Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Muhammad Abduh pernah berkata, “al-islamu syai’un wal-muslimuna (syai’una) akhar.. ”, Islam itu satu hal dan umat Islam itu hal yang lain. Dalam konteks ini Abduh membedakan dua terma yaitu Islam, di satu sisi, sebagai wahyu yang bersifat normatif-ideal dan absolut kebenarannya, dan umat Islam, di sisi lain, sebagai makhluk ciptaan Allah yang bersifat historis-terbatas dan relatif kebenarannya. Perilaku umat Islam belum tentu mencerminkan nilai-nilai keislaman meskipun secara formal beragama Islam. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kualitas umat Islam itu sendiri. Ketika uma Islam berkualitas tinggi, maka mereka mampu menerapkan nilai-nilai universal Islam sehingga dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sebaliknya, ketika kualitas umat Islam rendah atau merosot, maka mereka justru banyak mencoreng ajaran Islam yang menjunjung nilai-nilai kerahmatan. Hal ini terjadi sebab setiap orang Islam hidup dalam ruang dan waktu tertentu sehingga setiap orang Islam mempunyai pemikiran dan tindakan yang berbeda. Dalam beberapa hal, nilai-nilai universal Islam justru tertutup oleh perilaku sebagian umat Islam itu sendiri seperti kekerasan, konflik dan teror. Al-islam mahjubun bil-muslimin.
Misi Normatif Islam: Rahmat bagi Semesta Alam
Islam diturunkan oleh Allah untuk mewujudkan dunia yang penuh dengan kedamaian dan kasih sayang. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an “Dan tidaklah Kami mengutus engkau [Muhammad] kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.” Seharusnya, negara paling nyaman dihuni oleh umat manusia di dunia adalah negara yang berpenduduk muslim, sebab nilai kasih sayang dan welas asih menjadi dasar dalam beraktifitas. Sebab, setiap melakukan aktifitas, orang Islam mengawali dengan lafadz bismillahirrahmanirrahim. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jika kebiasaan membaca “basmalah” ini dikaitkan dengan salah satu hadis Nabi, maka umat Islam benar-benar menjadi model welas asih (living compassionate). Terlebih Rasulullah pernah bersabda, “takhallaqu bi-akhlaqillah”, berakhlaklah dengan akhlak Allah. Karena itu, ketika lafadz “basmallah” diucapkan setiap saat oleh umat Islam, maka seharusnya nilai yang paling banyak dihidupkan dan dirasakan umat manusia adalah kasih dan sayang. Namun, agaknya Piagam Welas Asih dari Armstrong di atas masih memprihatinkan dalam praktiknya.
Seharusnya, misi suci ajaran Islam yang penuh rahmat di atas tidak hanya perlu diwujudkan bagi umat Islam, namun juga bagi semesta alam yang tidak lagi mengenal batas termasuk agama, bahkan bagi tumbuhan dan binatang. Hanya saja, jangankan menjadi rahmat bagi alam, menjadi rahmat bagi sesama muslim pun masih belum tampak. Buktinya, di antara sesama orang Islam masih terjadi konflik karena berbagai sebab terutama karena perbedaan kepentingan, baik politik, ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Padahal, kehebatan ajaran Islam justru tampak ketika nilai yang dikandung bermanfaat dan dirasakan oleh alam. Namun, agaknya nilai ini kurang membumi di tangan orang Islam sendiri. Mengapa terjadi ketimpangan seperti ini?
Sejauh ini, sebagian orang Islam baru memahami Islam sebagai identitas kognitif-formal. Jika ini yang terjadi, sebenarnya sebagian pemeluk Islam baru sebatas mempunyai agama (having a religion), tapi belum sepenuhnya beragama Islam (being religious). Apa beda keduanya? Yang pertama lebih menjadikan agama Islam yang dipahami secara kognitif dengan sejumlah ajaran dan ritual di dalamnya, sedangkan yang kedua merujuk pada pembumian nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Dalam konteks pendidikan, yang pertama lebih menekankan pada teaching (transfer of knowledge), sedangkan yang kedua fokus pada kesadaran nilai (transfer of values). Hasil dari proses keduanya tentu berbeda. Yang pertama menghasilkan orang Islam yang mengetahui ajaran Islam secara kognitif namun belum tentu menghayati dan melaksanakannya dalam kehidupan, sementara yang kedua menghasilkan orang Islam yang menghayati dan mengamalkan ajaran Islam. Yang pertama menghasilkan man of idea and discourse, sedangkan yang kedua menghasilkan man of action. Dari kedua corak tersebut tentu yang lebih penting menghayati ajaran Islam dan mengamalkannya.
Terkait dengan dua model di atas, bagaimana praktik pendidikan yang selama ini berlabelkan Islam? Agaknya, penekanan pada domain kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotorik. Hal ini antara lain tampak dari penekanan pada aspek hafalan daripada penghayatan. Pembelajaran lebih menekankan pada aspek isi (content) sebanyak-banyaknya ketimbang penerapan. Selain itu, keberhasilan pendidikan juga lebih dilihat dari penguasaan materi ajaran Islam ketimbang implementasi nilai yang terkandung. Tidak mengherankan jika keberhasilan pendidikan lebih dilihat dari aspek nilai angka ketimbang pengaruh nilai yang diamalkan dalam kehidupan.
Implikasi dari model pendidikan tentang nilai agama Islam tercermin dari munculnya matapelajaran atau matakuliah dalam rumpun agama Islam seperti Al-Qur’an, Hadis, Fiqih, Akidah, Akhlak, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Sementara itu, model pendidikan berbasis nilai agama Islam berimplikasi pada pentingnya menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam dalam semua matapelajaran atau matakuliah. Dalam konteks ini yang perlu menjadi kesadaran adalah nilainya, bukan nama matapelajaran atau matakuliah. Sebagai ilustrasi, boleh jadi matakuliah Bahasa Indonesia tidak secara khusus membahas tentang agama Islam, namun karena nilai agama Islam yang menjadi kesadaran dari pelaku pendidikan, maka nilai-nilai tersebut membumi dalam praktik pembelajaran Bahasa Indonesia. Hal yang sama juga berlaku di matapelajaran atau matakuliah lain seperti ilmu-ilmu alam, sosial ataupun budaya. Ini yang biasa disebut dengan pembelajaran integratif.
Seluruh rumpun matapelajaran PAI seharusnya mengemban misi membumikan Islam rahmatan lil-‘alamin. Hanya saja, sejauh ini, oriantasi kognitif-dogmatis terlalu dominan dalam proses pembelajaran. Rumpun al-Qur’an dan Hadis seharusnya diorientasikan membumikan nilai-nilai yang terkandung di dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut. Sebagai contoh, ketika peserta didik mempelajarai QS. Al-Ma’un, seharusnya siswa dibiasakan bukan sekedar menghafal ayat namun menghidupkan ayat dalam realitas. Jika di surat al-Ma’un tersebut disebutkan bahwa ciri shalat yang dicela oleh Allah adalah lupa ketika shalat, orientasi dilihat orang (riya’), dan apa yang dibaca ketika shalat tidak diimplementasikan dalam realitas, maka sebaiknya pembelajaran didesain untuk mindful praying, yakni shalat yang penuh penghayatan, bahwa semua tubuh (body), pikiran (mind), dan jiwa (soul) harus merasakan sedang shalat. Jadi yang shalat bukan hanya raganya saja, namun juga pikiran dan jiwanya. Dalam konteks Hadis, ketika peserta didik dibiasakan hafal matan hadis tentang “man la yarham la-yurham”, barang siapa tidak menyayangi orang lain maka tidak akan disayangi. Seharusnya proses pembelajaran hadis ini membiasakan tiap peserta didik untuk proaktif berbuat baik kepada orang lain sebagai wujud kasih sayang kepada orang lain. Dengan satu matan hadis ini saja, proses pendidikan sudah bisa membiasakan peserta didik untuk membumikan nilai kerahmatan Islam. Ini yang disebut dengan living qur’an and hadith.
Seluruh rumpun matapelajaran PAI seharusnya mengemban misi membumikan Islam rahmatan lil-‘alamin.
Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumpun Fiqih dalam konteks PAI seharusnya membuat peserta didik dibiasakan karakter melalui ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah. Ketika peserta didik belajar tentang shalat yang diingat bukan sekedar hafalan tentang syarat dan rukun shalat saja, namun yang jauh lebih penting adalah ruh ibadah ini yang membiasakan merasakan hakikat shata sebagai wujud pengambaan total kepada Allah (total submission to the God), bahwa yang diingat ketika shalat hanyalah Allah semata, bukan yang lain (aqimish-shalata li-dzikri). Hal yang sama juga ketika mempelajari ibadah lain seperti puasa, zakat, dan haji. Bahwa puasa adalah membiasakan nilai self–control, zakat membiasakan nilai kepedulian terhadap sesama, dan haji membiasakan nilai kesetaraan di hadapan Allah (equal before God).
Sementara itu, pembelajaran rumpun aqidah dan akhlak dalam PAI seharusnya membiasakan peserta didik tentang pentingnya menjadikan aqidah yang fungsional dalam realitas. Sejauh ini, pembelajaran aqidah antara lain lebih membiasakan peserta didik dengan menghafal nama-nama malikat, rukun iman, sifat Allah dan sifat Rasul. Pembelajaran aqidah seharusnya memfungsikan kuatnya keimanan dalam bentuk akhlak yang fungsional. Bukankah dalam QS. Al-Ma’un dinyatakan bahwa yang disebut pendusta agama menurut Allah adalah orang yang tidak ada kepedulian terhadap orang-orang pinggiran, anak yatim atau orang yang tidak mampu? Rasulullah juga bersabda bahwa yang disebut orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir ditandai dengan kemampuan membangun komunikasi efektif penuh dengan kasih sayang, memuliakan tetangga, memuliakan tamu, dan berkata baik atau lebih baik diam jika tidak bisa berkata baik. Jadi, ada hubungan organik antara akidah dan akhlak. Orang yang mengaku berakidah kuat seharusnya berakhlak baik.
Akhirnya, rumpun sejarah kebudayaan Islam dalam PAI seharusnya membawa peserta didik pada kesadaran pentingnya belajar tentang masa lalu dalam kebudayaan Islam untuk diambil nilai atau pelajarnnya. SKI seharusnya berorientasi pada rekonstruksi masa lalu, bukan antiquarianisme atau romantisme. Sejauh ini pembelajaran SKI cenderung membosankan karena hanya menghafal kumpulan fakta dan peristiwa masa lalu tanpa mengaitkan problem kekinian, terlebih mengambil nilai peristiwa masa lalu untuk digunakan memecahkan problem saat ini. Bukankah ada peribahasa, experience is the best teacher? Jadi, belajar sejarah hakikatnya untuk merencanakan masa depan dan membuat sejarah di masa depan. Karena itu, pembelajar sejarah seharusnya menjadi trendsetter, bukan follower.
Dengan merenungkan kembali orientasi rumpun PAI di atas, maka proses pembelajaran PAI seharusnya kembali kepada ruh tersebut. Artinya, semua pendekatan dan strategi pembelajaran yang dibuat oleh pendidik (guru) seharusnya mengacu pada ruh tiap rumpun PAI tersebut, bukan asal mempelajari materi PAI. Buku ini, penting dibaca sebab mengingatkan kita tentang ruh kajian Islam yang melihat fenomena keislaman dari berbagai perspektif. Ajaran Islam tidak hanya dilihat dari aspek normatif semata namun juga sudut pandang lain seperti sejarah, filsafat, sosiologi, antropologi, semiotik, sains, hukum, politik, ekonomi, dan hermeneutik. Kajian semasam ini penting bagi praktisi pendidikan terutama pendidik agar mampu menggali ajaran Islam secara interdisipliner, multidisipliner, bahkan transdisipliner.
Lanjutkan membaca “Belajar Studi Islam Era IAIN: Kasus UIN Sunan Kalijaga“