William Christopher Hariandja
Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma.
Pengantar
Ni Wajan Gedong –atau yang lebih dikenal dengan nama Gedong Bagoes Oka– merupakan cendekiawan dan spiritualis wanita Hindu di Indonesia. Pemikiran Ibu Gedong diwujudkan melalui perjuangan akan nilai-nilai anti kekerasan. Hal ini dilandasi pada pemikiran dan pergerakan Mahatma Gandhi yang terkenal dengan aksi anti kekerasan (ahimsa) dan kemandirian (svadeshi). Pemikiran dan pergerakan lbu Gedong ini menjadi oase baru di saat pemahaman akan kebajikan-kebajikan dalam agama Hindu mendangkal, karena masyarakat Hindu lebih menekankan pada ritual (upacara) yang menjadi representasi dari feodalisme. Menurut Ibu Gedong, beragama berarti: “menjadi manusia seutuhnya”. Dengan pemikiran dan pergerakannya, Ibu Gedong ingin membawa nilai-nilai Hinduisme ke tengah-tengah masyarakat, yakni kepada masalah pendidikan, pluralisme, agama, ekologi, dan perdamaian.

Ibu Gedong: Biografi
Ibu Gedong lahir pada tanggal 3 Oktober 1921 di Karangasem, Bali dengan nama Ni Wajan Gedong dari pasangan I Komang Layang dan Ni Komang Pupuh. Ayahnya adalah seorang sekretaris di Karangasem Raad (peradilan adat). Sejak kecil hingga menjelang remaja, Gedong menempuh pendidikan di Klungkung, sampai akhirnya Gedong terpilih –bersama keempat gadis Bali lainnya– untuk menempuh studi di Algemeene Middelbare School di Yogyakarta, yang ia jalani selama periode Perang Dunia Kedua. Saat menempuh studi di Yogyakarta, Ibu Gedong bertempat tinggal di rumah keluarga Profesor Johannes Herman Bavinck, seorang pengajar di Sekolah Tinggi Theologia Yogyakarta (saat ini menjadi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta).[1]
Saat menjalani hidup bersama keluarga Bavinck inilah, Gedong terpikat dengan nilai-nilai Kristianitas yang menurutnya juga terdapat dalam Agama Hindu. Perjumpaannya dengan Kristianitas membuat Gedong muda memikirkan kembali perkembangan Hinduisme di Bali. Gedong muda sampai pada kesimpulan bahwa nilai-nilai spiritual, etis, dan demokratis yang ia temukan dalam Kekristenan juga terdapat dalam Agama Hindu. Gedong percaya bahwa akulturasi indah antara nilai-nilai Hinduisme dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Bali mampu membangkitkan transformasi spiritual dalam diri seseorang, di mana Hinduisme sebagai keyakinan yang mengandung kebenaran universal mampu mengimplikasikan nilai-nilainya ke dalam pengembangan kehidupan bermasyarakat. Gedong lantas menimba semangat ini pada satu sosok, yaitu Mahatma Gandhi. Mahatma Gandhi yang lahir dari tradisi Hindu namun memahami Kristianitas dengan sangat baik, menginspirasi Ibu Gedong untuk turut mengobarkan perjuangan melalui jalan nir-kekerasan (ahimsa) dan kebenaran (satyagraha).[2]
Selepas menamatkan studi di Christelijke Paedagogische Algemeene Academie di Jakarta, Gedong sempat mengajar di sebuah Sekolah Menengah Pertama di Singaraja. Gedong kembali menempuh studi di Universitas Udayana dan berhasil mendapatkan gelar BA dalam bidang Sastra Inggris pada tahun 1964. Seusai lulus dari Universitas Udayana, Ibu Gedong aktif mengajar sebagai dosen Bahasa Inggris di Universitas Udayana dan memberikan perhatian besar pada dunia pendidikan. Ibu Gedong prihatin akan gagalnya dunia pendidikan dalam membentuk insan muda yang berkarakter kuat. Oleh karena itu, Ibu Gedong berjuang agar pendidikan karakter diberikan sejak awal masa pendidikan siswa. Ibu Gedong terinspirasi dengan pemikiran Mahatma Gandhi yang melihat pendidikan sebagai upaya untuk menggali segala sesuatu yang baik dalam diri manusia.[3]
