Pada penyelenggaraan pendidikan terutama di madrasah, guru bimbingan dan konseling (GBK) mempunyai peran penting dalam membantu tercapainya perkembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir peserta didik (konseli). GBK menjalankan semua fungsi bimbingan dan konseling yaitu fungsi pemahaman, fasilitasi, penyesuaian, penyaluran, adaptasi, pencegahan, perbaikan dan penyembuhan, pemeliharaan, pengembangan serta advokasi. Peran ini akan mudah diwujudkan GBK jika mendapatkan dukungan dari kepala sekolah/madrasah. Kepala sekolah/madrasah mempunyai peran strategis dalam pembuatan kebijakan yang berpihak pada program GBK. Selain itu, GBK juga harus berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain seperti guru mata pelajaran, wali kelas, komite madrasah, orang tua peserta didik, dan pihak-pihak lain yang relevan. Hal ini disampaikan oleh Dr. Muqowim, M.Ag. dalam Webinar Nasional tentang Peningkatan Kompetensi Guru Bimbingan dan Konseling dalam Era New Normal yang diselenggarakan oleh Program Studi S2 BK UNY pada tanggal 26 Mei 2021.
Lebih lanjut pendiri Rumah Kearifan yang juga dosen FITK UIN Sunan Kalijaga ini mengatakan bahwa layanan bimbingan dan konseling di sekolah/madrasah mengembangkan potensi akal pikir, kejiwaan, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika dalam keluarga, sekolah/madrasah, dan masyarakat dengan baik dan benar secara mandiri dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis. Dengan membangun paradigma berpikir keagamaan dan kebangsaan bagi generasi penerus yang akan mengemban amanah dan tanggung jawab, maka keberlangsungan kedamaian dan sejarah peradaban bangsa negara serta kehidupan beragama Islam di Indonesia.

Dalam konteks masyarakat majemuk, seperti halnya di Indonesia, berpikir moderat dan lapang dada dalam beragama menjadi sebuah keniscayaan jika kita merindukan suasana penuh ketenangan dan harmoni sebagaimana dicita-citakan dalam ajaran Islam, yaitu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sikap moderat generasi bangsa hanya dapat dicapai jika guru bimbingan dan konseling atau konselor mengarahkan peserta didik/konseli agar mampu melihat persoalan dari beragam sudut pandang. Perspektif ini menuntut untuk mengesampingkan atau menghilangkan pola berpikir ad hoc, fragmental atau ego sektoral. Guru bimbingan dan konseling atau konselor harus memiliki kompetensi yang dapat mengarahkan peserta didik/konseli bersikap open-minded, lapang dada, toleran, rendah hati, menghargai orang lain. Dalam konteks beragama, mereka perlu melek nilai-nilai wasathiyyah.
Melek huruf wasathiyyah adalah kemampuan seseorang (terutama umat Islam) dalam merefleksikan pengetahuan dan pengalaman beragama yang telah dimiliki di masa lalu sehingga menjadi pelajaran, ide dan nilai yang menginspirasi dalam melangkah menjadi lebih baik di masa depan dalam menghadapi kehidupan agar lebih positif untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Dengan pengertian ini yang dimaksud dengan melek wasathiyyah bukan hanya orang yang kaya dengan keilmuan (kognitif) dan banyak pengalaman saja namun dia harus mampu merefleksikan keduanya (pengetahuan dan pengalaman) tersebut menjadi nilai dan gagasan yang transformatif baik secara personal maupun sosial.

Nilai ini terinspirasi dari Q.S. al-Baqarah ayat 134 tentang pentingnya umat Islam sebagai ummatan wasathan, yaitu umat yang mampu bersikap moderat dalam mensikapi berbagai persoalan. Nilai-nilai wasathiyyah sangat diperlukan dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Kementerian Agama, melalui Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) telah memperkenalkan nilai-nilai wasathiyyah atau yang sering disebut dengan NISWA (nilai-nilai Islam wasathiyyah). NISWA harus menjadi kesadaran setiap pemangku kepentingan (stakeholder) di madrasah, terutama GBK.
GBK perlu merefleksikan diri agar melek terhadap nilai wasathiyyah, sebab untuk menjadi orang yang melek terhadap nilai-nilai wasathiyyah tidak cukup hanya berbekal dengan pengetahuan tentang nilai-nilai tersebut, namun dia harus mampu merefleksikan nilai-nilai tersebut. Pengetahuan tentang nilai-nilai wasathiyyah seharusnya mampu menggerakkan untuk melakukan perubahan dan transformasi ke arah yang positif sehingga mampu menjadi agen wasathiyyah.
Di antara ciri seseorang yang sudah melek huruf wasathiyyah adalah jika dia mampu membangun kehidupan harmoni di masyarakat dan mampu menjaga dan melestarikan alam. Nilai-nilai wasathiyyah seharusnya menjadi ruh dalam setiap langkah. Di antara nilai-nilai wasathiyyah adalah tawassuth (tengah, tidak ke kanan atau ke kiri), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran, saling menghargai), musawah (kesetaraan), ishlah (konstruktif, membangun), syura (bermusyawarah, demokratis), i’tidal (adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya), aulawiyah (mendahulukan yang utama, prioritas), tahadlur (berperadaban, maju atau keadaban publik), tathawur (dinamis), ibtikar (inovatif, kreatif), muwathanah (nasionalis), dan qudwatiyah (keteladanan).