Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Memperbaiki Karakter melalui Sejarah
Di antara hal penting yang tidak bisa kita ubah di dunia ini adalah masa lalu. Kita tidak dapat mengubah apa pun yang telah terjadi di masa lalu meskipun baru satu menit yang lalu, satu jam yang lalu, hari kemarin, minggu lalu, apalagi tahun lalu, terlebih saat kita terlahir ke dunia ini. Yang dapat kita lakukan adalah memaknai dan mengambil pelajaran atas apa yang telah terjadi di masa yang lalu, baik yang pernah terjadi dalam diri kita selaku personal maupun institutional. Bukankah ada peribahasa experience is the best teacher? Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman adalah peristiwa yang kita alami dan terjadi di masa lalu. Pengalaman yang menjadi guru adalah yang dapat kita ambil pelajaran untuk kepentingan saat ini dan hari esok. Pengalaman tidak akan menjadi guru kalau tidak direnungkan dan diambil pelajaran. Maka, beruntunglah kita yang mampu menjadikan masa lalu sebagai pelajaran.
“Pengalaman yang menjadi guru adalah yang dapat kita ambil pelajaran untuk kepentingan saat ini dan hari esok. “
Dr. Muqowim, M. Ag.
Setiap saat seharusnya kita melakukan perubahan mindset sebab waktu selalu berganti, tantangan pasti baru dan berubah. Hanya orang yang mempunyai growth mindset yang selalu melakukan perubahan seiring berjalannya waktu. Biasanya kita diingatkan untuk memperbaiki diri ketika terjadi proses pergantian tahun baru atau lebaran, padahal waktu selalu berubah, tinggal bagaimana meningkatkan kualitas diri setiap saat. Berkaitan dengan waktu yang selalu berubah ada baiknya kita merenungkan QS. Al-Hasyr ayat 18. Ayat ini sebenarnya terkait dengan proses yang indah dalam mengubah mindset. Alvin Toffler, seorang futurolog, menyebutkan ada tiga hal penting yang perlu kita lakukan dalam proses mengubah mindset dan ketiga hal ini sangat relevan dengan ayat tersebut, yaitu proses learning, unlearning, dan relearning. “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.”
Proses yang pertama adalah learning. Learning dimaknai sebagai proses belajar, mengkonstruksi (constructing), mengumpulkan pengetahuan dan pengalaman sebanyak mungkin untuk menghadapi situasi atau kehidupan nyata. Proses ini antara lain ditandai oleh banyaknya pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki selama hidup dalam bidang apa pun. Jumlah pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki bergantung pada usia kronologis masing-masing orang. Orang yang berusia 30 tahun tentu lebih banyak pengalaman dan pengetahuannya ketimbang orang yang baru berusia 20 tahun. Jack Canfield dalam bukunya The Aladdin Factor mengatakan bahwa setiap hari kita berpikir sebanyak 60 ribu hal. Ini berarti dalam satu tahun kita berpikir sebanyak 21.900.000. Jika usia kita 30 tahun, maka kita pernah berpikir tentang sesuatu sebanyak 657.000.000. Dahsyat sekali!!! Menurut Canfield dari jumlah tersebut 80%-nya negative thinking, berpikir negatif, baik terhadap orang lain ataupun terhadap diri sendiri. Padahal, dari negative thinking ini berdampak pada negative speaking, negative acting, negative habit, negative character, dan pada akhirnya negative destiny, nasib yang negatif. Dengan kata lain, nasib yang kita alami tidak lain adalah bermula dari apa yang kita pikirkan. Untuk mengubah nasib cukup dengan mengubah pikiran menjadi positive thinking. Bukankah dalam sebuah hadis qudsi Allah SWT berfirman, bahwa Aku [Allah SWT] seperti yang persangkakan hamba-Nya?
Antoni Dio Martin pernah mengatakan knowledge is not power, idea is power. Pengetahuan yang kita miliki bukanlah kekuatan, tapi pengetahuan yang berubah menjadi ide dan tindakanlah yang menjadi kekuatan. Jumlah pengalaman dan pengetahuan yang kita miliki tidak berbanding lurus dengan usia mental (mental age). Usia kronologis seseorang tidak berbanding lurus dengan usia mental. Ada orang yang usia kronologisnya sudah 50 tahun, namun cara berpikirnya [usia mentalnya] masih seperti orang yang berusia 20 tahun, masih berpikir tentang dirinya, orientasi dunia dan jangka pendek. Dunia justru sama sekali tidak mengantarkannya pada proses pembersihan hati. Sebaliknya, ada orang yang secara kronologis baru berusia 20 tahun, tapi usia mentalnya sudah 50 tahun. Dia lebih berorientasi jangka panjang, visioner, dan banyak investasi dari sisi karakter. Mengapa hal ini dapat terjadi? Sebab, orang yang kedua melakukan proses unlearning, yaitu dekonstruksi atas apa yang telah dia miliki dan alami, sedangkan orang pertama sebatas mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang tidak diolah menjadi ide dan tindakan.
Dalam QS. Al-Hasyr ayat 18, proses unlearning adalah kegiatan wal-tandzur, merenungkan, mengkaji, mengevaluasi dan menganalisis atas pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Banyaknya jumlah pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki tidak akan mengubah diri kita kalau tidak kita sadari, kita renungkan, dan kita jadikan sebagai gagasan untuk mengubah diri. Yang pertama perlu kita lakukan adalah melakukan self-awareness, kesadaran diri tentang semua yang pernah kita alami. Di antara cara paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah berhenti sejenak melihat apa yang dapat kita ambil nilainya dari kegiatan hari ini sejak bangun tidur sampai di tempat ini. Kadang kita hanya memikirkan atau merenungkan hal-hal yang besar seperti kecelakaan, banjir, gempa bumi atau bencana besar lain. Padahal, kita bisa belajar banyak dari seekor nyamuk. Ajahn Brahm, Kepala Vihara di Perth Australia dalam buku Si Cacing dan Petualangannya mengatakan bahwa kita bisa belajar kesabaran dari nyamak, bahkan kita dapat belajar menahan diri untuk tidak membunuh sesama makhluk. Bukankah kita diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam? Bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk binatang, tumbuhan, bahkan benda mati sekalipun. Dari proses self-awareness inilah kemudian muncul self-understanding, pemahaman diri tentang siapa kita, kelebihan dan kelemahan yang kita miliki. Dengan proses ini kita punya peta diri secara utuh sejak kita dilahirkan sampai saat ini. Dengan self-understanding ini kita akan mampu mengendalikan diri (self-control).
Dalam bahasa lain, unlearning bisa kita sebut proses muhasabatun-nafs. Tanpa proses ini tidak ada perbaikan apa pun yang kita lakukan. Bahkan, kita tidak sadar sedang melakukan apa saat ini. Allah SWT pun mengecam orang yang sedang shalat tanpa disertai kesadaran. Fa-wailulil-mushallin. Celakalah orang yang shalat, yaitu orang yang tidak sadar kalau sedang shalat, orang yang shalat tapi ingin dilihat orang lain, dan orang yang shalatnya tidak berdampak pada realitas hidup dengan memecahkan problem sekitar seperti membela kaum lemah dan menyantuni anak yatim. Surat al-Ma’un mengingatkan kita pentingnya mempunyai kesadaran diri atas apa yang sedang kita lakukan. Sebab, ketika kita tidak sadar sedang melakukan aktifitas apa sebenarnya kita ibarat robot yang dikendalikan oleh sesuatu di luar diri kita, termasuk alam bawah sadar kita. Dalam bahasa Sir Muhammad Iqbal, kita mempunyai kesadaran mistik, di mana kita diombang-ambingkan oleh cakrawala [realitas]. Seharusnya kita mempunyai kesadaran profetik di mana kita mampu mengendalikan cakrawala [realitas].
Jadi, dengan proses unlearning ini kita belajar memetakan [mapping] dan mengendalikan diri [self-control]. Kita tahu apa yang seharusnya kita lakukan untuk menjadi lebih baik. Kita mulai menyadari apakah kita sudah mempunyai visi hidup atau belum. Kita juga tahu apakah kita lebih berorientasi jangka pendek, di dunia, atau jangka panjang, di akhirat. Wal-akhiratu khairul-laka minal-ula. Dari proses kedua ini juga kita dapat menganalisis setiap yang kita alami dari aspek penyebab, akibat yang ditimbulkan, sampai jalan keluar yang dapat diambil. Proses kedua inilah yang kemudian mengantar kita pada proses ketiga yaitu relearning.
Relearning adalah proses rekonstruksi atau li-ghad dalam QS al-Hasyr ayat 18. Proses ini menjadikan kita punya dream, goal setting, cita-cita dan planning tentang apa yang akan dilakukan. Kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi dalam diri kita dalam 10 tahun yang akan datang. Kita diingatkan oleh seorang John Goddard yang di usia 15 tahun menuliskan mimpinya sebanyak 127 hal. Di usia 50 tahun lebih dari 100 mimpinya terwujud. Kita juga diingatkan oleh seorang Merry Riana dalam bukunya Mimpi Sejuta Dolar, sebuah buku kisah nyata meraih mimpi terbebas dari masalah keuangan di usia 30 tahun, ternyata di usia 26 tahun mimpinya terwujud dengan punya penghasilan sekitar 10 milyar per bulan. Bagaimana dengan kita orang Islam. Dalam QS al-Hasyr ayat 18 kita diingatkan untuk juga mempunyai mimpi hidup. Hanya saja, satu hal yang belum kita miliki, yaitu keyakinan. Keyakinan bahwa kita hebat, boleh bermimpi setinggi langit. Keyakinan bahwa kita diciptakan Allah SWT limited edition, satu-satunya di dunia. Tidak ada satu orang pun yang sama di dunia, sehingga tidak perlu ada saingan. Sebab, semua hebat di bidangnya masing-masing.
Napoleon Hill pernah mengatakan, jika kita ingin tiap hari ada keajaiban (miracle) dalam diri kita, maka milikilah satu hal, yaitu KEYAKINAN (belief). Keyakinanlah yang membuat kita mempunyai dream. Keyakinanlah yang membuat kita mantap melangkah sebab punya arah mau kemana. Semakin jelas mimpi kita, maka semakin yakinlah kita dalam menghadapi hidup. Langkah kita semakin jelas. Strategi juga makin jelas. Sebuah survey tentang mimpi menunjukkan, hanya 3% orang yang punya mimpi dan ditulis. Sepuluh tahun berikutnya kelompok ini menjadi orang yang sangat sukses. 10% orang punya mimpi tapi tidak ditulis, sepuluh tahun berikutnya menjadi orang sukses. 60% orang punya mimpi tapi tidak jelas, setelah sepuluh tahun menjadi orang biasa saja. Dan 27% orang tidak punya mimpi, ketika 10 tahun berikutnya dicek menjadi orang gagal. Secara personal dan institusional kita bisa mewujudkan mimpi kita asal ditulis dan diyakini berhasil. Dalam sebuah lembaga, apapun lembaga tersebut, asalah semua elemen mempunyai satu mimpi maka akan terwujud. Namun, jika hanya ada satu elemen yang punya mimpi dan yakin sedangkan elemen lain tidak yakin, maka mimpi tersebut sulit diwujudkan.
Keyakinan yang paling tinggi adalah bahwa semua mimpi kita tersebut akan diwujudkan Allah SWT sebab Dia berfirman berdoalah, mintalah pada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Berdoa adalah bermimpi. Alaisallahu bikafin ‘abdah. Bukankah Allah SWT sudah cukup bagi hamba-Nya untuk semua urusan. Dalam shalat kita juga pasti kita membaca iyyaka na’budu wa-iyyaka nasta’in, HANYA kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami minta pertolongan. Bukankah ada peribahasa, man proposes and God disposes? Hanya saja, selama ini kita lebih bergantung pada selain Allah SWT. Kita mengadu kepada-Nya hanya ketika tidak ada jalan keluar, baru ingat Allah SWT. Alangkah indahnya jika semua yang akan kita lakukan kita ajukan dulu, kita komunikasikan dulu, kepada Allah SWT. Ajukan apa pun permasalahan yang kita hadapi kepada Allah SWT, Dia pasti mendengar dan mengabulkan. Namun, coba kalau kita berkeluh kesah kepada orang, bisa-bisa kita malah bertambah masalah.
Tiga hal yang sebutkan di atas, mulai dari learning, unlearning dan relearning, merupakan proses mengubah mindset menjadi pribadi tercerahkan, unggul dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Apa yang kita alami saat ini, nasib kita hari ini tidak lain adalah wujud mindset yang kita miliki. Sebab, mindset merupakan seperangkat pola berpikir yang mempengaruhi sikap, tindakan, dan langkah di masa depan. Allah SWT telah memberikan cap, stempel hebat dalam diri kita, hanya saja kita belum mengambil dan meyakini cap tersebut. Dalam QS Ali Imran ayat 139, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman”. Ini merupakan “ayat anti galau”. Sebab, oleh Allah SWT kita tidak diperbolehkan merasa lemah [terhina] dan bersedih. Perasaan ini muncul sebagai perwujudan ketiadaan keyakinan [iman] dalam diri kita. Allah telah memberikan stempel “al-a’launa” derajat paling tinggi. Derajat ini dapat dicapai jika kita punya iman. Rhenald Kasali dalam bukunya Change Your DNA mengatakan jika kita ingin menjadi orang hebat, maka ubahlah pola berpikir kita dari “SEEING IS BELIEVING” menjadi “BELIEVING IS SEEING”. Sebuah rekomendasi yang sudah ada dalam al-Qur’an, hanya saja kita belum melaksanakannya. Ketiga hal cara mengubah mindset di atas sebenarnya merupakan penerapan prinsip KAIZEN, yaitu continuous quality improvement, peningkatan kualitas diri secara berkelanjutan. Dalam kaizen kita mengenal langkah PDCA, yakni Plan, Do, Check and Action yang seharusnya selalu kita laksanakan di mana pun berada, apa pun profesi kita. Hal yang sama juga dapat diterapkan dalam hidup kita, bahwa hidup harus terus berubah lebih baik. Maka, setiap pergantian waktu baik tahun, bulan, bahkan hari kita memulai babak baru mengubah nasib masa depan dengan mengubah mindset dengan proses self–awareness, self–understanding, self–control, dan self–changing. Dengan demikian, belajar tentang peristiwa masa lalu hakikatnya cara terbaik untuk memperbaiki karakter diri agar selalu menjadi lebih, selalu ada peningkatan kualitas, dan selalu ada kemajuan dari waktu ke waktu.
Lanjutkan membaca “Pembelajaran Sejarah Bebasis Multiple Intelligences“