Ahmad Shalahuddin Mansur
Menempuh Perjalanan Panjang Ke Dalam Diri Otentik
Peregrino Ergo Sum, aku berziarah, maka aku ada. Keterlemparan manusia ke dalam dunia fana setelah keluar dari rahim ibu adalah awal dari peziarahannya. Setiap orang adalah peziarah atau musafir. Peziarahan dan pergulatan kita sebagai manusia dengan realitas dunia di sepanjang hidup dalam keterlibatan dengan persoalan-persoalan konkrit bersama sesama itulah yang akan membangun makna dan membentuk jati diri kita sebagai manusia otentik, sebagai ciptaan yang terarah ke Sang Pencipta—ilaihi raji’un.
Manusia tidak pernah dapat menghitung fasilitas yang dihabiskan selama berziarah di permukaan bumi ini. Begitu juga tidak dapat menghitung sudah berapa waktu yang dihabiskan dalam menempuh berziarah di atas muka bumi ini, seperti sulitnya menghitung jumlah pasir di lautan. Ziarah manusia di atas muka bumi hanyalah satu jenis ziarah yang fana atau sementara.
Ziarah yang luput dilakukan oleh manusia modern hari ini ialah berziarah ke dalam diri sendiri. Dalam jeda yang diambil untuk sejenak tafakkur, mencari dan mendengar suara dari dalam, berkhidmat dalam kesunyian. Menemukan kesejatian diri, mencari diri otentik di tengah banalitas penderitaan kehidupan yang tak pernah sedetik pun terhenti.
Dalam tafakkur, manusia menziarahi Ka’bah yang berada di dalam hatinya. Mengenai gambaran tentang Ka’bah, muslim harus menemukan jalan dan melakukannya perjalanan ke sana sendiri, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Syaikh Hamzah Fansuri dalam sajaknya:
Hamzah Fansuri di dalam Makkah.
Syaikh Hamzah Fansuri
Mencari Tuhan di Bait al-Ka’bah.
Di Barus ke Qudus terlalu payah.
Akhirnya dijumpa di dalam rumah.
Dalam proses tafakkur ini, manusia juga menempuh jalan menuju transendensi meniru apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW belasan abad yang lalu. Iqbal melukiskan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh yang spiritnya bersemayam dalam hati setiap orang Islam: Muhammad bersemayam dalam hati setiap Muslim. Gunung Sinai hanya sebutir debu dibanding rumahnya. Tempat tinggalnya Baitul Haram. Hidupnya diliputi keabadian.
Apa yang diteladankan Nabi Muhammad sebagai tokoh revolusi sosial yang memulainya dari revolusi spiritual adalah teladan paripurna ketika berhasil menemukan diri yang otentik di tengah logika kerumunan abad jahiliyah terdahulu. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa zaman ini juga adalah zaman jahiliyah meski dengan corak yang berbeda. Jika dikatakan demikian, sudah siapkah kita mulai mengambil langkah pertama berziarah ke dalam diri kita? Karena seribu langkah ke depan, dimulai dengan satu langkah pertama hari ini. Wallahu ‘alam.
*Ahmad Shalahuddin Mansur, lahir di Parepare 3 Juli 1993, hijrah ke Yogyakarta sejak 2012. Gemar membaca buku, bertemu orang baru, mendengarkan radio dan musik instrumental. Pernah nyantri S1 di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini lanjut nyantri S2 di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta. Menggerakkan dialog lintas iman di Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia dan menginisiasi Qur’anic Peace Study Club Yogyakarta. Sisanya menggumuli isu yudaisme, disabilitas, jender, seksualitas, spiritualitas lintas tradisi serta menyelami warisan leluhur Bugis-Makassar. Bisa menyambung rasa melalui instagram @ahmadshalahuddinm atau kirim surat ke ahmadshalahuddin.ips2@gmail.com.