Sebelum mulai, selesai dulu; Sebelum berangkat, tiba dulu

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Judul di atas terinspirasi dari local wisdom yang berasal dari suku Bugis, Sulawesi, yang dikenal sebagai penjelajah di lautan bebas. Ungkapan di atas menggambarkan adanya visualisasi pencapaian terhadap tujuan dan waktu yang telah ditetapkan. Ada titik akhir keberhasilan yang dibayangkan, meskipun faktanya belum ada langkah. Ungkapan ‘sebelum mulai selesai dulu’ menggambarkan kondisi waktu pencapaian dari target yang telah dibuat meskipun pekerjaan belum dimulai. Sementara itu, ungkapan ‘sebelum berangkat tiba dulu’ menegaskan titik akhir yang direncanakan sudah berhasil dicapai (melalui visualisasi) meskipun faktanya belum melangkah. Kearifan lokal Bugis tersebut menunjukkan adanya sebuah keyakinan terhadap mimpi atau cita-cita yang telah dibuat. Dengan membayangkan titik akhir yang penuh keberhasilan ini kita akan melangkah lebih yakin dan pasti daripada kita merasa ragu dengan tujuan akhir kita.

“Dengan membayangkan titik akhir yang penuh keberhasilan ini kita akan melangkah lebih yakin dan pasti daripada kita merasa ragu dengan tujuan akhir kita.”

Dr. Muqowim, M. Ag.

Kearifan lokal di atas mengingatkan kita pada sebuah penelitian di Amerika Serikat tentang relasi antara mimpi (dream) dan keberhasilan seseorang. Menurut penelitian ini ada empat kategori manusia, yaitu orang yang sangat sukses, orang yang sukses, orang yang biasa saja, dan orang yang gagal. Kategori orang sangat sukses berjumlah 35%, kategori orang sukses sebanyak 10%, kelompok orang biasa saja sejumlah 60%, dan kelompok orang gagal sebanyak 27%. Empat kelompok orang tersebut dilacak mundur tentang apa yang mereka lakukan 10 tahun sebelumnya. Berdasarkan riset longitudinal (longitudinal research) ditemukan bahwa kelompok yang pertama (sangat sukses) sepuluh tahun sebelumnya mempunyai mimpi sangat jelas dan ditulis, kelompok kedua (sukses) sepuluh tahun sebelumnya mempunyai mimpi tetapi tidak ditulis, kelompok ketiga (biasa saja) mimpinya tidak jelas atau berubah-ubah pada sepuluh tahun sebelumnya, sedangkan kelompok keempat (gagal) tidak punya mimpi sama sekali.

Untuk lebih memahami hasil riset tersebut dalam konteks sehari-hari, coba kita bayangkan ada empat orang, misalnya bernama Alfa, Beta, Cita, dan Delta. Keempat orang tersebut akan pergi ke suatu tempat, misalnya, Plaza Serba Ada (PSA). Karena kondisinya baru mau pergi, maka Plaza Serba Ada masih menjadi masa depan (future). Bayangkan orang pertama, Alfa, mempunyai tujuan sangat jelas dan ditulis, Beta mempunyai tujuan jelas tapi tidak ditulis, Cita tujuannya berubah-ubah atau tidak jelas, sedangkan Delta tidak mempunyai tujuan sama sekali. Apa yang akan terjadi dengan empat orang tersebut ketika sampai ke Plaza? Alfa pada akhirnya berhasil meraih tujuan dengan cepat karena jelas ketika nyampai di Plaza. Beta berhasil tetapi memerlukan waktu lebih lama karena boleh jadi perlu mengingat meskipun sejenak tentang apa yang akan dilakukan di plaza tersebut. Cita menjadi orang yang biasa saja karena dia tidak punya prioritas tentang apa yang akan dilakukan atau dibeli karena tujuannya tidak jelas. Boleh jadi dia akan membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Sementara itu, Delta akan gagal ketika sampai di Plaza karena dia ke tempat tersebut tidak mempunyai tujuan, sehingga di pusat perbelanjaan ini dia mengalami kebingungan karena tidak tahu apa yang akan dilakukan.

Inspirasi dari Bugis dan riset dari Amerika tentang kekuatan mimpi di atas penulis alami sendiri dalam banyak kesempatan, bahkan hampir setiap hari. Di antara yang perlu penulis ceritakan di sini adalah perjalanan di India selama tiga minggu tahun 2014 lalu dan mengisi sebuah pelatihan nasional bagi kepala madrasah se-Indonesia di Malang akhir tahun 2019 kemarin. Pada bulan April 2014 penulis ditunjuk sebagai salah seorang konsultan pendidikan karakter dari sebuah LSM internasional yang berpusat di California Amerika Serikat. Sebelum memulai program pendampingan penulis diberi kesempatan belajar tentang karakter atau nilai di India selama tiga minggu di banyak tempat. Di antara agenda di negeri Bollymood ini adalah pertemuan dengan para trainer internasional selama tujuh hari. Ketika diberi kesempatan berlayar di sungai Gangga, penulis ditanya oleh seorang tourist guide ‘kok Bapak bisa sampai di sini, bagaimana ceritanya?’ Saya menjawab singkat bahwa saya sudah menuliskan banyak mimpi hidup, di antaranya berkeliling ke banyak negara untuk menebarkan nilai-nilai positif termasuk India. ‘Ini bagian dari perwujudan mimpi, harapan dan doa yang telah ditulis sebelumnya. Tugas kita adalah berdoa dan bergantung pada Sang Pemilik Masa Depan yakni Allah.

Cerita ringan kedua terkait dengan perjalanan penulis sebagai salah seorang pembicara dalam pelatihan kepala madrasah tingkat nasional di Malang tentang nilai Islam wasatiyah pada akhir minggu pertama Oktober tahun lalu. Penulis pada hari Sabtu pagi diagendakan mengisi sebuah seminar nasional di GOR Petrokimia Gresik dengan peserta sekitar tiga ribu orang. Seminggu sebelumnya penulis menjadi salah seorang pembicara sebuah konferensi internasional tentang studi Islam di Jakarta dan pulang ke Yogyakarta hari Jum’at pagi. Di forum internasional ini penulis bertemu dengan Kabag TU dan Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Agama. Penulis diminta  memberikan materi pelatihan tentang nilai Islam wasatiyah di Malang hari Jum’at malam jam 20.00, sedangkan Jum’at pagi penulis baru nyampai di Yogyakarta dengan penerbangan dari Jakarta. Menurut rencana, begitu nyampai Yogyakarta penulis langsung ke kampus dan mengajar setengah hari sampai sebelum jum’atan. Mendapat tawaran Pak Direktur tersebut penulis mengiyakan sambil berpikir tentang bagaimana teknis ke Malang dan Gresik (Sabtu) dihadapkan pada agenda di Yogyakarta setelah mendarat dari Jakarta. Yang penulis pikirkan dan bayangkan adalah bagaimana caranya bisa sampai di tempat acara di Malang jam 20.00. Karena itu, penulis kemudian membuat beberapa alternatif antara jalur udaya (pesawat) dan darat (kereta api, travel dan kendaraan pribadi).

Dihadapkan pada beberapa moda transportasi dari Yogyakarta menuju Malang seperti pesawat terbang (jalur Yogyakarta ke Malang via Surabaya, atau Yogyakarta ke Malang transit Jakarta sekitar 5 jam), penulis berdoa kepada Allah agar diberi pilihan terbaik yang membawa pada kebaikan untuk semua pihak. Kebiasaan ‘lapor terlebih dahulu’ kepada pemilik masa depan ini selalu penulis lakukan sebab penulis berkeyakinan bahwa kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan kecuali Allah. Dengan berdoa kepada-Nya harapan penulis target atau mimpi penulis dikabulkan. Singkatnya, penulis memilih moda transportasi darat dengan mobil pribadi melalui tol ketimbang dengan pesawat, kereta api atau travel yang disediakan panitia.

Jum’at pagi penulis landing di Yogyakarta dari acara konferensi di Jakarta, langsung menuju kampus untuk mengajar dan memberikan bimbingan mahasiswa. Setelah Jum’at sekitar jam 14.00 penulis berangkat bersama sopir beserta anggota keluarga penulis yang ikut sekalian karena akan berlibur akhir pekan di tempat neneknya di Blitar. Menurut pengalaman sopir, agaknya sulit sampai di Malang sampai jam 20.00 malam sebab akhir pekan biasanya padat. Penulis meyakinkan ke sopir bahwa insyaallah perjalanan menuju Malang lancar dan nyampai di hotel tempat acara sebelum jam 20.00. Sebelum berangkat, penulis ‘sudah lapor’ ke pemilik masa depan (Allah) agar dimudahkan dan diberkahi semua urusan khsusunya selama perjalanan. Penulis sudah membayangkan sudah nyampai di hotel sebelum jam 20.00 dan memvisualisasikan sesi berjalan dengan lancar dan semua peserta antusias mengikutinya sampai jam 23.00. Singkatnya, alhamdulillah penulis nyampai di Hotel Atria Malang jam 19.45 lewat tol Kartosura-Surabaya-Malang. Masih ada kesempatan untuk makan malam sejenak sebelum masuk ruang pelatihan. Sebelum masuk hotel, penulis sampaikan ke sopir dan anggota keluarga tentang kearifan lokal orang Bugis di atas, ‘sebelum berangkat, tiba dulu; sebelum mulai, selesai dulu’. Kata orang Barat ‘man proposes and God disposes’, manusia hanya membuat rencana tapi Tuhanlah yang menentukan keberhasilannya. Ada sebuah ungkapan yang sering penulis sampaikan di beberapa kesempatan, “di dunia ini tidak ada yang tidak masuk akal, cuma akal kita saja yang belum masuk”. Pada hari Sabtu pagi jam 07.00, panitia dari seminar nasional Gresik sudah menjemput penulis di hotel. Semua rencana insyaallah berjalan sesuai dengan harapan jika kita melibatkan Allah sebagai pemilik ruang dan waktu.

Yogyakarta, 22 Januari 2020

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *