hilir ketimbang hulu. Hal ini berdampak pada kemampuan peserta didik hanya melihat dari aspek eksternal semata. Jika hal ini terjadi maka akan muncul banyak ketegangan dan dilema dalam kehidupan. kemampuan mencari titik temu dan benang merah dari tension and dilemma tersebut sangat diperlukan.
Berdasarkan pemikiran di atas, Program Studi PAI FTIK UIN KHAS Jember mengadakan kegiatan Seminar Nasional tentang Menghidupkan Nilai Kearifan dalam Masyarakat Multikultural pada tanggal 21 Juni 2023. Kegiatan ini diperuntukkan bagi semua mahasiswa yang dikemas secara hybrid (luring dan daring). Dengan seminar ini diharapkan semua peserta mempunyai kemampuan melihat setiap aksiden dan momen dalam praktik pendidikan, khususnya, dan di masyarakat, pada umumnya, dari beragam sudut pandang dan perspektif. Dalam hal ini, bersikap arif sangat penting dan diperlukan dalam menghadap setiap persoalan dan tantangan agar menghasilkan alternatif pemecahan yang solutif, konstruktif dan kontributif. Kegiatan ini diantarkan oleh Dr. Mashudi selaku Wakil Dekan Bidang Akademik.
Dalam sambutannya, Dr. Mashudi menggarisbawahi tentang tradisi intelektual melalui berbagai aktifitas ilmiah harus selalu ditingkatkan. Seminar merupakan salah satu kegiatan penting u tuk merawat tradisi tersebut agar semua civitas akademika dapat terus menimba ilmu pengetahuan terus-menerus, terlebih dengan mendatangkan narasumber yang handal seperti Dr. Muqowim dari UIN Sunan Kalijaga yang juga sebagai founder Rumah Kearifan. Dia mengenal Dr. Muqowim sudah cukup lama terutama ketika menjadi salah satu pembicara seminar internasional di Ambon dan sebagai trainer LVE. Ketika itu ada pelatihan LVE untuk para pengelola Program Magister dan Doktor PTKI se-Indonesia. Karena itu, UIN KHAS Jember juga pernah mengundang Dr. Muqowim sebagai fasilitator dalam kegiatan workshop Pendidikan nilai di Pascasarjana.
Selainjutnya, pada kesempatan ini, Dr. Muqowim penekankan pentingnya bersikap arif dalam konteks masyarakat majemuk. Menurutnya, dalam konteks hidup berkelompok, mempunyai sikap arif dan bijaksana sangat ditekankan sebab setiap orang mempunya ego yang bersumber dari tradisi (‘urf) masing-masing sesuai dengan garis kehidupan yang telah dilewati. Garis kehidupan ini mengimplikasikan adanya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki tiap orang dengan semua dimensinya. Semakin mengenal semua lapisan dari garis kehidupan yang dimiliki anggota lain, semakin membuat seseorang menjadi arif.
Kata arif sendiri sama dengan wise dalam bahasa Inggris. Jika menjadi kata benda, yaitu kearifan maka sama dengan wisdom, yang artinya kearifan dan kebijaksanaan. Menurut leksikon kata wisdom dartikan dengan “the quality of having experience, knowledge, and good judgment”, yaitu kualitas yang dimiliki seseorang karena dia mempunyai pengalaman, pengetahuan dan keputusan yang baik. Hal ini diperkuat dengan pengertian lain yaitu “the ability to make good judgments based on what you have learned from your experience”, sebuah kemampuan untuk membuat keputusan yang baik didasarkan pada apa yang telah dipelajari dari pengalaman sebelumnya.
Dengan demikian, wisdom dapat dipahami sebagai kemampuan untuk merenungkan dan bertindak dengan menggunakan pengetahuan, pengalaman, pemahaman, akal sehat, dan wawasan. Wisdom juga lebih dikaitkan dengan penilaian yang tidak memihak, penuh kasih sayang, dan pengetahuan diri yang didasarkan pada pengalaman, dan transendensi diri. Selain itu, kearifan juga terkait dengan kebajikan seperti halnya etika. Hal ini pada dasarnya sejalan dengan pandangan Charles Haddon Spurgeon yang mengatakan bahwa wisdom adalah “the right use of knowledge”, penggunaan pengetahuan secara tepat.
Dengan pengertian wisdom di atas ada beberapa poin yang perlu kita cermati. Pertama, kearifan berkaitan dengan pengalaman di masa lalu. Orang yang arif ketika berpendapat, memutuskan atau melangkah akan mempertimbangkan pengalaman masa lalu, baik pengalaman tersebut dialami sendiri secara langsung (personal experience) ataupun pengalaman orang lain (collective experience). Pengalaman merupakan hal penting sebab lebih menekankan bukti atau data, tidak asal berpendapat atau hanya sebatas gagasan dan wacana. Tentu saja bukti lebih dapat dipercaya daripada janji. Selain itu, data masa lalu itu pun bukan sekedar menjadi tumpukan data yang belum diolah tetapi sesuatu yang dijadikan bahan refleksi agar mendapatkan inspirasi atau insight.
Poin selanjutnya, yang kedua, adalah bahwa kearifan berkonotasi pada pengetahuan yang mendalam. Pengetahuan ini terkait dengan masa lalu (past), sekarang (present) dan masa depan (future). Sebuah pengetahuan disebut mendalam jika mencakup atau melibatkan banyak perspektif, bukan monodisipliner. Hal ini sering disebut dengan pendekatan interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Berbagai perspektif tentang segala sesuatu perlu dimiliki agar kita dapat lebih bersikap arif dan bijaksana, sebab jika kita hanya mempunyai satu sudut pandang saja, maka ketika dihadapkan pada persoalan dan tantangan kita akan menawarkan alternatif solusi yang kurang variatif. Sebaliknya, dengan memperbanyak perspektif, maka kita akan menawarkan pemecahan sebuah persoalan secara lebih komprehensif, mendasar dan beragam.
Poin ketiga dari kearifan adalah pentingnya pembuatan keputusan secara tepat. Sebelum mengambil sebuah keputusan seharusnya kita mempertimbangkan banyak aspek agar hasilnya tepat sasaran, berdampak positif dan bermakna di masa depan, bukan hanya berorientasi jangka pendek. Di antara pertimbangan penting yang perlu dilakukan sebelum kita memutuskan sesuatu adalah outcome yang akan dihasilkan. Karena itu, pertimbangan secara matang perlu dilakukan agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Bagi orang beragama, pendekatan spiritualitas dengan mengkomunikasikan setiap persoalan kepada Tuhan sangat penting sebab yang paling tahu masa depan adalah Dia. Karena itu, ada sebuah proverb menarik, Man proposes and God disposes, manusia yang membuat rencana dan ikhtiar, namun Tuhanlah yang menentukan keberhasilannya.
Dalam konteks kehidupan kelompok bersikap bijaksana memerlukan banyak pertimbangan dan perenungan sebelum bertindak baik berdasarkan pengetahuan maupun pengalaman. Hal ini sejalan dengan pandangan positive psychology bahwa berpikir arif harus selalu ada koordinasi antara pengetahuan dan pengalaman. Hal ini dilakukan agar pada akhirnya setiap tindakan akan membawa efek positif seperti kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu kita cermati terkait dengan dimensi kearifan. Pertama, pentingnya memecahkan masalah dengan menggunakan self-knowledge (pengetahuan diri) dan sustainable action (tindakan yang berkelanjutan). Pengetahuan diri terkait dengan kemampuan merefleksikan secara mendalam terkait pengetahuan yang dimilki, sedangkan tindakan yang berkelanjutan terkait dengan akibat yang akan ditimbulkan dari tindakan yang diambil. Kedua, kearifan perlu menekankan ketulusan kontekstual terhadap lingkungan sekitar dengan melihat semua dimensi baik positif maupun negatif.
Ketiga, setiap tindakan yang kita ambil hendaknya selalu didasarkan pada nilai (values-based actions) terutama dikaitkan dengan lingkungan sekitar yang penuh dengan keragaman. Tindakan berbasis nilai ini penting ditekankan, terlebih dalam masyarakat yang majemuk, sebab sebuah tindakan, sekecil apa pun, akan mempunyai dampak terhadap orang-orang di sekitarnya. Karena itu, tindakan secara grusa-grusu dan tidak diperhitungkan secara matang hanya akan menimbulkan efek negatif bagi lingkungan sekitar, terutama kelompok.
Keempat, sikap bijaksana dapat kita miliki jika kita mampu bersikap empati dan penuh welas asih ketika dihadapkan pada konteks kelompok yang majemuk para anggotanya. Kita perlu membiasakan diri untuk bersikap dan berpikir positif terhadap diri sendiri sebab sebelum kita mampu bersikap positif terhadap orang lain kita perlu mempunyai kualitas energi positif tersebut. Hanya orang yang punya yang dapat memberikan sesuatu, sebab energi itu menular. Jika kita mempunyai kualitas positif, maka lingkungan sekitar akan tertular virus tersebut. Sebaliknya, jika kita mempunyai energi negatif, maka energi tersebut yang akan kita tularkan ke lingkungan sekitar. Untuk itu, kita perlu membiasakan diri dengan sikap bijaksana dalam setiap aktifitas.
Akhirnya, orang yang mempunyai wisdom mampu berpikir secara filosofis, sebab kata filsafat (philosophy) itu sendiri berasal dari kata philos dan sophos yang artinya “the love of wisdom”, cinta terhadap kearifan atau kebijaksanaan. Kemampuan berpikir secara mendasar ini menjadi modal penting untuk melakukan berbagai terobosan secara positif. Bahkan, dalam konteks peradaban Islam klasik yang dikenal dengan the golden age, semua tokoh sains, kecuali kedokteran, lebih dikenal dengan istilah hakim, jamaknya hukama. Fazlur Rahman pernah menegaskan bahwa sebuah peradaban dalam bidang sains akan unggul jika kita mempunyai pola berpikir filosofis. Dengan pendekatan ini kita mampu melihat setiap persoalan secara mendasar dan radikal sehingga tidak melihat pada wilayah hilir yang tampak secara formal, administratif, dan implementatif, namun lebih menekankan wilayah hulu yang lebih esensial, substantif dan paradigmatik. Level berpikir ini secara formal dicapai pada jenjang pendidikan doctoral (S3). Karena itu, di antara sebutan gelar Strata Tiga adalah Ph.D. (Philosophiae Doctor atau Doctor of Philosophy). Pada level ini kita seharusnya mampu berpikir dengan pendekatan interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner.