The Power of Now

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Apa yang biasa kita lakukan ketika bangun tidur? Saat kita membuka mata di pagi hari mungkin yang paling sering kita lakukan adalah mencari gadget, memikirkan peristiwa kemarin, atau ingat tugas hari itu? Apa yang kita lakukan saat beribadah kepada Allah? Bagi orang Islam, ketika sedang shalat yang dipikirkan justru sesuatu selain Allah seperti pekerjaan kantor, tugas kampus, barang yang hilang, atau orang yang kita benci atau sayangi. Apa yang kita pikirkan saat sedang di depan komputer atau laptop kantor? Banyak di antara kita yang mungkin secara fisik bekerja di ruang kantor tetapi sebenarnya yang dirasakan dan dipikirkan adalah hal-hal selain urusan kantor seperti ingat anggota keluarga, rencana akhir pekan, atau peristiwa kurang mengenakkan minggu sebelumnya. Beberapa pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan bahan yang perlu kita renungkan, bahwa ternyata banyak aktivitas yang kita lakukan selama ini sama sekali belum dinikmati, belum disadari, dan belum dihayati. Kita belum melakukan aktivitas dzahiran wa bathinan, secara lahir dan batin. Kedua dimensi tersebut seakan terpisah dan tidak terkoneksi satu sama lain. Jika ini yang kita alami, sebenarnya kita sudah tercerabut dari dalam diri kita sendiri. Kita beraktivitas laksana robot atau mesin.

Apa yang terjadi jika kegiatan yang kita lakukan tidak dihayati dan dirasakan? Kegiatan tersebut mungkin terasa hambar, monoton, dan membosankan. Kita seakan bukan pemilik dari kegiatan tersebut sebab pikiran dan jiwa kita dikendalikan oleh luar diri kita. Kita larut dengan peristiwa masa lalu atau masa depan. Jarang kita merasakan now and here, sekarang dan disini, self-engaged. Kegiatan yang kita lakukan sering tidak berjiwa. Karena itu, kita pasti tidak bahagia saat beraktivitas, padahal dalam bahasa Inggris sekarang sama dengan present, yang artinya hadiah. Kalau begitu, kita sering melewatkan hadiah yang telah diberikan oleh Allah. Kita mungkin ingat bahwa salah satu syarat untuk mendapatkan kebahagiaan otentik menurut Seligman adalah engagement, artinya pentingnya melibatkan aspek lahir dan batin kita dalam setiap aktivitas. Terkait dengan pandangan pendiri Psikologi Positif tersebut, Eckhart Tolle menulis sebuah buku berjudul The Power of Now. Karya ini mengingatkan kita tentang kekuatan “sekarang”.

Dalam sebuah pelatihan selama satu minggu di Griya Dunamis Puncak Bogor penulis bersama tim mendesain sebuah aktivitas sederhana untuk seluruh peserta yang disebut mindful lunch, makan siang sepenuh hati. Peserta pelatihan ini adalah para koordinator Program Peduli dari seluruh Indonesia. Mereka sering melakukan aktivitas multitasking. Kesibukan merencanakan, mengeksekusi dan mengevaluasi program yang cukup padat seringkali menjadikan mereka tercerabut dari dirinya sendiri, sibuk dan larut dengan orang lain, lupa merawat diri sendiri. Di antara dampaknya adalah mereka
sering merasa lelah, capek, stres, dan terasing dari diri sendiri. Dengan mindful lunch, peserta diajak untuk makan siang dengan penuh penghayatan, merasakan sepenuh jiwa. Selama makan siang seluruh peserta diminta fokus dan merasakan semua hal yang terkait dengan makan seperti mengambil piring, sendok, mengambil nasi, sayur, lauk, buah dan minum, termasuk memilih tempat duduk. Semua aktivitas tersebut harus dihayati. Karena itu, selama makan siang peserta tidak boleh membawa HP dan menahan diri untuk tidak ngobrol dengan teman lain meskipun duduk bersebelahan.

Ketika semua peserta pelatihan sudah mengambil makanan yang disukai dan duduk di tempat yang telah disediakan, sebelum mulai makan salah satu fasilitator memberikan sedikit refleksi terkait dengan makanan, di antaranya “Kita patut bersyukur hari ini kita masih diberi kenikmatan oleh Allah, masih bisa makan sebab ada sebagian saudara kita yang tidak bisa makan. Coba perhatikan makanan Anda masing-masing, mungkin ada nasi, sayuran, tempe,atau ayam. Nasi di hadapan Anda tersebut tidak datang dengan sendirinya. Allah memberikan nikmat nasi tersebut melalui orang lain, ada petani, buruh sawah, sopir angkutan, dan tukang masak. Begitu juga dengan sayuran.Sekarang lihatlah tempe, ada peran pembuat tempe dan buruh. Ada peran peternak ayam dengan lauk ayam di piring kita. Mari kita doakan mereka semua, semoga mereka hidupnya bahagia dan penuh kebaikan dan keberkahan. Sekarang silahkan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing sambil dihayati dan direnungkan doa yang Anda panjatkan.”Selama makan, semua peserta harus tenang dan merasakan makan sepenuh hati. Setelah makan, mereka mencuci peralatan makan dan menaruh di tempat yang telah disediakan.

