Maaf, Saya Tidak Bahagia

Ahmad SM
Youth Interfaith Peacemaker Community

Orang yang bijaksana adalah mereka yang tidak berduka cita akan hal-hal yang ia tidak miliki dan merasa bahagia dengan apa yang telah ia miliki.” 

Democritus

“Itu anaknya si anu abis ngeluarin mobil”, “sudah kerja dan sudah beli ini dan itu”, demikian seloroh ibu saya sekali waktu yang entah mengapa kerap melintas di pikiranku, terlebih ketika dikatikan dengan kata “bahagia”. Sesekali istilah “bahagia” menjelma semacam makhluk astral di benakku. Apa sebetulnya “bahagia” itu? Mengapa banyak yang begitu mendambanya? Apakah ibu saya mengirim isyarat bahwa –jika kamu punya mobil, punya harta banyak atau sudah beli barang-barang bermerek akan pasti bahagia? Atau ibu saya punya maksud atau isyarat lain? Sejenak saya terpikir, “saya tidak ingin bahagia kalau begitu!”.

***

Bahagia mungkin bagi sebagian orang adalah kata yang mengandung sihir yang bisa mengubah banyak keadaan manusia, bahkan juga mungkin tumbuhan dan hewan di sekitar kita. Tapi, berapa banyak orang juga justru menanggalkan hartanya, tahtanya dan semua benda materialnya guna untuk menggapai kebahagiaan. Anomali yang menjadi ciri khas kehidupan manusia. Satu sisi, ada jenis manusia yang butuh memenuhi hasrat materialnya untuk menggapai puncak kebahagiaan. Sisi lain, ada yang perlu butuh melepaskan semuanya lalu dapat menikmati dan menghayati kebahagiaan.

Jika kita membuka kronik sejarah, buku motivasi hingga literatur spiritual, kita bisa menemukan jutaan atau bahkan milyaran konsep kebahagiaan di dalamnya. Saking banyaknya, kita sampai lupa hendak memulai dari mana dan bagaimana. Hingga bahagia hanya menjadi konsep di kepala dan tak jua hadir di hadapan mata atau hadir di kedalaman batin kita.

Satu sisi, ruang dan waktu bergerak dinamis dan menghasilkan produk manusia yang tingkat materialisme tinggi –dimana manusia tidak mengupayakan nilai namun lebih mementingkan simbol. Laku atau aktifitas sehari-hari berlalu begitu saja tanpa sebuah permenungan nilai. Ia berlalu seturut tanggal, bulan dan tahun di kalender—nir makna sementara usia menuju senjakala. Mekanis. Menjadi robot. Sungguh satu penghinaan kepada akal dan hati dan nurani.

Kehidupan yang demikian menjadi mampu membekukan manusia dalam ruang kehampaan eksistensial yang mengancam banyak manusia modern yang merasa sudah menemukan banyak ciptaan futuristik namun kering makna atau nilai di dalamnya. Ditambah realitas masyarakat yang dijejali kacamata kuda dengan menilai orang lain dari kulit yang bernama pangkat, jabatan, kekayaan, popularitas dan segala gincu yang selama ini melekat dan dipoles manusia habis-habisan.

Sementara buku, film, seni tidak akan dapat menjelaskan semua kepada kita apa makna dan arti hidup kita sendiri, juga keluarga atau teman kita tidak berhak menentukan arti atau bahkan tujuan hidup kita. Sebenarnya, semua kebutuhan, hasrat dan tujuan eksistensial ada di dalam diri kita. Pertanyaannya tadi, adakah pernah menemui diri kita? Sudah kah dia diajak berdialog tentang keinginannya yang otentik sebelum dipengaruhi dan diintervensi oleh logika kerumunan di luaran sana?

Viktor E. Frankl dalam masterpiece-nya yang berjudul Man’s Search for Meaning (1946) menerangkan tentang kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning). Menurutnya, motivasi utama yang terdapat pada manusia adalah untuk mencari, menemukan serta memenuhi tujuan dan arti hidupnya. Ahli logoterapi ini melihat kebahagiaan manusia tampak ketika makna dapat dirangkai dari rentetan peristiwa dalam kehidupan manusia yang tak pernah berhenti memiliki keinginan atau hasrat. Sehingga, apapun kehendak bebas manusia, “bahagia” lalu menjelma lensa atau kacamata baru dalam melihat semesta dengan kepuasan sebagai rem dari serbuan keinginan (kama) yang nyaris tanpa jeda.

Kembali pada petikan cerita di atas, jika ibu saya menentukan kebahagiaan dari yang tampak di luar diri manusia. Selamanya mungkin tidak bahagia. Jika vibrasi bahagia tidak dari dalam diri manusia. Bagaimana? Sudah merasa bahagia hari ini?

Gamping, 29 Agustus 2018.

*Penulis adalah Trainer Trustbuilding Program Initiative of Change (IofC) Indonesia dan Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *