Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Pentingnya Design Principles menuju Eco-Systemic Change
Tiga kompetensi transformatif yang telah diuraikan di atas cukup kompleks, masing-masing kompetensi saling berkaitan satu sama lain. Ketiga kompetensi tersebut hakikatnya berkembang secara alamiah namun perlu juga dipelajari. Kemampuan menguasai kompetensi transformatif itu sendiri adalah sesuatu yang harus dipelajari dengan menggunakan sebuah proses yang saling berurutan yaitu reflection, anticipation dan action. Proses reflektif adalah kemampuan mengambil langkah kritis ketika memutuskan, memilih dan bertindak, dengan melihat kembali apa yang telah terjadi di masa lalu atau melakukan langkah ke belakang dari apa yang diketahui atau dipahami dan melihat situasi dari sisi yang lain, perspektif berbeda. Proses antisipasi menggerakkan keterampilan kognitif, seperti berpikir analitis dan kritis, meramalkan apa yang mungkin diperlukan di masa depan atau bagaimana tindakan yang diambil saat ini kemungkinan mempunyai konsekuensi di masa depan. Proses refleksi dan anitisipasi merupakan langkah awal sebelum ke tindakan yang bertanggung jawab. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa penguasaan Kerangka Pembelajaran OECD tahun 2030 dapat dilakukan dengan memobilisasi pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai melalui proses refleksi, antisipasi dan aksi guna mengembangkan kompetensi transformatif yang saling berkelindan yang diperlukan untuk dapat terlibat aktif di dunia.
“Penguasaan Kerangka Pembelajaran OECD tahun 2030 dapat dilakukan dengan memobilisasi pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai melalui proses refleksi, antisipasi dan aksi guna mengembangkan kompetensi transformatif yang saling berkelindan yang diperlukan untuk dapat terlibat aktif di dunia. “
Dr. Muqowim, M. Ag.
Untuk memastikan bahwa kerangka pendidikan baru tersebut dapat diimplementasikan, maka semua pemangku kepentingan perlu bekerja bersama-sama untuk menerjemahkan kompetensi transformatif dan konsep-konsep kunci lainnya ke dalam sejumlah bentuk spesifik seperti kreatifitas, berpikir kritis, tanggung jawab, daya tahan dan kolaborasi agar para pendidik dan pemimpin sekolah dapat mengintegrasikannya dengan lebih baik ke dalam kurikulum. Mereka juga telah membangun sebuah pengetahuan untuk mendesain ulang kurikulum. Perubahan kurikulum mempunyai argumen bahwa pendidikan adalah sebuah ekosistem dengan banyak pemangku kepentingan. Peserta didik, guru, pemimpin sekolah, orang tua, pembuat kebijakan nasional dan lokal, pakar akademisi, serikat guru, dan mitra sosial dan usaha telah bekerja sebagai satu tim untuk mengembangkan proyek ini.
Menurut hasil identifikasi yang dilakukan oleh tim dari lintas negara yang berbeda, untuk mewujudkan Kerangka OECD Education 2030 ada lima tantangan umum yang dihadapi. Pertama, dihadapkan pada kebutuhan dan permintaan orang tua, universitas dan pengguna lulusa, sekolah saat ini sedang bergelut mengatasi kurikulum yang overload. Akibatnya, peserta didk kekurangan waktu untuk menguasai konsep-konsep keilmuan inti atau, dalam konteks kepentingan hidup yang seimbang, mereka kurang merawat persahabatan, kurang tidur dan kuran olah raga. Sudah saatnya menggeser fokus peserta didik kita dari “more hours for learning”, banyak jam untuk belajar, menjadi “quality learning time”, waktu belajar berkualitas. Kedua, perubahan kurikulum mengalami perbedaan waktu “time lag” antara rekognisi, pembuata]n keputusan, implementasi dan dampak. Jurang perbedaan antara maksud kurikulum dengan hasil pembelajaran tersebut pada umumnya terlalu lebar. Ketiga, muatan kurikulum harus berkualitas tinggi jika peserta didik harus terlibat dalam pembelajaran dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Keempat, kurikulum seharusnya menjamin kesetaraan sejalan dengan proses inovasi. Semua peserta didk tidak hanya memilih beberapa saja, mereka harus memperoleh manfaat dari perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Kelima, perencanaan dan integrasi hati-hati sangat penting dalam implementasi reformasi yang efektif.
Untuk merespon berbagai tantangan di atas, semua anggota dan mitra kelompok kerja OECD menciptakan “design principles” untuk melakukan perubahan dalam kurikulum dan sistem pendidikan yang relevan dengan negara-negara yang berbeda. Dalam hal konsep, muatan dan desain topik, ada tujuh hal yang menjadi fokus perhatian yaitu tentang students agency, rigour, focus, coherence, alignment, transferability dan choice. Student agency artinya kurikulum seharusnya didesain untuk memotivasi para peserta didik dan mengenali serta mengakui pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang mereka miliki sebelumnya. Rigour artinya semua topik yang ditawarkan seharusnya bersifat menantang dan memungkinkan para peserta didik berpikir mendalam dan melakukan refleksi. Focus artinya sejumlah kecil topik seharusnya diperkenalkan di tiap kelas untuk menjamin kedalaman dan kualitas pembelajaran peserta didik. Topik-topik tersebut mungkin tumpang tindih untuk memperkuat konsep-konsep kunci.
Coherence artinya bahwa berbagai topik seharusnya diurutkan untuk mencerminkan logika disiplin keilmuan masing-masing, yang memungkinkan terjadinya proses kemajuan mulai dari konsep dasar sampai konsep yang lebih maju melalui berbagai tahapan dan tingkat usia. Alignment artinya bahwa kurikulum seharusnya dikaitkan dengan baik dengan praktik pembelajaran dan penugasan. Selagi teknologi digunakan untuk menilai banyak outcome yang diinginkan belum tercapai, praktik penilaian berbeda mungkin diperlukan untuk tujuan berbeda. Metode penilaian baru seharusnya terus dikembangkan sehingga dapat menilai outcome peserta didik dan tindakan yang tidak selalu dapat diukur. Transferability artinya prioritas yang lebih tinggi seharusnya diberikan pada pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang dapat dipelajari dalam satu konteks dan ditransfer ke konteks lain. Sementara itu yang dimaksud dengan choice adalah bahwa peserta didik seharusnya ditawarkan sejumlah topik dan pilihan proyek, dan kesempatan untuk menyarankan topik dan proyek mereka sendiri, dengan dukungan untuk membuat pilihan yang diinformasikan dengan baik.
Sementara itu, terkait dengan desain proses dalam kurikulum, tim menawarkan lima hal yang perlu ditekankan yaitu teacher agency, authenticity, inter-relation, flexibility, dan engagement. Teacher agency artinya adalah bahwa guru seharusnya diberdayakan untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan dan keahlian profesional mereka untuk menyampaikan kurikulum secara efektif. Authenticity artinya bahwa para pembelajar seharusnya mampu menghubungkan pengalaman belajar mereka dengan kehidupan nyata dan mempunyai sense of purpose dalam pembelajaran mereka. Hal ini memerlukan pembelajaran interdisipliner dan kolaboratif seiring dengan penguasaan pengetahuan berbasis disiplin keilmuan yang ditekuni. Inter–relation artinya bahwa para pembelajar seharusnya diberi kesempatan menemukan bagaimana sebuah topik atau konsep dapat dikaitkan dan dihubungkan dengan berbagai topik dan konsep lain baik dalam maupuan dengan luar keilmuannya, dan dengan kehidupan nyata di luar sekolah. Flexibility artinya bahwa konsep kurikulum seharusnya dikembangkan dari yang bersifat “predetermined and static” ke arah “adaptable and dynamic”. Sekolah dan guru seharusnya selalu memperbarui dan mengaitkan kurikulum untuk merfleksikan masyarakat yang selalu berubah dan kebutuhan pembelajaran individual. Sementara itu, engagemant artinya bahwa guru, peserta didk dan pemangku kepentingan lain yang relevan seharusnya dilibatkan sejak awal dalam pengembangan kurikulum, untuk memastikan rasa memiliki dalam implementasinya.
Melanjutkan membaca “Integrasi Nilai Agama dan Umum di Perguruan Tinggi“