Kegiatan makan siang di atas tampak sangat sepele, tetapi apa yang dirasakan peserta? Mereka baru merasakan makan seperti ini. Mereka merasakan energi positif masuk ke dalam diri mereka melalui makanan dan minuman. Mereka merasa lebih bahagia ketika makan. Apa yang akan terjadi jika aktivitas mindful lunch seperti ini juga kita terapkan dalam aktivitas lain seperti ibadah, belajar, dan memasak? Kita melakukan mindful praying, mindful learning, dan mindful cooking. Bagi orang Islam, mindful praying menjadikan terkoneksi langsung dengan Allah, bukan justru dengan selain Allah. Bukankah Allah berfirman yang artinya “shalatlah untuk mengingat-Ku”. Shalat adalah kesempatan “me time” bertemu dengan Allah. Ketika bertemu dengan-Nya, apa pun bisa disampaikan, bagi yang lagi punya masalah curhatkan semua, bagi yang punya rencana sampaikan juga sepenuh hati. Karena itu, akhir dari ibadah shalat adalah “salam”, artinya kedamaian. Seharusnya selesai menjalankan shalat yang dirasakan inner-peace dan menebarkan kedamaian di sekitar. Hal ini disimbolkan dengan menengok ke kanan dan ke kiri. Model beribadah seperti ini seharusnya juga dilakukan semua umat beragama.

Ketika kita belajar dengan sepenuh hati, apa yang terjadi? Kita lebih fokus dan menghayati apa yang sedang kita pelajari. Model belajar seperti ini menjadikan kita mampu menyerap semua energi positif di sekitar kita. Sebuah materi yang bagi orang lain dianggap sulit terasa mudah, yang berat menjadi ringan, dan yang lebih penting kita lebih bahagia sebab menikmati momen belajar. Hal yang sama juga berlaku untuk aktivitas memasak. Dalam sebuah pelatihan seminggu yang penulis ikuti di daerah Gujarat India, setiap hari penulis makan ala vegetarian, padahal sebelumnya belum pernah makan jenis makanan tersebut. Anehnya, penulis merasa nikmat dengan semua jenis makanan vegetarian yang dihidangkan selama pelatihan. Suatu pagi, setelah breakfast, penulis bertanya kepada salah satu panitia yang sedang menghidangkan makanan, terkait apa resepnya kok semua makanan dan minuman terasa enak dan nikmat. Penulis terkejut dengan jawaban panitia, “yang boleh masak di dapur adalah orang yang bahagia”. Sebuah jawaban yang tampaknya sederhana tetapi penuh makna. Masakan yang dibuat dengan perasaan bahagia ternyata membuat orang yang makan juga bahagia.

“Masakan yang dibuat dengan perasaan bahagia ternyata membuat orang yang makan juga bahagia. “

Dr. Muqowim, M. Ag.

Apa yang terjadi jika kita melakukan aktivitas penuh dengan penghayatan? Kita merasa lebih bahagia. Jika kita saat ini bahagia, maka masa depan kita pasti bahagia. Hal ini paling tidak sesuai dengan sebuah hadis qudsi, “Aku [Allah] seperti yang dipersangkakan oleh hamba-Ku. Aku bersamanya kapan pun dia mengingat-Ku”. Allah tergantung pikiran kita, jika kita berpikir bisa maka kita bisa melakukan. Jika kita berpikir sulit, maka sulit juga ketika kita menjalani aktivitas. Saat kita bahagia, maka otomatis akan bahagia. Jika situasi ini terus kita jaga dan pertahankan, maka seluruh hidup kita penuh dengan nilai kebahagiaan dan akan menularkan kebahagiaan tersebut di sekiling kita. Berdasarkan beberapa contoh tersebut, untuk mengubah masa depan menjadi lebih positif ternyata resepnya sederhana, kita melakukan semua aktivitas sepenuh hati, secara lahir dan batin. Jika dikaitkan dengan tiga jenis manusia menurut Arvan, the power of now adalah latihan agar kita menjadi manusia jenis calling, melakukan sesuatu karena dari dalam diri, yang dihayati sepenuh hati, bukan karena ada kepentingan materi apalagi penuh dengan keterpaksaan.


About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *