Pendidikan dan Manusia
Berbagai permasalahan dalam konteks pendidikan seharusnya segera mendapatkan solusi jika praktek dan proses pendidikan dikembalikan kepada kesadaran akan makna dan hakikat pendidikan dan manusia. Antara makna pendidikan dan manusia tidak dapat dipisahkan dalam dunia pendidikan sebab ketika berbicara tentang pendidikan berarti berbicara tentang manusia dengan berbagai potensinya. Di sisi lain, ketika berbicara tentang manusia juga pasti berbicara tentang upaya mengoptimalkan potensi kemanusiaannya melalui pendidikan, meskipun pendidikan yang dimaksud di sini tidak sebatas pendidikan formal yang ternyata justru banyak memenjarakan manusia. Berubahnya praktek pendidikan baik berupa gagasan baru tentang lembaga pendidikan alternatif, strategi pembelajaran, dan kurikulum pada dasarnya merupakan wujud adanya cara pandang yang berubah tentang makna dan filosofi manusia sebagai peserta didik.
“Berbagai permasalahan dalam konteks pendidikan seharusnya segera mendapatkan solusi jika praktek dan proses pendidikan dikembalikan kepada kesadaran akan makna dan hakikat pendidikan dan manusia.”
Dr. Muqowim, M. Ag.
Terma berikutnya yang perlu dicermati dalam konteks pendidikan adalah tentang manusia sebagai makhluk pembelajar. Lengkap tidaknya sebuah pemahaman tentang konsep manusia akan berakibat pada baik-buruknya praktek pendidikan. Karena secara ontologis ilmu adalah manusia, maka konsep (ilmu) tentang manusia juga sangat dipengaruhi oleh manusia itu sendiri, yang ditentukan oleh tingkat pengalaman dan pengetahuan serta setting sosial-masyarakatnya. Dalam konteks Islam, makna manusia ditentukan juga oleh seberapa jauh pemahaman umat Islam tentang manusia yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Meskipun rujukan utama umat Islam sama, namun ketika ia dipahami oleh seribu kepala akan muncul seribu pemahaman. Karena itu, tidak ada alasan untuk berpegang pada satu pemahaman tentang makna manusia yang dapat dipakai likulli zamanin makanin.
Sebagai makhluk yang unik dan multidimenional, tidak ada yang tahu secara persis tentang hakikat manusia. Tidak ada yang berhasil merumuskan secara baku tentang makna manusia. Ketika filosof mendekati terma ini akan berbeda rumusannya dengan psikolog meskipun nash-nya sama. Manusia tetap menjadi misteri bagi kehidupan. Tidak heran jika Carel Alexis, salah seorang pemenang Nobel, membuat karua berjudul The Unkown Man. Karena keterbatasan-keterbatasan inilah, maka diperlukan banyak perspektif dalam memahami hakikat manusia. Satu disiplin ilmu tidak boleh terlalu PD (Percaya Diri) dengan rumusannya, ia harus bekerjasama dengan disiplin ilmu lain. Paling tidak, perspektif yang harus digunakan dalam memahami makna manusia antara lain filsafat, yang mengkaji manusia secara radikal dari sisi ontologi, epistemologi dan aksiologi, psikologi, yang membahas manusia dari aspek kejiwaannya, biologi, yang mencermati manusia dari aspek struktur fisiknya sebagai makhluk hidup, antropologi, yang mendekati manusia sebagai makhuk budaya yang unik, dan al–Qur’an, yang mendekati makna manusia secara preskriptif, meskipun kualitas pemahaman terhadap al-Qur’an sangat ditentukan oleh kualitas penafsirnya. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka akan semakin banyak perspektif yang harus digunakan, misalnya baik filsafat, psikologi, biologi, maupun antropologi sendiri telah mengalami diversifikasi.
Ketika rumusan tentang makna pendidikan dan hakikat manusia dari multi perspektif tersebut diperoleh, maka praktek dan pola pendidikan baru dirumuskan, meskipun pemahaman yang komprehensif dan final tentang kedua terma tersebut tidak mungkin diperoleh sebab jaman dengan berbagai tantangannya selalu berubah. Pemahaman era zaman old tentu berbeda dengan zaman now. Justru karena adanya kesadaran bahwa konsep tentang pendidikan dan manusia yang terus berubah inilah, maka praktek pendidikan juga harus berubah. Karena itu, upaya untuk selalu melakukan perubahan paradigma pola pendidikan harus dilakukan.
Sebagai sebuah ilustrasi sederhana, ketika konsep manusia ideal adalah sosok yang secara fisik kuat, sebagaimana dipersepsikan era Sparta Yunani, maka treatment semua komponen pendidikan akan mewujudkan ide manusia tersebut. Formulasi tujuan pendidikan kurang lebih “mencetak manusia ideal dengan ciri fisik yang kuat”. Aspek sosial, mental dan intelektual boleh jadi tidak terlalu penting dan prioritas. Tujuan pendidikan ini tentu di-breakdown dengan berbagai indikator yang mengarah pada ciri manusia hebat dengan fisik kuat. Untuk mewujudkan hal ini bagaimana kurikulumnya? Kurikulum yang antara lain berupa tawaran matapelajaran tentu saja dibuat untuk mewujudkan manusia ideal tersebut. Di antara matapelajaran yang relevan adalah olahraga, kesehatan jasmani, dan gizi. Bagaimana dengan metode, evaluasi, sarpras, dan gurunya? Pendekatan dan metode yang digunakan adalah membiasakan fisik kuat dengan langsung praktik seperti berlari, renang, push-up, dan angta barbel. Evaluasi diarahkan untuk mengetahui apakah fisik peserta didik sudah kuat atau belum. Cara mengecek bisa dilakukan dengan mengankat barbel, berlari dengan kecepatan tinggi ataupun berenang. Sarpras yang diperlukan di sekolah model ini tentu saja yang menyediakan beragam fasilitas lengkap untuk tempat penggemblengan fisik kuat. Bagaimana dengan guru? Hanya guru yang mampu melatih fisik kuat yang cocok di sekolah ini. Dengan ilustrasi sederhana tersebut dapat dipahami bahwa pemahaman tentang hakikat manusia mempengaruhi praktik pendidikan selanjutnya. Bagaimana dengan praktik pendidikan di Indonesia? Konsep manusia seperti apa yang diidealkan?
Melanjutkan membaca Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam