Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Sebaik apa pun sebuah perencanaan atau tujuan yang telah kita buat jika tidak segera diwujudkan melalui langkah nyata maka rencana tersebut hanya berhenti menjadi tumpukan dokumen, tidak menjadi kenyataan. Kita sering menjumpai atau bahkan mengalami sendiri, baik secara personal, institusional, atau profesional, telah membuat rencana yang sangat lengkap dan detil tetapi tidak ada tindak lanjut. Melangkah adalah upaya nyata untuk mewujudkan cita-cita. Sebelum melangkah kita harus berani mengambil keputusan (decision making) bahwa langkah yang akan dilakukan sudah sesuai dengan arah tujuan. Mengapa ada rencana yang disusun dengan bagus tetapi tidak ada tindak lanjut atau langkah nyata untuk mewujudkannya? Boleh jadi karena rencana atau tujuan yang telah dibuat tersebut tidak dilandasi oleh kesadaran tetapi lebih karena kepentingan formalitas-administrasi, terutama secara kelembagaan. Secara personal, boleh jadi tujuan tersebut dibuat tidak didasari oleh self-mapping yang jelas sehingga arah yang akan dituju masih kabur. Yang perlu ditegaskan di sini adalah pentingnya membuat keputusan untuk melangkah.
Decision making dapat diartikan sebagai proses membuat berbagai pilihan dengan mengidentifikasi sebuah keputusan, mengumpulkan informasi dan menilai berbagai alternatif pemecahan yang tentang mana yang paling mungkin diambil. Dengan pengertian ini, pengambilan keputusan memerlukan beberapa tahapan dan pertimbangan, tidak asal melangkah. Hal ini penting dilakukan sebab faktanya kita mungkin pernah mengalami keputusan yang kita ambil belum menyelesaikan masalah, bahkan mungkin menimbulkan persoalan baru. Hal ini terjadi mungkin ketika kita mengambil keputusan hanya asal melangkah, yang penting melangkah, belum dikaitkan dengan tujuan hidup, artinya antara tujuan dengan pendekatan belum sinkron. Selain itu, keputusan yang diambil boleh jadi baru menggunakan satu pertimbangan, belum mempertimbangkan sudut pandang lain. Akhirnya, sangat mungkin keputusan yang kita ambil belum mempertimbangkan dampak atau implikasinya. Karena itu, mempertimbangkan banyak aspek sebelum mengambil keputusan penting kita lakukan, asalkan kita tidak terlalu banyak pertimbangan sehingga tidak kunjung melangkah juga.
“Mempertimbangkan banyak aspek sebelum mengambil keputusan penting kita lakukan, asalkan kita tidak terlalu banyak pertimbangan sehingga tidak kunjung melangkah juga. “
Dr. Muqowim, M. Ag.
Di antara pertimbangan penting ketika membuat keputusan adalah fokus pada penyelesaian masalah (problem solving), bukan menimbulkan atau menambah masalah. Ini berarti keputusan yang kita ambil harus bersifat solutif, mengubah masalah dari yang awalnya complicated menjadi simple, dari rumit menjadi sederhana, dan dari gelap menjadi terang. Mungkin kita ingat sebuah ungkapan, “kalau bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit”, jangan dibalik, “kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah”. Karena itu, orang yang dianggap berhasil adalah yang mampu membuat masalah berat menjadi ringan, yang sulit menjadi mudah, dan yang rumit menjadi sederhana. Untuk dapat mewujudkan hal ini salah satu keterampilan penting yang perlu kita miliki adalah mendengar aktif (active listening). Mengapa mendengar aktif penting kita miliki? Kita harus menyadari bahwa kita tidak hidup di ruang hampa (vacuum) tetapi ada konteks ruang dan waktu, yang melibatkan banyak orang. Karena itu, mendengar dan mempertimbangkan sudut pandang orang lain penting kita lakukan.
Mengapa Allah menciptakan kita dengan dua telinga dan satu mulut? Di antara pelajaran yang dapat diambil adalah agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Meskipun tujuan dan rencana yang kita buat untuk “kepentingan” sendiri, tetapi tujuan tersebut tidak boleh lepas dari nilai-nilai positif. Karena itu, semua keputusan yang kita ambil juga harus mempertimbangkan nilai-nilai tersebut. Karena itu, di antara yang harus kita lakukan adalah mengaitkan dampak keputusan tersebut dengan nilai yang ditimbulkan, baik terkait dengan diri kita sendiri maupun lingkungan sekitar. Dengan memperhitungkan konteks keberadaan kita, maka keputusan yang kita ambil insyaallah relatif mudah diterima dan lebih bijak. Pengambilan keputusan dengan pendekatan multiperspektif ini menjadikan kita mempunyai banyak alternatif pilihan langkah. Ketika sebuah langkah yang kita lakukan ternyata “mentok”, kita dengan mudah mengambil alternatif yang lain yang sudah disiapkan. Hal ini untuk mengantisipasi munculnya stres dan frustrasi karena kita kecewa atau gagal dalam meraih tujuan yang diharapkan.
Selain perlu melibatkan multiperspektif, ketika mengambil keputusan sebaiknya kita juga tidak dalam kondisi emosional atau sedang marah. Kemarahan menjadikan kita tidak berpikir dan bertindak rasional, obyektif dan arif sebab hanya menekankan pada ego dan kepentingan sendiri. Dalam kondisi seperti ini orientasi kita hanya pada urusan dan kepentingan sepihak dan fragmental, tidak mau tahu dengan kepentingan orang lain. Kita cenderung menutup diri dari pandangan lain yang berbeda apalagi menjadikan pandangan tersebut sebagai salah satu pertimbangan. Keterbatasan referensi dan sudut pandang dalam proses pengambilan keputusan tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam meraih tujuan. Padahal, dengan kita mendengar dan melihat sudut pandang yang berbeda pada dasarnya kita sedang belajar dan mengambil inspirasi dari banyak keberhasilan sekaligus kegagalan yang dialami orang lain. Kita dapat meniru “success story” atau “best practices” dalam mewujudkan mimpi dan tujuan hidup dari orang lain. Kita juga dapat belajar dari kegagalan yang dialami orang lain sehingga kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Akhirnya, Michelle Obama, istri Barack Obama, pernah mengatakan “You can’t make decisions based on fear and the possibility of what might happen”, bahwa keputusan yang kita ambil sebaiknya tidak dilandasi oleh rasa ketakutan dan ketidakpastian. Karena itu, dalam mengambil keputusan kita harus dalam kondisi tenang, stabil, bijak, dan yakin agar langkah yang akan kita ambil mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi diri kita dan lingkungan sekitar. Selain itu, dalam pengambilan keputusan, yang lebih penting lagi adalah bertindak (action), tidak terus-menerus berencana tanpa tindakan konkret, sebab seringkali kita menjadi man of discourse, manusia wacana, belum sepenuhnya menjadi man of action, manusia yang bertindak. Hal ini mengingatkan sebuah ungkapan dari Ahdaf Soueif, seorang novelis yang menulis The Map of Love, “So, tell me. What do you think? Which is better? To take action and perhaps make a fatal mistake or to take no action and die slowly anyway?” Pernyataan Soueif ini menjadi “early warning”, sebuah peringatan dini, agar kita segera membuat keputusan dan langkah nyata untuk mewujudkan tujuan hidup bernilai positif yang telah kita buat dengan penuh kesadaran.