Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Integrasi Nilai Agama dan Umum di Perguruan Tinggi
Sebelum membahas tentang integrasi nilai rahmatan lil-‘alamin melalui pembelajaran, ada baiknya kita mengingat kembali tentang wacana dan implementasi integrasi di perguruan tinggi khususnya di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia terutama dikaitkan dengan transformasi kelembagaan dari IAIN menjadi UIN di berbagai tempat seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, hanya untuk menyebut beberapa saja sebab saat ini lebih dari 10 PTKIN melakukan proses transformasi tersebut. Di antara isu yang ramai dibicarakan adalah tentang paradigma integrasi sebagai dasar pengembangan keilmuan dalam alih status tersebut selain perubahan legal-formal-administratif. Untuk kasus UIN Sunan Kalijaga khususnya, perubahan kelembagaan dimulai dengan membangun suprastruktur terutama shifting paradigm dalam hal landasan filosofis dengan paradigma integratif-interkonektif. Paradigma ini sebenarnya terkait dengan relasi antara ilmu pengetahuan dan agama yang dalam konteks sejarah berjalan secara dinamis. Dalam pandangan Ian Barbour paling tidak ada empat relasi dari kedua entitas tersebut yakni konflik, independen, dialog, dan integrasi.
Relasi pertama, pola konflik, ditandai oleh adanya ketegangan dari kedua kubu yang direpresentasikan oleh ilmuwan (saintis) dan agamawan. Dalam relasi pertama ini kedua belah pihak cenderung mengklaim pandangannya sebagai lebih benar dan, pada saat yang sama, menyalahkan pihak “lawan”. Hal ini antara tercermin dari perdebatan tentang bentuk bumi menurut agamawan dan ilmuwan. Bagi sebagian agamawan bumi itu datar, sementara bagi saintis bumi itu bulat. Perdebatan ini muncul karena sudut pandang keduanya berbeda, yang satu mengacu pada kitab suci yang cenderung dogmatis sedangkan yang lain mengacu pada ilmu pengetahuan yang perlu pembuktian baik melalui pengamatan, eksperimen atau eksplorasi langsung. Perdebatan lain juga tercermin dari pandangan tentang pusat tata surya antara agamawan dan saintis. Yang satu cenderung berpandangan geosentris, bumi sebagai pusat dalam sistem tata surya, sedangkan yang lain heliosentris, matahari sebagai pusatnya.
Relasi kedua antara agama dan sains adalah pola independen. Kalau relasi pertama cenderung konflik dan kedua kubu tidak dapat dipertemukan, maka relasi independen kedua belah pihak mengambil posisi independen, bahwa masing-masing entitas mempunyai wilayah sendiri-sendiri. Relasi kedua ini berpendapat bahwa agama dan sains mempunyai wilayah berbeda dan cenderung tidak saling menyapa. Ketika berbicara tentang agama, maka tidak perlu membawa sains. Sebaliknya, ketika berbicara tentang sains tidak pada tempatnya membawa-bawa nama agama. Hal ini terjadi sebab yang pertama berada dalam konteks langit, normatif, ideal dan sakral, sedangkan yang kedua berada pada wilayah bumi, historis, faktual dan profan. Di antara contoh isu dalam konteks ini adalah tentang teori asal-usul makhluk hidup, kaum ilmuwan menggunakan teori evolusi sedangkan agamawan menggunakan teori kreasionis. Tentu relasi kedua ini tidak sepenuhnya mencerminkan semua agamawan dan saintis.
Jika relasi kedua cenderung independen antara domain agama dan sains, maka pola relasi ketiga bersifat dialog. Kedua belah pihak beranggapan bahwa wilayah agama dan sains dapat didialogkan, didiskusikan, dan saling melengkapi. Ketika membahas berbagai persoalan, kadang agama tidak cukup bisa menjelaskan secara rasional. Akibatnya, umat beragama tidak memperoleh jawaban yang cukup meyakinkan untuk memenuhi rasa keingintahuan mereka. Sebaliknya, temuan saintis tentang ilmu pengetahuan kadang perlu diperkuat oleh agamawan yang mendasarkan diri pada ajaran agama. Bagi pemeluk agama, mereka semakin yakin dengan ajaran agama atau lebih memahami kebesaran Tuhan melalui temuan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, munculnya fenomena gempa vulkanik antara lain tampak dari penjelasan ayat agama, terutama Islam, yang menyatakan bahwa gunung hakikatnya bergerak. Sementara menurut saintis, terjadinya gempa vulkanik antara lain karena terjadinya pergeseren lempeng bumi yang mengakibatkan gesekan antar lempengan sehingga dapat menimbulkan efek gempa.
Sementara itu, relasi terakhir, yakni model integrasi antara agama dan sains, berpandangan bahwa pada hakikatnya relasi kedua matra tersebut bersifat integratif. Munculnya banyak temuan sains dan teknologi merupakan wujud inspirasi dan implementasi dari ajaran agama. Begitu juga sebaliknya, bahwa kajian intensif terhadap ajaran agama dapat memunculkan berbagai temuan sains. Dengan demikian, dalam konteks ini berlaku sebuah ungkapan, semakin dalam melakukan kajian terhadap ajaran agama, maka semakin maju ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, semakin jauh seseorang dari ajaran agama, maka sains otomatis semakin mundur. Hal ini mengingatkan kita tentang ungkapan George Sarton dalam bukunya Introduction to the History of Science, bahwa di antara penyebab kemajuan sains dan teknologi dalam peradaban Islam “because of the gravity of the Qur’an”. Sains dan teknologi dalam konteks peradaban Islam, menurut Sarton, karena saintis muslim terinspirasi oleh ajaran al-Qur’an. Relasi keempat antara agama dan sains di atas menjadi salah satu pertimbangan terjadinya transformasi kelembagaan dari IAIN menjadi UIN di berbagai tempat di Indonesia. Yang menjadi persoalan adalah model integrasi seperti apa yang diterapkan? Agaknya tidak ada model tunggal tentang konsep dan implementasi paradigma integrasi di PTKIN (UIN). Sebagai contoh UIN Sunan Kalijaga, dipelopori oleh M. Amin Abdullah, menawarkan jaring laba-laba (spiderweb), di mana sumber ilmu pengetahuan dan teknologi dalah al-Qur’an dan Hadis. Kedua sumber utama ajaran Islam inilah yang seharusnya menginspirasi munculnya berbagai temuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh PTKIN tertua di Indonesia ini pasca-transformasi kelembagaan ke UIN tahun 2004. Di antara model theory of knowledge (epistemologi) yang dikembangkan di universitas ini adalah model M. ‘Abid al-Jabiry yakni bayani, burhani dan irfani. Epistemologi bayani menjadikan teks (nash al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber pengetahuan, sedangkan menurut burhani, sumber ilmu pengetahuan adalah realitas (al–waqi’). Sementara itu, menurut epistemologi ‘irfani, yang menjadi sumber ilmu pengetahuan adalah intuisi (dzawq). Ketika model epistemologi ini seharusnya didesain secara komprehensif dalam berbagai level pengembangan di UIN Sunan Kalijaga seperti level kebijakan, program, SDM dan praktiknya khususnya dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
“Semakin dalam melakukan kajian terhadap ajaran agama, maka semakin maju ilmu pengetahuan dan teknologi.”
Dr. Muqowim, M. Ag.
Melanjutkan membaca Nilai Rahmat bagi Semesta Alam sebagai “Connecting Value”