Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Membumikan Pendidikan Islam Profetik
Beberapa uraian di atas paling tidak dapat dijadikan sebagai bahan diskusi selanjutnya bahwa pendidikan dalam Islam bersifat dinamis, ia merupakan upaya yang dilakukan secara sadar untuk melakukan perubahan pada diri individu dan merombak tatanan masyarakat yang menyimpang. Karena itu, gagasan untuk merubah pola pendidikan konvensional menuju bentuk baru yang transformatif perlu dilakukan secara serius. Istilah pendidikan Islam konvensional (PIK) dipakai untuk menunjukkan pola dan praktek pendidikan yang berjalan secara monoton, top-down, guruisme, sentralistik, uniform, eksklusif, formalis, alienated dan indoktrinatif. Praktek pendidikan tersebut dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman dan terkesan menjadikan pendidikan Islam anti realitas. Bahkan, ada anggapan bahwa pola semacam inilah yang menjadikan dan membentuk perilaku masyarakat Islam eksklusif dan gagap terhadap perubahan dan perbedaan. Karena itu, pendidikan Islam profetik (transformatif) perlu dimunculkan sebagai pembanding dan teman dialog untuk ‘menghidupkan dan membumikan’ pendidikan Islam dalam konteks hereness dan nowness. Spirit transformasi ini seringkali dimunculkan oleh Lyotard ketika membahas wacana posmodernisme sebagai lawan dari modernisme. Posmodernisme merupakan kondisi budaya yang memunculkan banyak transformasi yang mengubah rule of the game dalam bidang sains, sastra, dan seni. Di bidang pendidikan, transformasi berupa perubahan aturan main dalam hal konsep, praktek, dan institusi pendidikan yang bertanggung jawab dalam mentransmisikan ilmu pengetahuan dan seni.[1] Dengan menggunakan kerangka semacam ini, bagaimana pola pendidikan Islam mampu melakukan transformasi dari praktek pendidikan yang telah ada menuju kondisi yang lebih baik, mulai dari aspek konseptualisasi hingga implementasi, seperti kelembagaan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan penyediaan SDM. Tawaran pendidikan profetik menjadi pilihan dalam proses transformasi ini.
Pendidikan Islam profetik mengharuskan adanya perubahan cara pandang terhadap proses pendidikan dalam banyak faktor yang terkait dengan pendidikan, seperti orientasi, peserta didik, pendidikan, kurikulum, strategi, evaluasi, lingkungan, dan sumber belajar. Dalam hal tujuan, pendidikan harus diorientasikan untuk mencetak individu yang berkesadaran kenabian (prophetic consciousness), yang mempunyai misi humanisasi (memaksimalkan setiap potensi kemanusiaan peserta didik), liberasi (menghilangkan setiap hal yang menghalangi tumbuh kembangnya potensi setiap peserta didik), dan transendensi (pentingnya kesadaran Tuhan dalam setiap tindakan di mana pun berada). Tiga misi profetik ini perlu dimiliki setiap peserta didik, terlebih bagi para pendidiknya. Dalam bahasa Muhammad Iqbal, orientasi pendidikan seharusnya mampu membiasakan akhlak peserta didik dengan akhlak Tuhan (takhallaqu bi-akhlaqillah). Akhlak ini antara lain tercermin dari nama-nama Allah yang baik (asma al-husna) yang berjumlah 99. Sebagai contoh, wahyu pertama adalah QS al-‘Alaq ayat 1-5. Pada ayat pertama, nama Allah yang perlu diteladani adalah “menciptakan”. Untuk bisa menciptakan setiap orang perlu mempunyai karakter kreatif. Semua nama dalam asma’ al-husna ini jika diwujudkan mampu mencetak khalifah yang dapat melestarikan alam dan menjaga harmoni hidup antar sesama. Hal ini merupakan syarat menjadi khalifah sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 30.
Pendidikan dianggap berhasil jika mampu mencetak individu yang mampu mengatasi persoalan yang dihadapi dan dihadapi sekitar dengan spiritualitas Islam. Untuk menghasilkan pribadi yang semacam itu, berbagai elemen pendidikan perlu ditinjau ulang. Kurikulum harus selalu dikaitkan dengan current issues di masyarakat sehingga dapat memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik tentang problem riil tersebut. Strategi pembelajaran harus diorientasikan untuk menghargai dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, evaluasi pendidikan harus lebih berpijak pada potensi kemanusiaan peserta didik, bukan uniform yang dipaksakan oleh pendidik. Dalam hal pengelolaan, pengelola lembaga pendidikan harus mampu menggerakkan dan mengaktifkan setiap potensi yang ada di sekitarnya untuk ikut memikirkan persoalan pendidikan. Akhirnya, pendidikan tidak harus dimaknai sebagai proses yang berlangsung di ruang kelas saja, namun juga terjadi di luar kelas. Karena itu, upaya mensinergikan antara unit keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu dilakukan.
“Strategi pembelajaran harus diorientasikan untuk menghargai dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki oleh peserta didik.”
Dr. Muqowim, M. Ag.
Akhirnya, Muhammad Iqbal, yang kemudian diamini oleh Fazlur Rahman, dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam mengatakan bahwa al-Qur’an lebih menekankan pada tindakan (deed) ketimbang kata (idea).[2] Ini berarti bahwa NATO (No Action Talk Only) atau TONY BOSTER (Waton Muni nDobose Banter) tidak relevan lagi.Sebaik apapun konsep jika tidak disertai dan dibarengi dengan upaya konkret hanya ibarat sampah saja. Meminjam statemen Musa Asy’arie Bangsa Indonesia ini terpuruk dalam krisis berkepanjangan hanya karena terlalu banyak konsep yang bertumpuk-tumpuk tapi miskin implementasi. Karena itu, dialektika konteks teoritis dengan konteks realitas harus selalu dilakukan dalam upaya mengubah paradigma pendidikan Islam dari konvensional menuju transformatif. Upaya kodifikasi konteks realitas empirik ke dalam realitas teoritik mutlak diperlukan. Tanpa hal tersebut, pendidikan Islam hanya ibarat gundukan konsep yang tak bermakna, sebab kebermaknaan sesuatu sangat ditentukan dan tergantung pada eksistensinya bagi dunia empirik.
Berdasarkan pemikiran tersebut, banyak hal yang harus segera dicermati, dikritisi dan dicarikan solusinya bagi praktek pendidikan Islam, mulai dari dataran konseptual hingga praksis. Ada beberapa hal perlu menjadi perhatian. Pertama, perlu melakukan pemaknaan kembali tentang hakikat peserta didik. Peserta didik tidak harus dimaknai atau identik dengan anak usia sekolah dengan usia kronologis tertentu, sebab hal ini tidak sesuai dengan pandangan Islam yang menempatkan setiap individu muslim sebagai manusia pembelajar, mulai dari ayunan hingga meninggal dunia. Dengan pengertian ini, life-long education justru ditekankan. Implikasi lain dari pengertian tersebut adalah pandangan Islam sangat relevan terhadap paradigma baru pendidikan yang menempatkan murid dan guru sebagai obyek dan subyek sekaligus. Hal ini mengimplikasikan bahwa keduanya sama-sama sebagai makhluk pembelajar (learner). Arti penting lain dari pemaknaan kembali peserta didik adalah bahwa fokus utama proses pendidikan adalah untuk dan demi kepentingan peserta didik itu sendiri. Karena itu, cara pandang secara holistik terhadap potensi dan sosok peserta didik mutlak diperlukan, sebab dari sinilah treatment pendidikan akan dilakukan.
Pandangan tentang peserta didik akan menentukan bentuk kurikulum, evaluasi, dan metode pembelajaran. Karena itu, makna peserta didik harus didekati dari banyak perspektif. Kedua, pemaknaan kembali tentang hakikat pendidikan yang digunakan sebagai upaya transformasi bagi peserta didik dan masyarakat, bahkan dunia. Ketiga, perlu melakukan pemaknaan kembali terhadap perspektif Islam dalam memandang manusia dan pendidikan seperti yang terkandung dalam nash dan historisitas Islam. Sosok ideal yang perlu dilihat adalah Nabi Muhammad sebagai pembebas. Keempat, praktek pendidikan sangat terkait dengan ruang dan waktu. Karena itu, kajian secara kritis tentang konteks realitas tempat pendidikan tersebut dipraktekkan mutlak dilakukan, sebab proses pendidikan pada dasarnya merupakan upaya mempersiapkan peserta didik sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Karena itu, dalam perspektif Islam, akan banyak model pendidikan di dunia Islam karena adanya perbedaan kondisi lokal masyarakat, meskipun sama-sama dengan spiritualitas Islam. Praktek pendidikan akan mengalami kegagalan jika tidak ada kesadaran akan kondisi lokal, baik secara sosiologis, historis, maupun antropologis. Kelima, berpijak pada pemahaman poin-poin tersebut di atas, maka peninjauan terhadap semua faktor yang ada dalam pendidikan dilakukan, baik dari segi tujuan, pendidik, kurikulum, strategi pembelajaran, evaluasi, sumber belajar, dan lingkungan.
Dalam hal orientasi, pendidikan Islam harus diarahkan sebagai upaya optimalisasi potensi kemanusiaan yang bertolak dari spiritualitas Islam dan mempertimbangkan kondisi lokalitasnya. Pendidik harus ditempatkan sebagai manusia pembelajar yang sama kedudukannya dengan peserta didik, sehingga terjadi proses dialog yang sejajar, meskipun boleh jadi secara keilmuan banyak yang telah dikuasai oleh pendidik. Pendidik dalam Islam justru diharapkan dapat dijadikan sebagai model dalam berperilaku bagi siswa sehingga ia tidak sekedar mengemban fungsi penyampai ilmu, tapi juga nilai. Kurikulum yang dikembangkan harus tetap mengacu pada upaya pemberian pengalaman dan pengetahuan kepada peserta didik agar potensi kemanusiaannya optimal. Selain itu, kurikulum yang dikembangkan harus mempertimbangkan kondisi kontekstual tempat pendidikan berlangsung, sehingga materi yang diberikan tidak ahistoris, anti-realitas, dan teralienasi dari konteks. Strategi pembelajaran yang dipraktekkan pun juga harus melihat sosok peserta didik yang unik dengan berbagai potensi yang dimiliki sehingga penerapan sebuah strategi bergantung pada kondisi peserta didik dan lingkungan yang dihadapi. Sementara itu, evaluasi yang dilakukan harus mengacu pada upaya mengetahui sejauhmana praktek pendidikan telah memanusiakan peserta didik dan berhasil mengoptimalkan potensinya. Karena itu, upaya penciptaan lingkungan yang kondusif harus dilakukan. Hal ini harus ditempuh secara sinergis, baik antara pengelola lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Yang jelas, dalam perumusan konsep pendidikan, pengelola pendidikan formal harus mendengar stakeholder pendidikannya.
Akhirnya, sebuah pesan berupa puisi dari Iqbal perlu kita renungkan terkait dengan pentingnya pendidikan Islam profetik ini:
Mengapa bertanya siapa aku dan dari mana?
Di laut ini aku ombak yang selalu mendebur
Menggerakkan diri dan karena itu aku hidup
Jika aku berhenti, akan berhenti pula menjadi[3]
Gelisah tak henti-henti adalah kehidupan bagi kami
Seperti ikan kami harus tetap bergerak
Dan menyinari pantai, sebab sejenak saja beriak
Lalu berhenti merupakan bahaya[4]
Pantai tak bergerak berkata, “Walau aku lama di sini
Aku belum mengenal pribadiku.”
Ombak yang selalu bergolak mendebur dan berkata,
“Bagiku beriak adalah menjadi, diam terbaring belum menjadi.”[5]
[1] Untuk selanjutnya, lihat tulisan Michael Peters dan Colin Lankshear, “Postmodern Counternarratives” dalam Henry Giroux, et al., Counternarratives Cultural Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces (New York & London: Routledge, 1996), 9.
[2] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), v.
[3] Muhammad Iqbal, Payam-I-Mashriq (Pesan dari Timur), terj. Abdul Hadi WM (Bandung: Pustaka, 1985), 17.
[4] Ibid., 22.
[5] Ibid., 81.