Refleksi atas Buku Mengulik Cara Sufi Mendidik Karya Ahmad Umam Aufi
Dr. Muqowim, M.Ag.
Rumah Kearifan dan FITK UIN Sunan Kalijaga
Mobile: +6281328292513, Email: muqowim@uin-suka.ac.id
Pengantar
Menurut WHO, globalisasi dimaknai sebagai ”the increased interconnectedness and interdependence of peoples and countries. It is generally understood to include two inter-related elements: the opening of international borders to increasingly fast flows of goods, services, finance, people and ideas; and the changes in institutions and policies at national and international levels that facilitate or promote such flows.” Dengan definisi ini, globalisasi ditandai oleh interconnectedness dan interdependence antar orang dan negara yang semakin meningkat di semua sektor kehidupan seperti barang, jasa, keuangan, orang, dan gagasan. Dengan globalisasi, batas antar negara semakin terbuka yang memungkinkan terjadinya arus pertukaran semua aspek tersebut. Hal ini didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi akibat revolusi industry 4.0 yang semua serba internet (internet of things dan internet of people).
Setidaknya ada delapan aspek kehidupan yang terdampak arus globalisasi yaitu ekonomi, keuangan, budaya, politik, sosiologi, teknologi, geografi dan ekologi. Globalisasi bidang ekonomi antara lain ditandai oleh perkembangan sistem perdagangan yang melibatkan banyak aktor transnasional seperti perusahaan atau LSM. Globalisasi aspek keuangan terkait dengan meningkatnya sistem keuangan global seperti bursa efek keuangan internasional. Perubahan kebijakan aspek keuangan di sebuah negara dapat berdampak ke negara lain. Globalisasi budaya merujuk pada interpenetrasi budaya di mana bangsa-bangsa di dunia dapat mengadopsi prinsip, kepercayaan, dan kebiasaan bangsa lain. Hal ini dapat berdampak pada hilangnya identitas budaya tiap bangsa yang unik jika dibandingkan dengan bangsa lainnya. Globalisasi bidang politik berkaitan dengan perkembangan dan pengaruh berbagai organisasi tingkat dunia yang semakin tumbuh seperti PBB dan NGO internasional.
Globalisasi sosiologi terkait dengan pergerakan informasi yang real-time sebab terkoneksi melalui perkembangan IT sehingga mampu mempengaruhi peristiwa di tempat lain. Setiap orang terhubung secara global melalui jaringan internet yang membawa banyak kemudahan seperti kecerdasan buatan. Globalisasi teknologi ditandai oleh kemajuan teknologi digitas dengan berbagai platform seperti FB, IG, Skype dan Youtube. Globalisasi geografi antara lain ditandai oleh semakin kaburnya batas-batas geografi antar negara dengan berbagai kemudahan transportasi dan penerbangan seakan tanpa ada halangan. Sementara itu, globalisasi ekologi berhubungan dengan gagasan tentang planet bumi sebagai single global entity, setiap orang harus mempunyai kesadaran tentang pentingnya merawat planet bumi secara bersama-sama, sebab sebuah kerusakan di sebuah negara dapat berdampak bagi negara lain. Terkait dengan dampak globalisasi terhadap semua aspek kehidupan di atas, konsep pendidikan seperti apa yang mampu menyiapkan setiap generasi untuk menjadi pribadi tercerahkan dan mencerahkan sekitar? Sosok pribadi seperti apa yang mampu melakukan self-transformation dan social transformation? Di tengah contending identities di era globalisasi, pendekatan apa yang paling tepat dipraktikkan dunia pendidikan untuk menyiapkan setiap individu yang mampu menjadi diri sendiri yang mempunyai identitas kuat namun pada saat yang sama mampu membangun komunikasi dan kolaborasi dengan identitas lain secara global? Sistem pendidikan seperti apa yang paling tepat untuk menyiapkan generasi muda yang mampu menjadi pribadi positif dan menebarkan kualitas positif secara mondial? Beberapa poin ini coba kita kaitkan dengan pemikiran Ahmad Umam Aufi yang terdapat dalam buku Mengulik Cara Sufi Mendidik: Pendidikan Sufistik Kiai Sholeh Darat.
Lebih Dekat dengan Buku dan Pengarangnya
Terkait dengan berbagai tantangan globalisasi di atas, penerbit Lawwana Semarang pada Maret 2021 menerbitkan buku Mengulik Cara Sufi Mendidik, Pendidikan Sufistik Kiai Sholeh Darat karya Ahmad Umam Aufi, selanjutnya disingkat AUA. Buku setebal 142 ditambah xvi, termasuk kata pengantar penulis, pengantar ahli dan daftar isi, ini terdiri dari tiga bagian selain prolog dan epilog. Prolog, lebih mirip sebagai pendahuluan, berisi argumen penulis mengapa perlu membahas pendidikan sufistik yang ditawarkan oleh Kiai Sholeh Darat, selanjutnya kadang disingkat dengan KSD. Penulis mencoba mengkaji pemikiran ulama abad ke-19 dari Semarang tersebut sebagai salah satu solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan yang muncul pada era globalisasi.
Bagian pertama buku ini membicarakan tentang profil Kiai Sholeh Darat yang disebut penulis sebagai Ghazali Kecil, sebab pemikiran tasawufnya banyak dipengaruhi oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazzali, terutama Ihya’ ‘Ulum al-Din. Di bagian ini AUA mem-profiling KSD melalui tiga hal yaitu KSD sebagai putra pejuang melawan penjajah Belanda, KSD sebagai santri pengelana yang mencari dan mengembangkan ilmu ke bagai tempat baik di tanah Jawa maupun sampai ke Jazirah Arab, dan KSD sebagai Ghazzali Shaghir yang berjihad melalui pena sehingga menghasilkan banyak karya tulis seperti Alfiyat al-Tauhid, al-Mahabbah wa al-Mawadda fi Tarjamah Qaul al-Burdah, Faid al-Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan, Fashalatan, dan Hadits al-Ghauthi lan Syarah Barzanji. Melalui bagian ini penulis mencoba menghadirkan sosok KSD sebagai kiai pejuang, pengelana, international network, dan penulis productive dan prolific.
Pada bagian kedua, AUA memfokuskan kajian pada pemikiran KSD tentang pendidikan. Ia menekankan pada tiga pembahasan penting yaitu menjadi manusia sufistik, pemikiran KSD tentang ilmu dan pandangan tentang pendidikan. Ada tiga poin pembahasan tentang manusia yang dikupas penulis yaitu terkait esensi manusia, eksistensi manusia, dan kewajiban manusia. Terkait dengan pemikiran KSD tentang ilmu penulis juga menekankan pada tiga hal yang dianggap penting yaitu hakikat ilmu, klasifikasi ilmu, dan urgensi ilmu. Sementara itu, berkaitan dengan aspek pendidikan, ada empath al yang dikaji yaitu pengertian pendidikan sufistik, tujuan pendidikan sufistik, subyek pendidikan, dan kurikulum pendidikan.
Sementara itu, bagian ketiga dari buku yang berasal dari penelitian tesis ini menekankan tentang pendidikan sufistik dalam panggung globalisasi. Melalui isu ini, ada tiga isu yang ditekankan yaitu mengenal globalisasi, masalah pendidikan yang ditimbulkan, dan pendidikan ala sang sufi di panggung globalisasi. Terkait dengan isu ketiga, ada empat hal yang yang menjadi perhatian penulis yaitu tujuan pendidikan, aktivitas pendidikan beserta materinya, metode pendidikan, dan kesetaraan dalam pendidikan.
Akhirnya, bagian epilog dari karya ini berisi kesimpulan penulis tentang beberapa persoalan yang diajukan pada bagian prolog. Menurut AUA, “pendidikan sufistik KSD merupakan sebuah konsep pendidikan yang menempatkan posisi pendidikan sebagai salah satu jalan menuju Tuhan (liqa’illah)”. Yang menjadi landasan pendidikan sufistik adalah akhlak sebagai dampak memperbaiki nafs dan pembersihan qalb dari berbagai hal yang dapat menghancurkan (muhlikat). Tujuan utama dari model pendidikan ini, menurut penulis, adalah “membentuk manusia yang ‘arif billah”. Dihadapkan pada konteks globalisasi, model pendidikan sufistik KSD dianggap aktual sebab dampak yang ditimbulkan era ini hanya dapat diatasi dengan membentuk manusia yang berorientasi pada akhlak dengan spiritualitas tinggi, bukan berorientasi pada wilayah profane yang selalu berubah dan nisbi. Dunia seharusnya hanya dijadikan sebagai media untuk lebih mendekatkan diri pada Allah, bukan menghalangi “perjumpaan dengan-Nya”.
Minat penulis, Ahmad Umam Aufi, terhadap pemikiran pendidikan sufistik Kiai Sholeh Darat agaknya tidak dapat dilepaskan dari latar belakang intelektual yang banyak dihabiskan di pesantren, yakni Pesantren Futuhiyah Mranggen Demak. Dia juga menempuh peendidikan pesantren di Pesantren Al-Anwar tahun 2005-2011. AUA melanjutkan studinya di UIN Walisongo Semarang sampai jenjang doktoralnya (in-process). Dari sekilas perjalanan intelektualnya ini, wajar jika penulis sangat berminat dan familier dengan pendidikan Islam yang diwarnai oleh khasanah dan tradisi keilmuan klasih terutama pesantren. Kajian hasil riset tesis tentang pemikiran KSD ini adalah salah satu bukti minat akademik penulis.
Mengenal Pemikiran Pendidikan Kiai Sholeh Darat
Ada empat poin menarik yang perlu kita tekankan dari karya AUA terkait pemikiran pendidikan sufistik KSD. Pertama, menurut AUA, “pendidikan sufistik menurut KSD merupakan sebuah jalan (thariqat) dari berbagai jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh manusia (salik), yang menjadi seorang murid, dalam bimbingan seorang guru dengan mempelajari materi-materi dan metode-metode tertentu untuk menjadi manusia bertakwa dan mampu mengendalikan hawa nafsunya.” Pengertian ini penting dijadikan sebagai pijakan untuk memahami dan mengimplementasikan konsep pendidikan sufistik dalam realitas. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan jalan menuju Allah dengan semua komponen yang ada sebab pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah sistem.
Kedua, menurut AUA, tujuan utama pendidikan sufistik adalah membentuk moralitas dan akhlak. Hal ini mengacu pada al-Ghazzali sebagai “guru” KSD juga. Menurutnya, tujuan pertama pendidikan adalah mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tujuan kedua adalah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kebahagiaan tertinggi adalah ketika manusia berjumpa dengan Allah, liqaillah. Untuk mewujudukan hal ini proses pendidikan harus membiasakan setiap peserta didik dengan pembersihan hati, tazkiyatun-nafs. Menurut Simuh, tahapan pembersihan hati ini disebut dengan via purgativa. Setelah kita mampu membersihkan semua kotoran hati dari hal-hal negatif maka langkah berikutnya adalah via contemplative, banyak mengingat Allah dengan berdzikir. Jika hal dapat kita lakukan maka tahap berikutnya adalah via illuminative, mukasyafah, kita terhubung dengan Sang Pencipta, Allah. Tahapan pertama sering disebut dengan takhally, tahap kedua dengan tahally, dan tahap terakhir dengan tajally.
Ketiga, menurut AUA, subyek pendidikan, guru dan murid, harus diperhatikan agar pendidikan sufistik dapat diwujudkan. Menurutnya, guru mempunyai peran penting dalam proses pendidikan sufistik sebab murid yang belajar tanpa bimbingan guru dapat mengakibatkan salah arah alias tersesat. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh gagasan al-Ghazali bahwa murid di hadapan guru laksana mayat, “koyo dene mayit ono ing ngarepe wongkang ngedusi”. Guru yang dimaksud di sini adalah orang yang mempunyai kualitas ‘arif billah, memahami, menghayati dan mengamalkan ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu di antara adab seorang guru menurut KSD adalah mempunyai welas asih, berniat taqarrub ilallah, tidak mencela ulama lain, mengamalkan ilmunya, menampilkan lebahagiaan saat muridnya faham, dan bersikap halus dan tawadlu’.
Sementara itu, untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah seorang murid harus mempunyai adab. Dari empat puluh adab yang ditawarkan KSD di antaranya adalah membersihkan nafsunya diri perbuatan yang buruk menurut syara’, mengurangi ketergantungan terhadap dunia, jauh dari rumah dan keluarga, tidak sombong, belajar ilmu terpuji, belajar pada guru yang sempurna ilmunya, bersikap sopan, menempati posisi dekat dengan guru saat belajar, tidak menengok ke kanan-kiri kecuali ada kepentingan, bersungguh-sungguh, berkasih sayang terhadap guru dan teman, menuliskan ilmu yang didengar, tidak enggan belajar dengan orang yang lebih rendah dari aspek usia dan nasab, dan mengikuti Rasulullah.
Keempat, kurikulum pendidikan sufistik didasarkan pada jenis ilmu yang harus dipelajari seperti ilmu tauhid, ilmu ahwal al-qulub, dan ilmu syariat. Setelah mempelajari ketiga ilmu tersebut seorang murid harus mempelajari ilmu lain yang disebut ilmu fardlu kifayah yaitu ilmu al-Qur’an dan tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, dan ilmu ushul fikih. Hanya saja, sebelum mempelajari keempat jenis ilmu tersebut kita harus menguasai delapan ilmu adab yaitu nahwu, sharaf, lughah, badi’, bayan, ma’ani, ‘arudl, dan qawafi. Selain ilmu-ilmu tersebut, menurut KSD kita juga perlu mempelajari ilmu yang membuat kehidupan di dunia menjadi mudah seperti kedokteran, matematika, dan ilmu yang terkait dengan profesi seperti menjahit, bertani, dan ilmu pandai besi.
Terkait dengan metode pembelajaran, menurut peneliti, KSD menawarkan tiga metode yaitu ceramah, tanya jawab, dan perbandingan kitab. Dari tiga metode ini dapat kita pahami bahwa KSD termasuk pemikir demokratis karena mmebuka sikap terbuka terhadap pandangan lain yang berbeda. Metode tanya jawab tidak akan dilakukan jika seorang guru bersikap tertutup dan otoriter. Sementara itu, metode perbandingan kitab dapat membiasakan murid mempunyai perspektif atau sudut pandang yang beragam dengan membaca rujukan lain. Hal ini juga diperlukan untuk mengetahi kekuatan sumber dan sanad keilmuan yang ditekuni, sebab jika keliru merujuk sumber akan berdampak pada kekeliruan memahami pandangan orang lain. Dalam konteks sekarang hal ini biasa disebut dengan pendekatan interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Dalam konteks sufistik, belajar dari sumber dan guru yang tidak jelas tidak akan mengantar kita menuju jalan Allah. Akhirnya, di bagian ini penulis membahas tentang evaluasi pendidikan. Pendidikan dianggap berhasil jika seorang murid tidak mengikuti hawa nafsu dan syahwatnya, tidak bergantung pada hal-hal duniawi, lebih mengedepankan ilmu fardlu ‘ain, selalu mengerjakan shalat, dan melaksanakan shalat sunah rawatib dan amalan sunah yang lain. Beberapa hal ini juga harus dilakukan dengan hati bersih dan berharap hanya kepada Allah. Dalam konteks pendidikan saat ini, model evaluasi yang menekankan dimensi akhlak yang menuju pada Allah menjadi tantangan berat sebab orientasi pendidikan lebih menekankan aspek formalisme dan struktural.
Membumikan Pemikiran Kiai Sholeh Darat di Era Globalisasi
Di antara poin penting dari pemikiran KSD, sebagaimana ditawarkan oleh penulis, adalah pendidikan sufistik. Tujuan utama pendidikan adalah membentuk manusia yang ‘arif billah. Orang yang mempunyai kualitas ini harus banyak melakukan perjumpaan dengan Allah, liqaillah. Jika dipahami secara luas ‘arif billah artinya kita mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Allah. Untuk mampu memahami Allah kita perlu banyak membaca tanda yang sudah Dia ciptakan baik berupa kitab suci, sebagai ayat qauliyyah, maupun alam semesta, ayat kauniyyah. Semua tanda yang terdapat dalam dua ayat tersebut seharusnya kit abaca dengan kesadaran ketuhanan. Karena itu, membaca tidak terbatas pada dimensi teks namun juga konteks. Kesadaran tentang Allah inilah yang dapat membuat kita lebih mengetahu, memahami, menyadari dan menghayati adanya Allah.
Pengetahuan kita tentang kedua ayat di atas menjadikan kita dapat menjalankan dua fungsi sebagai ‘abdullah dan khalifatullah. Fungsi pertama antara lain diwujudkan melalui penghambaan dan penyerahan diri kita sebagai hamba-Nya dengan sepenuh hati, sedangkan fungsi kedua menjadikan kita mampu menjaga, merawat dan melestarikan alam serta membangun harmoni antar sesame umat manusia. Di era globalisasi, di mana kemajuan TIK sangat revolusioner, kedua fungsi tersebut mendapatkan tantangan berat kecuali bagi orang yang mempunyai kesadaran ketuhanan dan kesadaran kenabian. Kesadaran ketuhanan menjadikan kita mampu menampilkan diri sebagai pribadi berkakhlak mulia di mana pun kita berada. Sementara itu, kesadaran kenabian menjadikan kita mampu menjadi penentu arah peradaban, melalui pendidikan, dengan prinsip humanisasi, liberasi dan transendensi.
Untuk mewujudkan kedua jenis kesadaran tersebut, gagasan KSD harus dipahami dan diimplementasikan dalam konteks pendidikan. Tantangan terberat untuk mengimplementasikan hal ini adalah mengubah mindset dari fixed mindset menuju growth mindset, mengubah dari tradisi formalis-administratif menjadi lebih substantif-esensial. Sejauh ini kita banyak menjumpai praktik dan proses pendidikan lebih menekankan pada dimensi pertama daripada kedua. Hal ini dapat dimengerti sebab sebagian praktisi pendidikan lebih menekankan wilayah hilir daripada wilayah hulu dari dunia pendidikan. Wilayah pertama lebih fokus pada hal yang tampak seperti dokumen, fasilitas, ijazah, nilai (angka), teknis, dan struktur. Sementara itu, wilayah kedua lebih menekankan pada aspek filosofis, hakikat, esensi, paradigma, karakter, value, dan prinsip. Apa yang ditawarkan oleh KSD adalah wilayah kedua, hakikat pendidikan adalah perbaikan karakter sebagaimana misi Rasulullah. Hal ini hanya dapat dilakukan jika semua praktisi pendidikan mampu memahami hakikat pendidikan dan menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang ahsani taqwim, bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kualitas karakternya, bukan dimensi lahiriyah-fisikal.
Jika gagasan KSD akan dibumikan dalam proses pendidikan, maka yang harus dilakukan adalah shifting paradigm, mengubah paradigma dalam pendidikan. Pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi yang ‘arif billah. Paradigma ini perlu diturunkan kedalam aspek yang lebih praktis terutama kebijakan dan program. Semua kebijakan seharusnya diorientasikan untuk menghasilkan pribadi tersebut baik kebijakan pada aspek kurikulum, fasilitas, anggaran, sumber belajar, jaringan, dan SDM. Selain kebijakan, semua bentuk program yang menurunkan aspek kebijakan harus mengarah pada terbentuknya peserta didik yang ‘arif billah juga. Hal ini dapat dilakukan jika SDM yang tersedia mempunyai kesadaran ketuhanan dan kenabian. Semua pendidik dan tendik, khsususnya, harus menjadi teladan yang menampilkan diri sebagai sosok ‘arif billah, sebab “hanya orang yang punya yang dapat memberi”. Bagaimana bisa kita mengantarkan peserta didik mengenal Allah jika kita tidak mengenal Allah. Karena itu, penyiapan sumber daya manusia menjadi poin penting untuk membumikan gagasan KSD.
Catatan Penutup
Berdasarkan bacaan singkat terhadap buku karya AUA di atas, ada beberapa poin yang dapat diambil. Pertama, karya ini penting dan layak dibaca dalam konteks disrupsi saat ini di mana perubahan secara cepat terjadi di semua aspek kehidupan. Kita dihadapkan pada dua pilihan, apakah kita sebagai pihak yang mengubah (disrupting) ataukah yang diubah (disrupted). Yang bagus adalah pilihan pertama, kita sebagai agen penggerak perubahan, sebagai positive trendsetter. Untuk mewujudkan hal ini, di antara syarat penting tepat adalah memperkuat karakter atau akhlak. Hal ini relevan dengan tawaran dari KSD tentang pentingnya akhlak. Kedua, buku ini memberikan banyak lontaran positif meskipun sebagian masih bersifat global. Karena itu, kajian lebih jauh terhadap kandungan buku ini perlu dilakukan bagi siapa pun yang mempunyai perhatian dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan karakter. Di antara isu yang dapat ditindaklanjuti adalah bagaimana mengubah mindset para praktisi pendidikan agar menjadikan spiritualitas (sufistik) bukan sebagai wacana semata namun menjadi sebuah aksi nyata.
Hal lain yang perlu dikaji lebih jauh adalah bagaimana membumikan pendidikan sufistik ini melalui semua jenis pendidikan baik formal, informal maupun non-formal. Tiga pusat pendidikan tersebut seharusnya menjadi tempat pembiasaan akhlak yang terintegrasi dan sinergis. Saat ini, ketiga pusat tersebut mendapatkan tantangan besar dengan hadirnya kecerdasan buatan melalui revolusi industri yang tampak dari smartphone dengan berbagai kemudahan dan kecanggihan yang ditawarkan sehingga setiap orang menjadi global citizen. Jika kita tidak membekali setiap orang dengan karakter yang terpuji, maka kita akan mudah dipengaruhi oleh alat ciptaan manusia tersebut. Karena itu, Society 5.0 sebenarnya merupakan bentuk tawaran agar setiap orang menyadari bahwa seluruh kemajuan teknologi dan ekonomi yang dikembangkan manusia seharusnya menempatkan manusia sebagai subyek utama, bukan sebagai obyek, agar tidak terjadi proses dehumanisasi.
Akhirnya, selamat menjadikan karya AUA di atas sebagai teman dialog untuk mengambil inspirasi agar kita mampu menawarkan solusi alternatif dari berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan sehingga mampu menghasilkan pribadi yang humanis-transendental. Ketika membaca buku, kita perlu ingat salah satu ungkapan dari Stephen R. Covey, “reading without reflecting is like eating without digesting”, membaca tanpa disertai aktifitas merefleksikan hasil bacaan sama dengan makan tanpa disertai dengan pencernaan. Apa yang terjadi jika kita tidak merefleksikan hasil bacaan? Bacaan tersebut hanya berhenti menjadi kumpulan data yang tidak menghadirkan banyak ide, gagasan dan inspirasi menuju perubahan. Selamat membaca buku AUA yang banyak memberikan inspirasi di era disrupsi saat ini.