Fenomena Tradisi Megengan Menyambut Bulan Suci Ramadhan Masyarakat Kediri dalam Perspektif Sosiologi Agama

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan wilayah yang besar dan luas. Berdasarkan data BPS, wilayah Indonesia terdiri dari 17.504 pulau dengan jumlah penduduk hampir 270 juta jiwa. Indonesia juga disebut sebagai negara multikultural yang mempunyai keberagaman suku, ras, agama, dan budaya. Keragaman ini antara lain tampak dari 2.500 bahasa daerah, 1340 suku, 7241 budaya dan 6 agama yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika setiap daerah memiliki tradisi atau kebudayaan khas masing-masing, salah satunya di Kediri.

“…tidak mengherankan jika setiap daerah memiliki tradisi atau kebudayaan khas masing-masing, salah satunya di Kediri.”

      Kediri merupakan daerah yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Secara geografis, Kediri berbatasan dengan Jombang di sebelah utara, Malang di sebelah timur, Nganjuk di bagian barat, dan Blitar di selatan. Kediri juga terkenal dengan keberagaman budaya dan tradisi masyarakatnya. Hal ini, dilatarbelakangi karena wilayah Kediri pernah menjadi bagian penting dan strategis dari berbagai kerajaan penting di Pulau Jawa. Selain itu, Kediri juga menjadi sebuah nama kerajaan, yakni Kerajaan Kediri atau Panjalu yang merupakan penerus dari Kerajaan Medang. Kebudayaan atau tradisi masyarakat Kediri yang terkenal dan masih dipegang teguh hingga saat ini ialah “Tradisi Megengan”.

       Megengan merupakan tradisi atau kebiasaan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Tradisi ini diwariskan oleh Walisongo ketika menyampaikan dakwah ajaran Islam di tanah Jawa. Tradisi megengan ini sebagai bentuk akulturasi dari kebiasaan lokal masyarakat Kediri khususnya dan Jawa pada umumnya dengan ajaran Islam. Selain itu, tradisi ini juga sudah menjadi ritual yang wajib dilakukan oleh masyarakat muslim di Kediri. Fenomena tradisi megengan masyarakat Kediri ini menjadi fenomena keagamaan yang menarik untuk dikaji, terutama dari sudut pandang sosiologi agama dengan analisis teori fenomenologi. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mencermati dan menganalisis lebih dalam tentang mengapa tradisi ini masih dilakukan, bagaimana tradisi dilakukan, dan apa makna dibalik tradisi ini bagi individu atau kelompok sosial agama. Pengumpulan data dari kajian ini dilakukan dengan menggunakan pengamatan terlibat (participant observation) dan wawancara (interview). Analisis data diarahkan pada penggalian makna yang ada dalam tradisi megengan.

       Berdasarkan pendekatan di atas, kajian ini menemukan bahwa tradisi megengan merupakan sebuah tradisi atau kebudayaan yang menjadi bagian penting dalam kehidupan beragama masyarakat Kediri. Tradisi ini sebagai bentuk ritual beragama yang menjadi ciri khas, sekaligus sebagai pembeda kehidupan beragama masyarakat Kediri dengan masyarakat lainnya. Tradisi megengan ini juga dapat dikatakan sebagai tradisi yang langka, jika dikaitkan dengan perkembangan Islam di masa modern. Di era modern ini, perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju dan revolusioner terutama dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Akan tetapi, berbagai perkembangan dan perubahan itu tidak mengubah dan mempengaruhi upacara atau tradisi megengan masyarakat Kediri dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

       Hal ini dikarenakan tradisi megengan mempunyai makna atau arti khusus bagi pelaku ritual, baik individu maupun kelompok sosial agama sekitar. Tradisi ini juga merupakan bentuk dari manifestasi dalam beragama. Masyarakat Kediri memaknai ritual atau tradisi megengan sebagai sarana untuk meyiarkan ajaran Islam (dakwah) ke masyarakat, terutama memperkenalkan dan mentransformasikan ajaran-ajaran Islam dan budaya atau tradisi kepada anak-anak. Berdasarkan proses tersebut wajar jika, tradisi dan nilai-nilai Islam yang diajarkan oleh para leluhur dan para wali, khususnya Walisongo, tidak akan mudah punah dan terus dipegang teguh oleh setiap generasi berikutnya.

       Jika dilihat lebih dalam dengan menggunakan teori fenomenologi, tindakan atau perilaku yang dilakukan dalam tradisi megengan mempunyai makna atau arti subyektif bagi tiap individu yang terlibat. Tradisi ini pada dasarnya sebagai cara untuk mendoakan para leluhur keluarga atau nenek moyang yang telah berpulang kehadirat Allah SWT. Dalam tradisi ini doa kepada leluhur ini disimbolkan dengan makanan yang dinamakan “apem”, yang mempunyai filosofi memintakan maaf kepada para leluhur agar mereka mendapatkan tempat yang baik dan dilimpahi berbagai kenikmatan di surga-Nya. Selain memintakan maaf kepada para leluhur, ritual tradisi megengan juga diharapkan sebagai sarana untuk memaafkan satu sama lain sehingga setiap individu akan mempunyai hati yang kembali bersih sebelum melaksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.

       Berdasarkan hasil observasi, sebelum melakukan tradisi megengan di masjid atau mushala, setiap keluarga menyiapkan beberapa “berkat” yang berupa makanan untuk dibawa ke masjid dan dijadikan sedekah. Sedekah ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. atas karunia dan berbagai macam bentuk nikmat yang sudah diterima. Selain itu, ada beberapa keluarga yang menyiapkan semacam makanan dan minuman keseharian, seperti kopi, pisang, dan kue apem yang ditaruh di atas meja sebagai simbol penghormatan kepada roh para leluhur ketika pulang ke rumah. Berdasarkan data wawancara, simbol penghormatan ini dilakukan bukan untuk memuja roh para leluhur, tetapi sebagai bentuk rasa hormat dan harapan agar para leluhur keluarga merasa senang. Hal inilah yang menjadi makna spritualitas individu dalam melakukan tradisi megengan dalam menyambut bulan suci Ramadhan.

       Selain memiliki makna bagi individu, tradisi megengan ini juga mempunyai fungsi atau makna tersendiri bagi kehidupan masyarakat atau kelompok sosial agama. Secara kolektif, tradisi ini sebagai upaya untuk meneguhkan persaudaraan dan kasih sayang (al-akhwah dan al-shilah al-rahim). Tradisi ini juga berfungsi untuk mengingatkan satu sama lain, saling membagi dan memperbaharui kesadaran tentang makna keberagamaan di antara anggota kelompok sosial agama. Selain itu, tradisi atau ritual tersebut juga dapat memperbaharui kebaikan, meningkatkan kesalingpemilikan, dan meningkatkan rasa kesatuan sosial masyarakat agama sehingga mampu menciptakan kesadaran kebersamaan secara intensif dalam kelompok sosial agama.

       Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa tradisi megengan yang dilakukan dalam menyambut bulan suci Ramadhan pada hakikatnya merupakan tradisi atau budaya warisan yang baik dan bermanfaat, serta mempunyai makna dan nilai-nilai spritualitas, baik bagi individu atau kelompok. Oleh karena itu, tradisi atau budaya megengan ini akan terus dilestarikan dan diamalkan sebagai bentuk manifestasi beragama, terutama oleh masyarakat Kediri.

About Fajar Dwi Noviantoro

Koordinator Bidang Pelatihan, Konsultasi dan Advokasi Rumah Kearifan (House of Wisdom). Mahasiswa Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Fajar Dwi Noviantoro →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *