Mengatasi Problem Pendidikan dengan Berfilsafat [3]

Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam
Sebuah pencarian format pendidikan Islam yang ideal akan mengalami kesulitan, untuk tidak mengatakan gagal, jika tidak disertai dengan upaya melakukan rekonstruksi sejarah terhadap pola pendidikan Islam yang dipraktekkan oleh generasi Islam awal. Hal ini bukan berarti sebagai bentuk romantisme sejarah, namun sosok ideal pendidikan Islam ketika itu memang dipraktekkan. Tentu hal ini tidak ada pretensi untuk kembali ke masa lalu secara letterlick karena hanya akan membuat langkah regresif, namun tetap berpijak pada konteks realitas moderen yang terus berubah. Meminjam istilah Rahman, upaya historical criticism (naqd al-tarikh) harus tetap dilakukan. Yang pertama harus dicermati adalah praktek pendidikan Islam oleh Rasulullah. Ketika itu Rasulullah tampil sebagai raushan fikr yang mampu mereformasi secara total terhadap tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan jahiliyah[1] yang menyimpang. Paling tidak, secara umum misi kenabian Muhammad saw dapat dibagi ke dalam dua hal, yakni sebagai respon terhadap penyimpangan tauhid dan ketimpangan sosial (social discrepancy).[2] Kedatangan Islam berada dalam konteks realitas yang ketika itu ada persoalan yang harus segera mendapat jawaban. Sosok Nabi hadir sebagai individu paripurna yang mempunyai kesadaran eksistensialis-teistik dan liberatif, yakni adanya kesadaran vertikal dan horisontal.[3] Living sunnah yang dipraktekkan oleh Nabi inilah yang pertama harus dilihat. Islam hadir bukan sebagai agama yang teralienasi dari konteks, tapi involved dalam penyelesaian problem realitas.

Dengan mencermati misi profetik yang merupakan inti orientasi pendidikan dalam Islam di atas, maka proses pendidikan seharusnya diorientasikan pada pembentukan kepribadian muslim yang mempunyai prophetic consciousness, dimana ia mempunyai kesadaran eksistensialis yang teistik, bahwa ia harus mempunyai kesadaran vertikal (vertical consciousness)sekaligus horisontal (horizontal consciousness). Kesadaran pertama mempunyai makna bahwa setiap individu harus sadar tentang relasi antara dirinya sebagai makhluq dan khaliq-Nya sehingga ia menyadari kewajiban yang harus dipenuhi sebagai ‘abid. Sedangkan kesadaran kedua mempunyai pengertian bahwa individu harus sadar terhadap konteks realitas sosial yang ada di sekitarnya yang selalu berubah dan penuh tantangan. Dengan kesadaran ini ia hendaknya aktif memberikan kontribusi terhadap penyelesaian problem sosial, bukan lari dari masalah. Kedua kesadaran tersebut bukan berdiri sendiri-sendiri, namun terkait secara padu.[4]

Momen lain yang juga perlu dicermati dari sejarah pendidikan Islam adalah ketika peradaban Islam mengalami masa kejayaan yang antara lain ditandai oleh semaraknya berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan,[5] baik yang termasuk kategori al-‘ulum al-naqliyyah maupun al-‘ulum al-‘aqliyyah.[6] Periode ini terjadi ketika peradaban Islam berada di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, khususnya masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun, dan Bani Umayah di Andalusia.[7] Ketika itu khalifah turun tangan langsung menggerakkan berbagai kajian ilmu, yang tidak terbatas pada ilmu-ilmu ‘agama’ saja namun juga ilmu-ilmu ‘non-keagamaan’. Di tangan kedua khalifah tersebut (Bani Abbasiyah) kemajuan ilmu pengetahuan mendapatkan momentumnya. Banyak upaya dilakukan oleh khalifah untuk menggairahkan kajian ilmu pengetahuan, misalnya melakukan kontak dengan kerajaan lain yang kaya akan tradisi intelektualnya, misalnya dari tradisi keilmuan Yunani, Persia, dan India.