Perjumpaan yang cukup intens dengan nilai-nilai Kristianitas mendorong Ibu Gedong mencermati kembali cara beragama umat Hindu Dharma di Bali. Ibu Gedong melihat adanya kesamaan nilai-nilai dalam Kristianitas dan Hinduisme. Namun di lain sisi, Ibu Gedong juga melihat dan merasakan bahwa banyak umat Hindu yang terjebak dalam ritual-ritual dan sistem kasta, sehingga Hinduisme sebagai spiritualitas yang membawa kebaharuan hidup bagi para pemeluknya menjadi kehilangan makna. Meski memiliki pandangan yang kritis terhadap masyarakat Hindu Dharma di Bali, Ibu Gedong tetap menghargai cara beragama masyarakat Hindu Dharma sambil terus mengingatkan mereka akan pentingnya menghidupi spiritualitas perdamaian yang diajarkan dalam Agama Hindu sebagai sanatana dharma (kebenaran universal). Pemikiran Ibu Gedong ini lantas ia jadikan pergerakan dalam sebuah lembaga yang ia dirikan pada tahun 1970, yakni Yayasan Bali Santi Sena (Gerakan Perdamaian Masyarakat Bali).[4]
Komitmennya untuk menggali nilai-nilai Hinduisme dan mengembangkannya di tengah-tengah masyarakat melalui dunia pendidikan membuatnya mendirikan Ashram Gandhi di Desa Candidasa (wilayah timur Bali) pada tahun 1976. Ashram yang dikelola Ibu Gedong menyediakan pendidikan bagi anak-anak yatim dan anak-anak dari keluarga tidak mampu. Ashram ini terbuka bagi siapa saja dan dari segala latar belakang (agama, suku, kebangsaan, latar belakang ekonomi, dan sebagainya). Hal terpenting yang ingin dicapai Ibu Gedong dari pendirian Ashram ini adalah menghantar orang-orang untuk bisa menemukan kedamaian spiritual dan memperdalam keyakinan religiusnya dalam suasana yang meditatif.[5]
Upaya pencarian nilai-nilai kebajikan dalam tradisi religius lewat kegiatan meditatif di Ashram Gandhi Candidasa ini juga ditunjang dengan berbagai kegiatan bersama, misalnya doa bersama, yoga, dan meditasi. Murid-murid yang bergabung pada Ashram ini juga menjalani berbagai kegiatan pekerjaan tangan, misalnya kegiatan pertukangan, menganyam, mengobati, menjahit, bertani, dan mengembangkan kebudayaan. Ibu Gedong melandasi berbagai kegiatan ini dengan semangat svadeshi, di mana semangat religius harus membawa penganutnya untuk turut terlibat dalam kerja nyata bagi pengembangan masyarakat sekitar.[6]
Selain mengelola Ashram Gandhi Candidasa, Ibu Gedong meluangkan waktunya untuk membagikan nilai-nilai spiritual Agama Hindu dalam berbagai forum, baik di dalam maupun luar negeri. Secara berkala, Ibu Gedong menjadi pembicara dalam forum-forum yang diadakan Gandhi Peace Foundation di India. Atas usahanya untuk meneruskan semangat kebenaran universal dalam Agama Hindu yang sudah dimulai oleh Mahatma Gandhi itulah, Ibu Gedong mendapatkan penghargaan International Bajaj Award dari The Bajaj Foundation di Mumbai.[7]
Usaha Ibu Gedong yang ingin membagikan kebenaran universal itu nyatanya tidak berhenti hanya di daerah sekitar tempat tinggalnya. Pada tahun 1996, Ibu Gedong mendirikan Ashram Bali Gandhi Vidyapith di Denpasar, sebuah Ashram yang khusus mendidik mahasiswa di universitas lokal tentang nilai-nilai yang dikembangkan Mahatma Gandhi. Belakangan, Ibu Gedong juga mendirikan sebuah Ashram di Yogyakarta. Ashram ini sangat inklusif, di mana setiap orang dari berbagai latar belakang religius boleh singgah serta menimba dan mempelajari semangat damai yang diteruskan Ibu Gedong dari Mahatma Gandhi.[8]
[1] Yudi Latif, “Ketuhanan Ni Wayan Gedong”, 6 Januari 2017, diakses dari http://indonesiasatu.co/detail/ketuhanan-ni-wayan-gedong pada 12 Oktober 2020 pukul 21:37.
[2] Ruchi Agarwal, “Oka, Gedong Bagoes”, dalam Jesudas M. Athyal (ed.), Religion in Southeast Asia: An Encyclopedia of Faiths and Cultures, (Santa Barbara: ABC-CLIO, 2015), 267.
[3] Yudi Latif, “Ketuhanan Ni Wayan Gedong”, 6 Januari 2017, diakses dari http://indonesiasatu.co/detail/ketuhanan-ni-wayan-gedong
[4] Ruchi Agarwal, “Oka, Gedong Bagoes”, dalam Jesudas M. Athyal (ed.), Religion in Southeast Asia: An Encyclopedia of Faiths and Cultures, 268.
[5] Henry Thomas Simarmata, dkk. Indonesia Zamrud Toleransi, (Jakarta: PSIK-Indonesia, 2017), 106.
[6] Henry Thomas Simarmata, dkk. Indonesia Zamrud Toleransi, 106.
[7] Henry Thomas Simarmata, dkk. Indonesia Zamrud Toleransi, 106.
[8] Achmad Munjid, “Meneladani Spirit Anti Kekerasan Ibu Gedong”, dalam AIFIS Serial Discussion, Pluralisme dan Multikulturalisme di Indonesia, (Jakarta: AIFIS, 2005), 21