Sekali Jalan, Tiga Pulau Terlampaui [3]

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Pentingnya Multiliteracies
Salah satu prasyarat yang diperlukan untuk hidup di era disrupsi saat ini, terutama disrupsi karena pengaruh Revolusi Industri 4.0 maupun pandemi COVID-19 adalah kemampuan melihat semua persoalan dan tantangan dari berbagai sudut pandang atau perspektif. Menurut paradigma Pendidikan 4.0 kemampaun ini disebut dengan multiliteracies, yaitu pentingnya melek huruf dalam banyak hal seperti melek huruf agama (religious literacy), melek huruf digital (digital literacy), melek huruf budaya (cultural literacy), dan melek huruf sosial (interpersonal literacy). Dalam konteks Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (Indonesian Qualification Framework), multiliteracies termasuk level tertinggi dalam dunia pendidikan, yaitu jenjang doktoral (level 9). Di antara kualifikasi dan kompetensi oleh seseorang yang menempuh jenjang pendidikan doktor adalah kemampuan menggunakan pendekatan interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Pada jenjang ini ketika dihadapkan pada persoalan kita harus menggunakan banyak perspektif, tidak berpikir secara fragmental, parsial atau ad hoc, sehingga muncul beragam alternatif pemecahan. Karena itu, di beberapa perguruan tinggi luar negeri, lulusan program doktor diberi gelar Ph.D (Doctor of Philosophy).

“Salah satu prasyarat yang diperlukan untuk hidup di era disrupsi saat ini, terutama disrupsi karena pengaruh Revolusi Industri 4.0 maupun pandemi COVID-19 adalah kemampuan melihat semua persoalan dan tantangan dari berbagai sudut pandang atau perspektif.”

Dr. Muqowim, M. Ag.

Orang yang mampu berpikir secara filosofis pada dasarnya dapat melihat setiap persoalan secara mendasar (radical), universal dan komprehensif. Filsafat (philosophy) berasal dari kata philos (love) dan sophos (wisdom). Dengan demikian, filsafat artinya cinta pada kearifan. Orang yang berpikir filosofis seharusnya bijak dalam setiap langkah, baik ketika berpikir, berbicara, menulis maupun bertindak. Semua persoalan dilihat dari beragam sudut pandang dan setiap tindakan akan dipikirkan secara matang, bahkan dia rela mengesampingkan ego dan kepentingna diri dan kelompoknya untuk kepentingan umum. Orang arif mensyaratkan pengetahuan yang luas dan mendalam. Bahkan, orang arif berpendapat bahwa semakin banyak belajar semakin tidak tahu, di atas langit masih ada langit. Zat yang maha tahu hanyalah Allah swt semata. Sehebat apa pun pengetahuan yang kita miliki tidak ada apa-apanya di hadapan Allah swt. Karena itu, orang bijak tidak akan mungkin menganggap pendapatnya paling benar apalagi berani menyalahkan pihak lain. Orang bijak pasti lebih menghargai dan inklusif dalam setiap tindakan. Karena itu, orang yang mampu mencapai taraf ini diberi banyak kebaikan oleh Allah swt. Yu’til-hikmata-man-yasya’-waman-yu’tal-hikmata-faqad-utiya-khairan-katsiran.

Artikel ini telah diterbitkan dalam buku Jangan Pernah Berhenti Mengajar

Mulai membaca lagi dari awal “Sekali Jalan, Tiga Pulau Terlampaui”

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →