Peregrino Ergo Sum [1]

Ahmad Shalahuddin Mansur
Youth Interfaith Peacemaker Community

“Menjauhlah dari kebijaksanaan yang tidak berbumbu tangisan. Dari filsafat yang tidak berbuah tawa-riang. Dan dari kebesaran yang tidak tunduk di depan anak-anak”.

Kahlil Gibran

Tanpa tangisan, kita tidak akan mungkin akan menjadi bijaksana. Jika kita merasa bijaksana, kebijaksanaan kita adalah kebijaksanaan yang tidak peka, bahkan cenderung arogan. Di satu sisi, kebijaksaan dibutuhkan oleh mereka yang hidupnya bermasalah. Mereka yang tidak bisa menangis, tidak akan bisa membaca penderitaan orang lain.

Filsafat yang tidak dapat tertawa, hanya akan membuatnya kehilangan kebijaksanaan. Filsafat membawa seseorang berpikir serius dan mendalam hingga ke akar. Orang yang mengerti filsafat, akan lebih mudah menertawakan dirinya. Mengerti ragam konsep-konsep, ia akan lebih mudah tertawa riang. Jika tidak membuat tertawa, filsafat hanya akan memperumit hidup.

Ketidaktundukan pada anak-anak adalah salah satu isyarat ketidakpekaan. Umumnya orang-orang akan menyayangi anak-anak. Ketika tidak ada ketundukan, itu sudah isyarat matinya hati. Ketiga ini adalah ciri dari matinya batin.

Kebijaksaan tidak lagi menjadi kebijaksanaan apabila ia menjadi angkuh untuk menangis. Terlalu serius untuk tertawa riang. Dan terlalu egois untuk melihat orang yang lain kecuali dirinya sendiri. Demikian penyair kelahiran Lebanon ini memberi tiga buah isyarat kepada kita semua untuk menemukan kebijaksaan yang tersembunyi di balik hijab kehidupan.

***

Pada era pencerahan, tersebutlah seorang pemikir bernama Søren Kierkegaard yang melancarkan berbagai rupa kritik. Ia mengkritik apa yang dia sebut sebagai “massing of society”. Mengkritik kecenderungan rasio yang dominan digunakan serta kerumunan (crowd) manusia dalam berbagai hal. Manusia yang bertingkah laku hanya mengikuti tren alias mengikuti logika kerumunan.

Dalam masyarakat kontemporer “the crowd”—kelompok sosial menenggelamkan individu, sehingga individu merasa “hampa” tanpa “the crowd”. Manusia berangsur menjadi makhluk anonim, sehingga menghilangkan individualitas manusia. Manusia menjadi tidak otentik. Logika kerumunan ini sempat dituturkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ketika berkata tentang kerumunan umat Islam yang seperti buih belaka, yang mudah terombang-ambing tak jelas arahnya.

Di era masyarakat pasca-kebenaran atau yang dikenal dengan istilah post-truth hari ini, manusia bergerak mekanis dan terjerembab ke dalam arus kerumunan. Manusia hidup secara mekanis dan dipenuhi oleh banyak sekali tuntutan-tuntutan hidup. Manusia hidup dengan segala rupa standar di luar dirinya. Hidup dalam standar di luar dirinya, menjelma menjadi orang lain.

Manusia seolah tanpa jeda. Tanpa tanda koma dalam hidupnya. Waktu demi waktu dijalani tanpa buah dalam hidupnya. Gerak hidup yang mekanis hanya akan mematikan hati manusia, tempat bahagia disemai dan harapan diletakkan, tempat Tuhan bersemayam. Dalam salah satu syairnya, Rumi pernah memberi peringatan: jangan membangun rumahmu di tanah orang lain, bekerjalah demi cita-citamu sendiri, jangan terjerat orang asing.

Dalam kerumunan, manusia dengan mudah kehilangan dirinya yang otentik. Arus informasi yang deras, deadline kehidupan yang memburu, kerusakan alam, degradasi moral dan masih banyak lagi yang mendeterminasi kehidupan manusia. Ibarat membaca buku, tanpa tanda baca seperti koma atau titik, bacaan tersebut akan sulit dimengerti. Begitu juga dengan hidup manusia. Membutuhkan jeda. Tanpa jeda, hidup hanya sekadar hidup. Nir makna.

Di tengah kebisingan masyarakat modern yang dijejali sampah suara serta esktasi komunikasi yang menghasilkan tsunami miss-informasi. Politikus, pedagang, polisi, ilmuwan hingga agamawan berlomba merebut pengeras suara dan berjualan “kecap nomor satu”. Nyaris tidak ada yang siap dan merelakan diri untuk mendengar orang lain, apalagi suara batinnya sendiri.

Batin manusia saat ini membutuhkan jeda. Keputusan yang harus mulai diambil untuk mulai mendengarkan suara dalam batin. Melakukan ziarah ke dalam diri, bukan ke luar. Mencari asal mula suara batin itu datang. Bukan ke gunung, bukan ke pantai, bukan ke gurun. Tapi ke dalam dirimu. Lihatlah, tengoklah jiwa yang sudah lama tak diajak bicara. Karena “semakin diam engkau, semakin engkau mendengar”, demikian Rumi mengingatkan.

Lanjutkan membaca: Tafakkur: Moment of Silence