Dinamika dan gairah keilmuan ini paling tidak didorong oleh dua motivasi. Pertama, motivasi normatif, yakni semangat ajaran Islam, baik yang terkandung dalam al-Qur’an[8] maupun al-Hadis,[9] yang sangat mendorong umatnya untuk menuntut dan menguasai ilmu. Kedua, motivasi dan respon sejarah, bahwa umat Islam harus mampu membumikan ajaran Islam sehingga ia benar-benar dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam. Untuk itu, satu-satunya jalan adalah harus terlibat dalam percaturan ilmu dan merespon tantangan realitas. Hal ini terbukti dengan banyaknya ilmuwan muslim yang mengadakan kajian intensif dalam pengembangan ilmu yang ketika itu dipusatkan di Baghdad.[10] Di antara tokoh yang terlibat aktif di pusat ilmu tersebut adalah al-Kindi, al-Razi, dan al-Farabi.[11] Mereka datang dari berbagai penjuru, misalnya Khwaraizm, Nishapur, Tus, Samarqand, Kufah, dan Shiraz.[12] Di pusat keilmuan inilah mereka mendialogkan temuan-temuannya, sebagaimana Muhammad al-Khawarizmi yang mendialogkan temuan angka nolnya dengan ilmuwan lain di Baghdad. Yang perlu dicermati juga adalah bahwa dialog keilmuan tidak terbatas antar ilmuwan muslim saja, namun juga dengan ilmuwan non-muslim. Tidak mengherankan jika dilihat dari sanad keilmuan (intellectual genealogy) banyak guru ilmuwan muslim yang beragama Kristen, Yahudi bahkan Majusi.[13]Karena itu, belajar terhadap peradaban lain tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang ‘haram’ dilakukan, namun justru dianjurkan.[14] Tidak heran jika masyarakat pada era ini dijuluki sebagai masyarakat pembelajar (learning society), yakni hampir semua anggota masyarakat tergerak untuk terlibat dalam pengembangan ilmu.

Yang menarik untuk dicermati, sebagaimana pernah dikaji oleh sejarawan Barat maupun muslim, bahwa ilmu pengetahuan dan ilmuwan yang lahir pada periode keemasan itu bukan merupakan produk ‘lembaga pendidikan formal’ sebagaimana yang dikenal pada periode modern. Ilmu pengetahuan, baik yang tergolong ‘ilmu-ilmu agama’ maupun ilmu sains muncul sebagai hasil kajian intensif ilmuwan muslim secara individual atau paling tidak melalui dialog keilmuan yang diselenggarakan di rumah-rumah ilmuwan itu sendiri. Yang lebih menonjol adalah semangat individual studies. Justru ketika lembaga pendidikan formal muncul seperti madrasah, dinamika keilmuan Islam mulai redup seiring dengan saratnya muatan politik dalam pendirian sebuah lembaga pendidikan (bandingkan dengan realitas pendidikan modern dalam konteks politik pendidikan!). Madrasah lebih dijadikan sebagai media untuk melanggengkan kekuasaan, atau paling tidak memperkuat paham ortodoksi sebagaimana yang dianut oleh penguasa.[15] Karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya sains bukan lahir dari lembaga pendidikan madrasah.[16]

Kemajuan sains yang dicapai oleh orang Islam tersebut pada dasarnya disebabkan oleh banyak faktor baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pertama, adanya semangat normatif orang Islam yang terinspirasi dari ajaran al-Qur’an[17] dan al-Hadis[18] tentang konsep ilmu dan pengembangannya. Dalam dua rujukan pokok Islam tersebut banyak ditemukan ajaran yang berkaitan dengan konsep ilmu dan keutamaan menuntutnya. Menurut Nasr, ilmu pengetahuan dalam Islam bersifat hirarkhis dan terpadu yang puncaknya adalah Allah itu sendiri sebagai pemilik ilmu pengetahuan.[19] Semua ilmu diperlukan untuk lebih mengenal dan mendekatkan diri seorang muslim dengan-Nya. Kedua, adanya dukungan penuh dari khalifah dalam pengembangan ilmu pengetahuan meskipun harus diakui bahwa tidak semua khalifah concern terhadap persoalan ilmu pengetahuan. Dalam beberapa hal, khalifah bahkan tampil bukan sekedar sebagai fasilitator tetapi sebagai inisiator ilmu. Sebagai contoh, berdirinya lembaga Baitul Hikmah dengan berbagai kegiatan di dalamnya merupakan bukti kepedulian khalifah al-Makmun dalam memberikan mediasi kajian keilmuan.[20] Selain itu, banyaknya majelis al-mujadalah juga sebagai cermin besarnya perhatian penguasa Islam terhadap ilmu pengetahuan.[21] Adanya sikap ilmiah yang terbuka, obyektif dan kritis dari ilmuwan muslim merupakan pendorong lain terjadinya kemajuan ilmu pengetahuan. Rahman menyebut hal ini sebagai pemikiran filosofis dari ilmuwan muslim.[22] Tanpa sikap tersebut, tidak ada kegiatan riset dan kajian tentang ilmu pengetahuan, sebab pendorong utama berkembangnya ilmu adalah adanya kegelisahan akademik (sense of curiosity) dalam diri ilmuwan dalam mencermati setiap persoalan.[23] Harus diakui bahwa berkembangnya teologi Mu’tazilah pada periode Abbasiyah mempunyai peran dalam perkembangan rasionalitas ini.[24] Dibandingkan dengan aliran teologi lain dalam Islam, aliran Mu’tazilah dikenal sebagai aliran teologi yang paling rasional. Aliran ini sangat mendukung perkembangan keilmuan dalam Islam, sebab gejala berpikir kritis di kalangan umat Islam terbukti semakin redup seiring dengan hilangnya aliran ini dalam dunia Islam.[25] Akhirnya, luasnya daerah kekuasaan Islam juga mempengaruhi berkembangnya ilmu pengetahuan. Pada periode Islam klasik, kekuasaan Islam terbentang dari wilayah Barat, yakni Andalusia, Afrika, sampai wilayah Timur, seperti Asia Tengah dan Timur Tengah.[26] Banyak wilayah tersebut yang mempunyai tradisi intelektual dan peradaban yang tinggi dan cukup tua, misalnya di Baghdad, Ray, Damaskus, Isfahan, Kairo, Aleppo, Khairawan, Fez, Cordova, Alexandria, Edessa, Beirut, Jundishapur, Nisibis, Antioch, dan Harran.[27]


[1] Terma ini sering digunakan untuk memaknai periode sejarah Arab pra-Islam. Sebenatnya, istilah tersebut tidak bisa dimaknai sebagai ‘zaman kebodohan’ atau ‘kebodohan’ yang dilawankan dengan kepandaian. Namun, ia lebih berarti sebagai masa dimana banyak praktek barbarian, perilaku buas, kesombongan suku, kultus/tradisi balas dendam perilaku pagan dilakukan oleh orang Arab. Lihat Duncan B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1903), 8; Ignaz Goldziher, Mohammedanische Studien, Halle: 1971, 223; dan Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholars’ Social Status, (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1965), 25.

[2] Dua misi besar kenabian ini antara lain dapat dilihat dalam Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29; lihat juga Muqowim, “Kenabian dalam al-Qur’an,” dalam Jurnal Dakwah, No. 3 Tahun II, Juli-Desember 2001: 113-129.

[3] Gambaran tentang figur Nabi yang membawa semangat pembebasan ini diulas secara agak panjang lebar oleh Engineer. Selanjutnya lihat, Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 41-56.

[4] Iqbal, seorang penyair dan filosof asal Indo-Pakistan, membagi kesadaran menjadi dua, yakni kesadaran kenabian dan kesadaran mistik. Lebih jauh ia menggambarkan kedua kesadaran tersebut dalam salah satu syairnya, bahwa orang yang mempunyai kesadaran kenabian ditandai oleh keterlibatannya secara aktif dalam realitas alam semesta. Cakrawala berada dalam genggamannya. Sementara itu, orang yang mempunyai kesadaran mistik ditandai dengan larutnya ia dalam cakrawala, ia cenderung lari dan mengasingkan diri dari problem realitas untuk mengejar kesalehan individual.

[5] Sebuah kajian cukup mendalam dilakukan oleh Fazlur Rahman tentang dinamika intelektual Islam sejak periode Islam awal hingga kurun modern. Selanjutnya, lihat Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982).

[6] Karya yang banyak mengungkap tradisi keilmuan Islam pada era ini antara lain A.S. Tritton, Materials on Muslim Education in the Middle Ages, (London: Luzac, 1957); C. Michael Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical Ages A.D. 700-1300, (New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 1991); Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, (Beirut: Dar al-Rashshaf, 1954); Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982); George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981); dan S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American Library, 1968).

[7] Lihat Philip K. Hitty, History of the Arabs, (London: Macmillan, 1974), 297-316.

[8] Di antara ayat al-Qur’an yang mendorong umat Islam untuk mencari ilmu adalah Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5; Q.S. al-Mujadalah (58): 11; Q.S. al-Tawbah (9): 122; Q.S. al-Nahl (16): 43; Q.S. al-Zumar (39): 9; dan Q.S. Taha (20): 114.

[9] Banyak di antara matan Hadis yang menyebutkan tentang perlunya mempunyai dan mencari ilmu, misalnya “carilah ilmu walau sampai ke negeri China,” “menuntut ilmu diwajibkan bagi orang muslim laki-laki (dan perempuan), dan sebagainya.

[10] Ibrahim Madkour, “Al-Farabi,” dalam M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publications, 1961), 451.

[11] Ulasan secara panjang lebar tentang ilmuwan muslim ditulis oleh banyak pemikir Islam modern. Lihat karya M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publications, 1961) yang terdiri dari dua volume. Hal yang sama juga dilakukan oleh Seyyed Hossein Nasr (ed.), History of Islamic Philosophy (London & New York: Routledge, 1996) yang juga terdiri dari dua volume.

[12] Bulliet pernah melakukan kajian khusus tentang dinamika keilmuan di wilayah kekuasaan Islam, khususnya di daerah Nishapur. Lihat Bulliet, Richard W., The Patricians of Nishapur: A Study in Medieval Islamic Social History, (Cambridge, 1972).

[13] Hal ini tampak dari sinyalemen yang dikemukakan oleh Bernard Lewis, seorang ilmuwan Barat yang menekuni sejarah peradaban Islam. Lihat Bernard Lewis, The Jews of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1987), 3-4; lebih jauh lihat Muqowim, ”Mencari Format Baru Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural,” dalam Jurnal Ta’dib, Vol. IV No. 02, September 2001: 89-113.

[14] Hal ini tampak dari upaya khalifah al-Makmun yang mempekerjakan tokoh-tokoh non-Islam untuk memimpin proyek penerjemahan dari tradisi keilmuan Yunani ke Islam (bahasa Arab). Tokoh Hunain bin Ishaq, Thabit bin Qurrah, dan Ishaq bin Hunain adalah di antara ilmuwan non-muslim yang terlibat sangat intens dalam program ini. Selanjutnya baca Philip K. Hitty, History, 297-316.

[15] Selanjutnya baca George Makdisi, The Rise of Colleges, 9-15; The Rise of Humanism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990); Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, ix.

[16] Fazlur Rahman, Islam, khususnya “Bagian Pendidikan” terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1994), 263-281.

[17] Untuk menyebut beberapa ayat yang berkaitan dengan ilmu adalah Q.S. al-Baqarah (2): 30-33; Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5; dan Q.S. al-Mujadalah (58): 11.

[18] Dalam al-Hadis banyak ditemukan anjuran kepada umat Islam untuk menuntut ilmu, misalnya “Menuntut ilmu diwajibkan bagi orang Islam laki-laki [dan perempuan]”; Imam Jamaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Sayuti, al-Jami’ al-Saghir fi Ahadith al-Bashir al-Nadhir, (kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi, 1967), 194; dan “Orang-orang yang menyembunyikan ilmu akan dilaknat oleh semua makhluk, termasuk ikan di laut dan burung di langit” Al-Saiyid Ahmad al-Hashimi Bek, Mukhtar al-Ahadith al-Nabawiyyah, (Qahirah: Matba’ al-Hijazi, 1948), 128..

[19] S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 21-40.

[20] Lihat Philip K. Hitty, History, 310.

[21] Maraknya kajian dan perdebatan ilmu ini dapat dilihat dari laporan yang dibuat oleh al-Baghdadi pada abad ke-11. Lihat Al-Khatib al-Baghdady, Tarikh Baghdad, 14 vol. (Mesir: Maktabah al-Khandji, 1931). Lihat juga Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholars’ Social Status, (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1965), 52-85.

[22] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 157-158. Lihat juga M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.), Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Ditbinperta, 2000), 223.

[23] Iqbal menyebut kegelisahan intelektual ini sebagai the principle of movement sebagai inti dinamika Islam. Prinsip tersebut sama dengan konsep ijtihad yang intinya optimalisasi fungsi akal untuk berpikir dan memecahkan persoalan dengan perspektif Islam secara maksimal. Lihat M. Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1965), khususnya pada Bab “The Principle of Movement.”.

[24] Muktazilah didirikan oleh Wasil bin Ato’ pada tahun. Harun al-Rasyid dan al-Makmun, yang pada periode ini ilmu pengetahuan mencapai masa keemasan, termasuk di antara pendukung aliran teologi Muktazilah. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, 40.

[25] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, xiii.

[26] Philip K. Hitty, History, 298.

[27] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam, 15. Lihat juga Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 126.

Lanjutkan membaca Membumikan Pendidikan Islam Profetik

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *