Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dunia dewasa ini sedang dihadapkan dengan era disrupsi semenjak mewabahnya infeksi Coronavirus Disease 2019 atau dikenal dengan sebutan Covid-19. Pandemi yang muncul pertama kali di Wuhan, China ini berdampak besar terhadap seluruh aspek kehidupan manusia. Dampak nyata dari adanya virus tersebut adalah terjadinya krisis multidemensi, terutama pada aspek sosial dan ekonomi. Pada aspek tersebut, pandemi Covid-19 mengakibatkan rusaknya sistem dan norma sosial, hilangnya lapangan pekerjaan, serta ketidakstabilan politik nasional dan internasional (Blaikie, 2020).
Wabah yang disebabkan oleh virus severe acute respitatory syndrome coronavirus (SARS-CoV-2) memiliki pengaruh besar terhadap berubahnya sistem dan tatanan sosial masyarakat dunia. Masyarakat global saat ini mau tidak mau harus mampu beradaptasi dengan budaya baru karena situasi dan kondisi yang ‘tidak normal’. Dari aspek pola perilaku perubahan ini tampak dari fisik, budaya atau kebiasaan baru terkait dengan penerapan protokol kesehatan seperti harus menggunakan masker dan adanya social distancing (jaga jarak dengan individu lainnya) untuk melindungi dari paparan virus Covid-19. Sementara itu, secara substansial adanya wabah pandemi Covid-19 ini justru memiliki dampak positif terhadap tatanan sosial masyarakat.
Pandemi ini menyadarkan manusia tentang pentingnya kembali merenungkan dimensi ruh dalam diri manusia dan hakikat manusia sebagai makhluk sosial, bukan hanya individual. Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan Martin Heidegger Alles Dasein ist Mitsein in der Welt, kodrat manusia sebagai pribadi adalah ‘mengada bersama dengan pribadi-pribadi yang lain’ (being with other person). Selama ini manusia sudah hilang jiwa kemanusiaanya. Mereka hanya disibukkan dengan kepentingannya sendiri (individualistik) dengan berlomba-lomba untuk mengeksploitasi keuntungan sebesar-besarnya yang hampir sebagian besar menimbulkan efek dehumanisasi.
Adanya proses dehumanisasi ini menyebabkan manusia tidak memiliki rasa kepekaan sosial dan peduli akan sesamanya. Manusia cenderung bersikap arogan, kapitalis, dan berorientasi hanya pada materi dunia. Meminjam istilah dari Thomas Hobbes “homo homini lupus”, manusia bagaikan serigala bagi manusia lain. Ungkapan tersebut sangat relevan dengan realitas sosial di mana manusia lebih mementingkan perut daripada rasa kemanusiaan. Di Indonesia, hal ini tampak pada kasus-kasus muktahir, seperti korupsi dana bantuan sosial (BANSOS) Covid-19 dan manipulasi jenazah Covid-19 untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Dalam kondisi disrupsi pandemi Covid-19 yang belum bisa teratasi dengan baik ini sangat penting untuk menghidupkan spirit dari ajaran agama yang ‘rahmatan lil-alamin’, bahwa ‘the only mission’ beragama adalah memberikan rahmat dan kebaikan bagi seluruh alam, terutama kemanusiaan (humanisme). Spirit ini seharusnya menjadi landasan penting untuk melawan wabah pandemi Covid-19 dengan lebih peka dan peduli untuk merawat alam, menghargai dan saling bekerjasama untuk membantu manusia lain, tanpa melihat latar belakang baik agama, suku, dan ras. Selain itu, spirit rahmatan lil-‘alamin ini dapat dijadikan sebagai model bagi seluruh manusia, terutama umat Islam dalam menjalankan setiap aktivitas di masa sulit sekarang ini.
Karen Armstrong dalam Piagam Welas Asih menekankan kepada umat Islam untuk menghidupkan nilai welas asih (kasih sayang) dan menjadikannya sebagai model living compassionate sesuai dengan ajaran agama Islam. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda takhallaqu bi-akhlaqillah,“berakhlaklah kamu sekalian dengan akhlak Allah”. Oleh karena itu, di masa sekarang ini setiap apa yang dilakukan seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan, yaitu kasih sayang dan penuh rahmat bagi semesta alam yang tidak mengenal batas apa pun dan siapa pun. Spirit inilah yang akan memberikan kekuatan untuk seluruh manusia dalam bertahan di masa pandemi Covid-19.
Dalam konteks membumikan nilai humanisme dalam beragama di atas, mahasiswa sebagai peserta didik pada jenjang pendidikan tertinggi seharusnya mampu menjadi agen perubahan (agent of change) yang lebih berperan aktif untuk mempengaruhi orang lain, peristiwa dan kondisi sekitar agar menjadi lebih baik. Di era pandemi ini mahasiswa seharusnya menjadi ‘living model’ bagi masyarakat dan menjadi garda terdepan (avant garde) dalam membangkitkan spirit rahmatan lil-‘alamin dengan menampilkan karakter berkeprimanusiaan, saling mendukung, dan interaktif membantu ke arah tujuan bersama dalam melawan kondisi Covid-19.
Untuk menjadi penggerak perubahan dengan spirit universal ajaran agama Islam di atas mahasiswa seharusnya mempunyai pengetahuan yang luas dengan keterampilan berpikir filosofis (philoshopical minded), kritis (critical thinking), kreatif (creative) dan analitik (analytic). Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles “pengetahuan yang tepat merupakan dasar untuk bertindak secara tepat”. Pengetahuan merupakan hal penting dan sebagai bahan dasar untuk diolah dan dikembangkan menjadi pemecahan masalah (problem solving) seperti melalui berpikir desain (design thinking) dan berpikir sistem (system thinking).
Selain kita perlu memiliki landasan pengetahuan yang kuat, yang tidak kalah penting adalah bagaimana bertindak (action), melakukan sebuah perubahan untuk menghidupkan nilai-nilai rahmatan lil-‘alamin dalam kehidupan bersama. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Karl Marx, sebagaimana dikutip oleh Erich Fromm, “Cinta tidak hanya terletak pada kata-kata. Cinta hanya bermakna dalam perbuatan nyata”. Dengan demikian, spirit yang terkandung dalam misi ‘rahmatan lil-‘alamin’ tidak hanya diwacanakan tetapi harus dihidupkan. Mahasiswa tidak boleh hanya menjadi ‘man of discourse’ atau manusia yang hanya pandai berwacana tetapi harus menjadi ‘living model’ dan mentransformasi masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan, manusia, dan seluruh alam semesta. Ketika nilai-nilai rahmatan lil-‘alamin ini mampu dimplementasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, maka kita akan lebih berdaya dan dapat mengatasi berbagai kesulitan yang muncul di masa pandemi ini.
It is the intent to provide valuable information and best practices, including an understanding of the regulatory process.