Ahmad Shalahuddin Mansur
Youth Interfaith Peacemaker Community
Menemukan Diri Otentik
Dalam khidmat kesunyian, manusia modern ini memiliki harapan untuk keluar dari segala jenis persoalan modern hari ini. Dari harapan tersebut, manusia dapat eksis sebagai dirinya sendiri, sebagai diri yang otentik. Tidak terjebak pada lautan kerumunan yang menenggelamkan diri yang otentik.
Eksis dalam sudut pandang Søren Kierkegaard, dimaknai sebagai hidup tidak hanya mekanis, namun juga sadar, personal dan subyektif. Eksis berarti hidup secara otentik. Level eksis manusia tidak sekadar ‘mengada’ (being), namun juga ‘menjadi’ (becoming). Dalam lintasan kehidupannya, manusia tidak sekadar hidup lalu mati. Tidak sekadar ada, tapi juga akhirnya menjadi diri yang otentik. Untuk menjadi otentik, manusia terlebih dahulu menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.
Dalam bukunya yang berjudul The Man’s for Meaning, Viktor Frankl menyebut kebahagiaan tertinggi manusia tidak terengkuh melalui pencapaian pada kehendak untuk bersenang (will to pleasure) atau kehendak utnuk berkuasa (will to power), tetapi dalam pencapaian kehendak untuk menemukan makna (the will to meaning). Makna ini yang tidak semua manusia dapat menemukannya, serupa dengan kebijaksanaan. Ia tertutup hijab yang membutuhkan perjuangan untuk menyingkapnya. Begitu juga dengan kebahagiaan.
Socrates memperkenalkan tentang konsep Eudaimonisme. Ini adalah pandangan hidup yang menganggap kebahagiaan sebagai tujuan segala tindak-tanduk manusia. Kebahagiaan yang dimaksud bukan hanya terbatas kepada perasaan subjektif seperti senang atau gembira sebagai aspek emosional, melainkan lebih mendalam dan objektif menyangkut pengembangan selurah aspek kemanusiaan suatu individu (aspek moral, sosial, emosional, rohani).
Dalam hidup yang isinya adalah rangkaian dari makna-makna, manusia mencoba menenun pengalaman dan refleksi secara silih-berganti. Makna hidup manusia tidak lepas dari tujuan yang bernama kebahagiaan atau istilah lainnya Eudaimonia. Dalam hal ini, kebahagiaan juga didapat ketika manusia dapat memahami dirinya.
Kebaikan Tertinggi atau Summum Bonum dapat dicapai dalam kesendirian dan renungan pikiran (kontemplasi/tafakkur). Kebaikan tertinggi itu adalah keutamaan tertinggi, karena ia berhubungan dengan akal. Kalau akal terlatih akan dapatlah akal itu memberi arah kepada kehidupan, sehingga mencapai keunggulan dan oleh sebab itu pula kebahagiaan dapat dicapai. Zeno, salah seorang filsuf Stoa—memberikan pesan yang sama, bahwa untuk menemukan kebahagiaan manusia harus menengok ke dalam diri.
Kontemplasi atau tafakkur adalah upaya manusia menengok dirinya, berziarahan ke dalam dirinya, mencari dirinya yang otentik, memahami sang diri, berdamai dengan egonya. Menemukan substansi, menyelami kesadaran terluhur. Menemukan diri yang berbahagia, menjadi manusia yang otentik.
Lanjutkan membaca: Menempuh Perjalanan Panjang Ke Dalam Diri Otentik