Peregrino Ergo Sum [2]

Ahmad Shalahuddin Mansur
Youth Interfaith Peacemaker Community

Tafakkur: Moment of Silence
Di tengah kerumunan jahiliyah abad ke-7 yang lalu, Nabi Muhammad SAW mengambil jeda di tengah arus kerumunan masyarakatnya yang melakukan dehumanisasi dimana-mana. Anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup, kekerasan dan pemerkosaan membabi-buta, peperangan antar suku menjadi tren dan seterusnya.

Nabi Muhammad SAW mengambil quiet time atau moment of silence untuk mendengar suara dari dalam (inner voice) yang sulit terdengar di tengah kerumunan masyarakat Arab yang gandrung dengan tindakan-tindakan destruktif. Dalam kegaduhan-kegaduhan pada waktu itu yang rasanya tidak berbeda jauh dengan kondisi masyarakat ini justru menenggelamkan potensi manusia untuk menemukan dan mencari sebuah pencerahan atau pengetahuan (makrifat).

Lebih lanjut, momentum khidmat kesunyian atau moment of silence sudah sepatutnya membawa seorang hamba merasakan kehadiran Ilahi pada waktu sendirian (ketika tidak dilihat orang banyak), memelihara dirinya dari segala cela, dan bertambah kebaikannya ketika usianya bertambah tua, demikian kurang lebih yang pernah dikatakan Ali bin Abi Thalib. 

Dengan puncak moment of silence dan revolusi spiritualnya, Nabi Muhammad SAW kemudian menggerakan revolusi sosial keagamaan serta spiritual masyarakat Arab kala itu hingga terasa perannya hingga saat ini di seluruh dunia. Tafakkur yang dilakukan Sang Nabi menjadi penanda sebuah Summum Bonum atau kebaikan tertinggi. Pada momentum ini juga menjadi waktu yang tepat untuk menemukan Tuhan sebagai bahasa kebenaran, menemani manusia dalam sunyi.

Moment of silence juga menjadi wadah untuk mencapai puncak makrifat manusia. Untuk melakukan transendensi, menghayati Tuhan—Sang Ilahi. Dimana inti ketuhanan adalah bercengkerama dengan kekudusan (nominous). Hanya dalam sunyi, kedirian manusia mudah menyatu dengan kekudusan. Oleh karena itu, Amir Hamzah mengatakan bahwa “sunyi itu kudus”. “Tuhan adalah karib kesunyian. Pepohonan, bunga, rerumputan, tumbuh dalam kesunyian. Tengok juga bintang, bulan, dan matahari, semua bergerak dalam sunyi”, kata Bunda Terasa.

Dalam dunia yang penuh kerumunan dan kebisingan, baik berupa kebencian, kepalsuan, kejahatan serta angkara murka tindakan manusia membuat kehidupan terasa kosong. Membuat manusia kehilangan diri. Masih ada kah harapan manusia untuk menemukan dirinya kembali? Masih dapatkah manusia dikatakan eksis jika kehilangan dirinya?

Lanjutkan membaca: Menemukan Diri Otentik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *