Membayangkan Mengubah Orang Lain

Ahmad SM
Youth Interfaith Peacemaker Community

“Kita tidak akan pernah mendapatkan damai di luar diri kita sendiri, sampai kita damai dengan diri kita sendiri”.

Dalai Lama

Di satu kesempatan, kita acap kali berujar hendak mengubah orang lain. Sesuatu di luar diri kita, hendak kita beri tindak seperti dokter gigi mencabut gigi pasiennya. Atau tukang kayu membuat sebuah lemari kayu—mengolah bahan mentah menjadi barang jadi dan bernilai guna dan bernilai ekonomis. Uniknya, manusia tidak demikian mudah atau bahkan nyaris tidak mungkin diubah seperti demikian. Mengapa?

Selain bahwa manusia adalah makhluk multi-dimensi dengan perangkat yang dimilikinya juga beragam, termasuk daya atau power yang melekat pada dirinya. Ia juga kreatif untuk kemudian terus melakukan eksperimen ciptaan di tiap tindak-tanduk kehidupannya. Dari mencipta resep masakan hingga Artificial Intelegence (AI) dengan ragam bentuk kemajuannya saat ini.

Kembali ke mengubah orang lain, entah apa salah dan dosa mereka? Apakah mereka memang tidak pantas dipahami oleh sebab prasangka negatif kita yang dominan terhadapnya? Atau mungkin natur manusia selalu lebih mampu melihat debu di seberang pulau daripada balok kayu di depan matanya sendiri?

“Kita membaca semesta dengan salah”, kata Rabindranath Tagore, “lalu kita berkata bahwa dunialah yang membohongi kita”. Kita menilai orang lain dengan salah, lalu kita berkata dia harus berubah (tentu menurut ukuran kita!). Seberapa sering anda bertemu dengan tukang parkir, badut atau manusia perak di beberapa titik lampu merah akhir-akhir ini, di tengah pandemi covid-19? Kerap mendapat hardikan, perlakuan tidak menyenangkan ditambah cap sebagai peminta-minta, gelandangan, pengganggu lalu lintas, dan seterusnya.

Semua realitas di sekitar kita, dari pemandangan alam hingga berbagai jenis manusia yang kita temui adalah benda yang netral pada dirinya. Mereka semua ada dan berada pada poros rotasinya masing-masing. Ia menjadi negatif ketika pikiran manusia yang menghamiki atau memutuskannya sebagai sesuatu yang negatif.

“Pikiran manusia itu seperti kuda liar”, kata Sang Buddha. Dari keliarannya, bisa menabrak siapapun hingga melukai siapapun di sekitarnya. Silahkan cek kembali pikiran kita—adakah ia melukai orang sekitar kita? Jika ia negatif, ia akan memantulkan sesuatu yang negatif pula dan tentu kembali pada diri kita. Demikian halnya dengan pikiran positif.

Berapa sering kita mencoba melakukan transposisi untuk melakukan empati kepada orang-orang itu ketimbang menuruti alur berpikir negatif yang kemudian justru tak membantu apa-apa. Dapatkah kita terhubung dengan penderitaan mereka jika hanya nyinyir yang dialamatkan padanya?

Hubungan antar manusia melalui perjumpaan wajah adalah hubungan yang begitu misterius. Ada enigma wajah orang lain di hadapan kita. Wajah orang lain yang kita sering kali kita paksa masuk pada ukuran kita, kemauan kita, dan tentu standar kita. Tindakan penuh intrik demikian jauh dari kemurnian manusia ke manusia lainnya. Dengan intrik bak pahlawan ingin mengubah orang lain ini adalah tema yang tak henti dibahas, didiskusikan dan tak henti terjadi tentunya.

Seperti damai yang kita impikan terjadi di luar diri kita. Sungguh tidak akan pernah terwujud di hadapan kita tanpa menghadirkannya ke dalam palung kesadaran diri kita. Menancapkan di kesadaran bahwa ia dimulai dari diri sendiri. Karena ini tentang diri sendiri. Satu-satunya yang kita lawan bukan orang, namun justru diri sendiri. Kita berkompetisi bukan dengan orang lain, tapi justru dengan diri kita (di masa lalu).

“Carilah kebahagiaanmu bukan ke gunung atau ke pantai, tapi carilah ke dalam kesadaran dirimu. Lihatlah! Tengok dirimu yang tak pernah diajak berdialog.”

Sudah berdialog dengan diri hari ini?

Gamping, 28 Agustus 2018.

*Penulis adalah Trainer Trustbuilding Program Initiative of Change (IofC) Indonesia dan Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *