Urgensi Multiliterasi: Literasi Digital [2]

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Literasi digital harus kita miliki di era Revolusi Industri 4.0 (RI-4.0) ini sebab semua aktifitas yang kita lakukan serba internet (internet of things dan internet of people). Yang dimaksud dengan literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan yang harus kita miliki untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan internet untuk menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat dan patuh pada hukum dalam membina komunikasi dan interaksi sehari-hari. Hal ini diperlukan sebab tidak adanya literasi ini menjadikan kita tergantung pada teknologi (artificial intelligence) yang merupakan alat ciptaan kita sendiri. Meskipun kemajuan RI-4.0 mempunyai banyak manfaat, namun menurut Shinzo Abe, mantan Perdana Menteri Jepang, dampak negative yang ditimbulkan juga sangat banyak seperti adanya gejala dehumanisasi. Di antara bentuk gejala dehumanisasi tersebut adalah fear of missing out (FMO), narcissistic personality disorder (NPD), dan social climber (SC).

Gejala FMO antara lain ditandai oleh kegelisahan berpisah dengan alat teknologi seperti smartphone. Tidak memegang gadget satu hari saja seperti separuh jiwa hilang dari dalam diri kita. Boleh jadi, barang yang pertama kita ingat ketika kita bangun tidur adalah smartphone, bukan anak, suami atau istri. Gejala kedua, NPD, antara lain dapat dilihat dari kebiasaan kita tampil narsis melalui update status seperti di WA atau IG. Bahkan, eksistensi kita ditentukan oleh status yang kita update. “Saya update status, maka Saya ada”, sekedar terinspirasi dari Rene Descartes, “Cogito Ergo Sum”. Bedanya kalo Descartes keberadaan kita ditentukan oleh “berpikir” sedangkan NPD oleh “status”. Tentu saja yang dimaksud narsis dalam konteks NPD adalah sebagai gangguan kejiwaan bukan menyebar kebaikan melalui status sesuai dengan tujuan hidup yang berbasis nilai-nilai positif. Sementara itu, gejala SC antara lain tampak dari keinginan untuk segera naik status secara instan dengan menggunakan media sosial, atau sering disebut PANSOS, panjat sosial. Pansos termasuk gejala dehumanisasi sebab proses yang dilakukan tidak melalui tahapan rasional tetapi short-cut, model jujug saja. Mungkin kita pernah membaca berita orang yang ngeprank dengan konten yang tidak wajar agar cepat viral dan terkenal.

Dalam konteks komunikasi melalui media sosial kita mengenal adanya gejala desensitisasi, berkurang atau hilangnya kepekaan atau sensitifitas kita dalam membangun interaksi dengan sesama akibat ketergantungan terhadap gadget. Relasi sosial dengan sesama seakan-akan sudah diwakili oleh simbol dalam smartphone dengan kata seperti wkwkwk dan hihihi atau melalui emoticon seperti simbol jempol atau tertawa. Seakan-akan komunikasi dan interaksi sudah cukup diwakili dengan simbol tersebut. Kita mungkin pernah mengalami berkumpul bersama keluarga di ruang keluarga, semua memegang HP dan masing-masing orang asyik dengan dunianya sendiri. Secara fisik kita dekat bahkan sangat dekat namun sebenarnya kita berjarak dan terpisah sangat jauh secara kejiwaan dan spiritual. Jika ini yang terjadi, maka kemajuan teknologi menyebabkan kita mengalami diskoneksi dan teralienasi. Karena itu, literasi digital sangat diperlukan agar kemajuan teknologi menjadikan kita lebih terhubung secara mental, nilai dan spiritual. Kemajuan TIK seharusnya menjadikan kita semakin damai dan bahagia.

Literasi digital sangat diperlukan agar kemajuan teknologi menjadikan kita lebih terhubung secara mental, nilai dan spiritual. Kemajuan TIK seharusnya menjadikan kita semakin damai dan bahagia.

Dr. Muqowim, M. Ag.

Dengan literasi digital kita tidak anti terhadap perkembangan teknologi, namun kita menjadi subyek utama yang menggunakan teknologi untuk kemanfaatan, kebermaknaan dan kebahagiaan hidup. Karena itu, Abe mengusulkan pentingnya Society 5.0, di mana manusia sebagai subyek dari semua pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kemajuan ekonomi. Menurut Douglas A.J. Belshaw, paling tidak ada delapan aspek yang perlu kita perhatikan dalam literasi digital, yaitu secara kultural kita harus menyadari bahwa setiap orang adalah makhluk berbudaya yang mempunyai cipta, rasa dan karsa, secara kognitif kita harus memahami hakikat teknologi baik dari aspek kelebihan maupun kelemahan, teknologi digital harus kita gunakan untuk hal-hal yang konstruktif, teknologi seharusnya kita jadikan sebagai media komunikasi yang efektif dan positif, teknologi seharusnya membuat kita lebih percaya diri, kita menjadi pribadi yang lebih kreatif dan kritis dengan teknologi, dan kita lebih bertanggung jawab secara sosial dengan teknologi digital.

Mungkin kita ingat istilah “man behind the gun”, bahwa mindset pengguna sebuah alat lebih menentukan segalanya. Sebuah alat pada dasarnya netral, yang tidak netral adalah penggunanya, orangnya, sebab setiap orang mempunyai kepentingan berbeda. Media sosial yang saat ini sangat beragam ibarat pisau bermata dua, bisa membawa manfaat dan maslahat dan bisa mendatangkan mafsadat dan madlarat. Kita bisa menebarkan nilai-nilai positif dengan media FB, WA atau IG. Ketika kita upload hal positif dengan platform yang kita pilih, kemudian hal positif tersebut dibaca dan diikuti oleh seribu orang, misalnya, maka kita telah menebarkan seribu kebaikan. Semua energi positif yang telah kita keluarkan melalui media tersebut akan kembali ke kita persis dengan jumlah yang kita keluarkan. Sebaliknya, ketika kita menggunakan media untuk hal-hal yang negatif, maka kita harus siap-siap dengan pencairan energi negatif sejumlah energi yang kita keluarkan. Karena itu, kita dihadapkan pada pilihan, apakah akan menggunakan teknologi digital tersebut untuk tujuan positif ataukah negatif.

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *