Urgensi Multiliterasi: Literasi Budaya [5]

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Kita diciptakan oleh Allah sebagai makhluk unik dan istimewa. Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang diciptakan sama persis dengan yang lain, sejak dunia ini ada hingga akhir jaman. Jika saat ini jumlah penduduk di dunia ada 7,7 milyar, maka ada 7,7 milyar keunikan manusia juga. Ini merupakan tanda kemahakuasaan Allah. Keunikan manusia ini, secara antropologis, tampak dari daya cipta, rasa, dan karsa. Daya cipta terkait dengan tingkat pengetahuan kita yang dipengaruhi oleh latar belakang intelektual seperti literatur atau buku yang selama ini dibaca, jaringan keilmuan, pendidikan yang ditempuh baik informal, formal dan nonformal, serta kemampuan merefleksikan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Karena itu, sangat wajar jika dalam sebuah pembelajaran di kelas, materi yang disampaikan seorang guru atau dosen dipahami secara beragam oleh peserta didik. Meskipun mereka mendapatkan bahan yang sama, tetapi ketika mereka menyampaikan ulang berdasarkan pemahaman mereka melalui Bahasa lisan atau tulis, maka hasil pemahamannya sangat beragam. Jika di kelas tersebut ada 20 orang, misalnya, maka akan ada 20 versi pemahaman berbeda.

“Kita diciptakan oleh Allah sebagai makhluk unik dan istimewa.”

Dr. Muqowim, M. Ag.

Selain cipta, keunikan kita juga tampak dari daya rasa, bahkan hal ini lebih subtil atau halus lagi sebab menyangkut emosi. Apa yang kita ketahui biasanya sangat mempengaruhi rasa kita tentang sesuatu. Apa yang kita rasakan berkembang dan berubah secara dinamis. Sebenarnya dalam satu waktu kita hanya mempunyai satu perasaan, tetapi karena rentang waktu ini bukan hanya menit, jam, hari apalagi minggu, namun detik, bahkan setengah atau seperempat detik, maka dalam sepuluh detik, misalnya, boleh jadi kita merasakan sepuluh jenis emosi atau lebih. Karena itu, kita sering mengatakan atau mendengar ungkapan “perasaan campur aduk” atau “rasa nano-nano”, semua rasa seakan jadi satu dalam kurun waktu singkat seperti senang, bahagia, cemas, jengkel, dan marah. Padahal berbagai perasaan tersebut muncul silih berganti secara cepat. Kita dihadapkan pada situasi yang menyenangkan sekaligus menyedihkan. Antara emosi positif dan emosi negatif berubah secara cepat.

Berbagai kasus yang kita alami tentu berbeda-beda, misalnya, sekedar ilustrasi, kita mencari buku yang sangat penting, bahkan buku satu-satunya sumber inspirasi, untuk menyelesaikan sebuah tugas akhir. Buku tersebut kita taruh di tempat rak seperti biasanya, tetapi saat buku tersebut mau kita gunakan ternyata tidak ada di tempat. Kita sudah mencari kesana-kemari tidak ketemu. Waktu semakin mepet untuk mengerjakan tugas sehingga membuat perasaan kita makin galau, putus asa, dan khawatir. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba kita ditelpon dari seorang teman yang sudah sangat akrab. Dia memberitahu kalau waktu berkunjung ke rumah kita, dia melihat sebuah buku bagus di rak. Dia kemudian mengambil dan membacanya, tetapi karena belum selesai buku tersebut dibawa pulang. Dia lupa memberitahu kita tentang buku tersebut. Di saat seperti ini boleh jadi perasaan kita campur aduk antara mangkel, marah, kecewa tapi juga senang, dan bahagia. Mangkel dan marah kepada teman yang meminjam buku tapi tidak memberitahu. Kita senang sebab di tengah “injury time” buku yang kita inginkan sudah ketemu. Tentu saja, cara kita mensikapi kasus seperti ini sangat variatif. Hal ini menunjukkan keunikan dalam hal rasa.

Sementara itu karsa terkait dengan daya ataupun kekuatan jiwa yang menjadi dorongan bagi manusia untuk berbuat. Karsa juga sering diartikan dengan niat dan kehendak. Karsa sebenarnya terkait dengan dua daya sebelumnya yaitu cipta dan rasa, sebab munculnya niat atau kehendak dipengaruhi oleh pengetahuan dan perasaan. Kita mempunyai niat, misalnya, akan membaca buku Rhenald Kasali tentang Let’s Change, sebab kita mengetahui bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan. Dihadapkan pada disrupsi yang semakin cepat kita harus segera bersikap, kita akan mengubah ataukah diubah oleh realitas sekitar. Ketika pilihan kita adalah mengubah maka kita perlu lebih memahami tentang bagaimana cara berubah. Di saat kita baru bersemangat untuk melakukan perubahan, maka kita mempunyai niat segera membaca buku terkait dengan perubahan, salah satunya adalah karya Rhenald Kasali tersebut. Dengan penjelasan singkat tersebut, tridaya (cipta, rasa dan karsa) pada dasarnya tidak dapat dipisahkan tetapi berkait-kelindan. Ketiga daya tersebut menghasilkan produk budaya yang tampak (tangible) dan yang tidak tampak (intangible).

Produk budaya yang tampak berupa benda seperti bangunan masjid, candi, kelenteng, pura, rumah, pakaian, makanan, dan alat teknologi. Sementara itu, produk budaya yang tidak tampak antara lain berupa adat-istiadat, pengetahuan, seni, dan bahasa. Baik produk budaya yang tampak maupun yang tidak tampak tersebut pada dasarnya bersifat unik sebab dihasilkan oleh tiap orang yang mempunyai tridaya tersebut. Dalam konteks produk budaya yang tampak, kita menyaksikan tidak ada satu pun masjid yang dibangun sama persis baik dalam kualitas maupun kuantitas meskipun dibangun di daerah yang sama. Kalaupun kita menjumpai ada kesamaan masjid di satu tempat dengan tempat lain, jika kita kaji secara cermat pasti ada perbedaan dalam ukuran, meskipun satu inchi, centi atau desimeter, terlebih jika kita kaitkan dengan kualitas, pasti berbeda. Pemaknaan satu masjid dengan masjid yang lain oleh masyarakat sekitar tempat ibadah ini juga pasti berbeda. Keunikan juga terjadi dalam konteks produk budaya yang lain seperti makanan, minuman, pakaian, dan rumah. Keragaman produk budaya ini menunjukkan keunikan tiap orang yang mempunyai kualitas tridaya berbeda-beda.

Ketidakmampuan kita memahami keragaman tersebut akan berakibat negatif seperti ketegangan dan konflik. Dalam hal produk budaya yang tidak tampak seperti adat-istiadat, bahasa dan seni, jika tidak kita sadari dan pahami akan memahami orang lain menurut sudut pandang dan kebiasaan kita. Mungkin kita pernah atau sering merasakan pengalaman “aneh” atau konyol karena perbedaan bahasa. Sebagai contoh, bagi orang Jawa kata “atos” berarti “keras” sedangkan bagi orang Sunda “atos” berarti “sudah”. Kata “cokot” bagi masyarakat Jawa artinya gigit, sementara di Sunda kata ini bermakna “ambil”. Gara-gara perbedaan budaya yang ditampilkan melalui ekspresi bahasa tersebut, muncul salah tafsir, ketegangan dan konflik karena kedua (orang Jawa dan orang Sunda) tersebut tidak saling memahami bahasa mereka. Berbagai persoalan tersebut tidak akan terjadi jika kita mempunyai literasi budaya. Secara sederhana literasi budaya diartikan sebagai kemampuan memahami, menghayati dan merayakan keragaman budaya yang ada di sekitar sebagai hasil ekpresi dari tridaya tiap orang. Literasi ini membuat kita bersikap toleran, menghargai, peduli, ramah, dan menebarkan rahmat bagi sekitar. Keragaman budaya hakikatnya merupakan cermin keunikan tiap orang yang menjadi sunnatullah, bahwa kebhinnekaan adalah by design dari Allah.

“Secara sederhana literasi budaya diartikan sebagai kemampuan memahami, menghayati dan merayakan keragaman budaya yang ada di sekitar sebagai hasil ekspresi dari tridaya tiap orang.”

Dr. Muqowim, M. Ag.

Keragaman identitas pada dasarnya terbentuk oleh perbedaan kebiasaan yang dimiliki tiap orang. Kebiasaan yang dimiliki tiap orang ini disebut dengan istilah “’urf”. Kebiasaan orang yang berjenis kelamin, laki-laki dan perempuan, tentu berbeda. Dalam konteks kajian gender kebiasaan ini dikonstruksi oleh realitas sosial dan budaya yang berbeda. Ketika sebuah kebiasaan yang kita miliki dijadikan sebagai parameter untuk melihat kebiasaan orang lain, maka yang terjadi adalah menganalisa (analyzing), mengevaluasi (evaluating), menghakimi (judging), membandingkan (comparing) dan cenderung menyalahkan (blaming). Hal yang sama juga terjadi ketika orang lain menggunakan sudut pandangnya untuk melihat kebiasaan kita. Jika hal ini terus dilakukan, maka akan terjadi prasangka (prejudice), stereotyping, benturan (clash), kekerasan (violence) dan bahkan konflik (conflict). Karena itu, Sirajuddin Aga Khan berpendapat bahwa semakin kita tidak [mau] mengenal identitas orang lain semakin besar [akan] terjadi benturan, sebaliknya, semakin kita mau memahami dan mengenal identitas lain yang berbeda dengan kita, maka semakin kecil terjadi benturan atau konflik. Menurutnya, terjadinya benturan antar entitas atau kelompok lebih disebabkan oleh “the clash of ignorances”, benturan ketidaktahuan.

Selain kebiasaan berdasarkan jenis kelamin atau gender, keragaman identitas yang menghasilkan identitas berbeda ini juga diingatkan Allah dalam konteks suku dan bangsa. Setiap suku mempunyai keunikan yang membedakan dengan suku lain. Hal ini antara lain dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, kondisi geografi, demografi, sosial, ekonomi, afiliasi politik, dan budaya yang dimiliki. Semua ini berawal dari keunikan lapisan tiap orang yang menghasilkan keunikan sebuah komunitas dan suku. Menurut Ziba-Mir-Hossaini setiap orang mempunyai multiple layers, lapisan majemuk, yang harus dipahami secara keseluruhan. Semakin banyak lapisan yang kita pahami, semakin utuh kita melihat keunikan mereka. Kemampuan memahami beragam identitas ini akan memunculkan sikap saling menghargai, toleransi, bersinergi, berkolaborasi dan berkomunikasi secara positif. Dalam al-Qur’an, terutama Surat al-Hujurat ayat 13, disebut dengan istilah “li-ta’arafu”, saling mengenal kebiasaan identitas lain yang berbeda. Karena setiap orang diciptakan berbeda oleh Allah, seharusnya kita lebih menekankan untuk mencari titik persamaan, maka akan menghasilkan banyak titik perjumpaan. Namun, jika kita lebih menekankan sisi perbedaan dari identitas yang kita miliki, maka kita akan semakin berjarak, terpisahkan, dan menciptakan konflik. Karena itu, kesadaran kita tentang lapisan identitas kita yang majemuk akan mempengaruhi cara pandang kita terhadap orang lain yang juga mempunyai lapisan yang sama.

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *