
Memilik perkembangan zaman yang begitu pesat, berbagai aspek dalam kehidupan telah bertransformasi dengan wajah dan karakter yang baru. Ilmu pengetahuan dan teknologi seperti air sungai yang terus menemukan titik rendah untuk mengalir lebih deras. Arus yang semakin liar hingga bahkan mampu menerobos tanggul-tanggul nalar buatan manusia.
Tak terkecuali pada aspek agama, sistem kepercayaan yang menjadi kebutuhan vital manusia juga memiliki progres perkembangan yang sangat pesat dan kompleks. Perkembangan dalam aspek agama tentu tidak terjadi dalam sistem pokok atau internal kepercayaan, namun terdapat pada unsur-unsur eksternalnya. Perubahan positif terlihat jelas dari semakin meningkatnya kualitas masyarakat dari yang semula agamis konservatif menuju agamis progresif.
Era disrupsi yang memiliki gebrakan-gebrakan besar seperti revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 benar-benar memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap ideologi atau kepercayaan manusia. Kemudian munculnya pandemi COVID-19 yang melanda hampir seluruh dunia dalam jangka waktu yang cukup panjang juga turut memberikan sumbangsih perubahan besar pada kehidupan manusia, khususnya dalam ranah keagamaan.
Keberagaman Agama di Indonesia
Indonesia memiliki enam agama yang diakui sah secara hukum. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), jumlah penduduk Indonesia pada bulan Juni 2021 mencapai 272,23 jiwa. Dari jumlah penduduk yang besar itu 86, 88% diantaranya adalah pemeluk agama Islam. Sementara sisanya 7,49% beragama Kristen Protestan, 3,09% beragama Katolik, 1,71% beragama Hindu, 0,75% beragama Buddha, 0,03% beragama Konghuchu dan sisanya yakni 0,04% menganut aliran kepercayaan.
Meski kebebasan beribadat dan memeluk agama telah dijamin oleh konstitusi (Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945) namun sampai sekarang masih banyak kita jumpai pelbagai masalah pelanggaran yang timbul akibat keberagaman ini. Rasisme dan konflik antar agama tumbuh semakin subur dipupuk dengan adanya perkembangan zaman.
Riset Setara Institute menyebutkan bahwa pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang paling banyak terjadi pada 2020 yakni tindakan intoleransi. Setidaknya ada 62 kasus KBB dalam kurun waktu setahun. Mencakup 32 kasus terkait pelaporan penodaaan agama, 17 kasus penolakan pendirian tempat ibadah dan 8 kasus pelarangan aktivitas ibadah. Kemudian 6 kasus perusakan tempat ibadah, 5 kasus penolakan kegiatan dan 5 kasus kekerasan.
Hal ini membuktikan bahwasanya pada masyarakat kita yang heterogen belum tercipta iklim toleransi yang baik. Melihat juga pada kondisi masyarakat yang sebenarnya masih belum sepenuhnya siap mengahdapi pelbagai perubahan besar menjadikan isu konflik antar agama ini sebagai gejolak yang terus timbul sebagai dampak negatif dari adanya perkembangan.
Pertemuan Lintas Iman
Sebagaimana sila ke-empat, maka musyawarah kekeluargaan seperti mengadakan pertemuan lintas iman adalah cara terbaik dalam memperbaiki serta mempererat persaudaraan dalam hidup beragama. Moderasi beragama yang menjadi ide brilian akan terealisasi dengan baik dan maksimal jika diterapkan dengan cara ini.
Namun mengingat letak geografis Indonesia yang begitu luas, ditambah peningkatan angka jumlah penduduk yang kian membludak kiranya memang tidak semua permasalahan seperti ini bisa selesai dengan pertemuan-pertemuan saja, perlu tindakan atau program lanjutan yang lebih kreatif dan menjangkau khalayak luas dalam rangka menciptakaan kehidupan yang damai antar umat beragama..
Seorang penulis buku sekaligus tokoh perdamaian dari Amerika Serikat, Jim Baton dalam sesi diskusi buku terbarunya tentang terorisme yang berjudul “Someone has to die” (Minggu 17/10/2021) mengatakan bahwa pertemuan lintas iman memiliki andil yang besar dalam menjaga perdamaian antar umat beragama. Salah satunya adalah menghindari adanya disinformasi ataupun miskomunikasi.
Bisa dikatakan bahwa kebanyakan api perpecahan yang timbul adalah karena sumbu pemikiran manusia tersulut kesalahpahaman dalam menerima informasi. Benturan-benturan antar kelompok agama atau kepercayaan yang terjadi di masyarakat sejatinya adalah benturan ketidaktahuan. Masing-masing dari mereka sama-sama tidak tahu tentang bagaimana kebenaran yang asli.
Derasnya arus informasi yang semakin mudah tersebar cenderung menjadikan masyarakat untuk menelan mentah-mentah informasi apa saja yang didapat kemudian dengan mudah menyebarkannya kembali tanpa melakukan telaah maupun tinjauan ulang. Tidak ada proses saring sebelum sharing.
Hoaks, ujaran kebencian dan narasi perpecahan sudah mewarnai hampir seluruh linimasa media sosial dan menjadi konsumsi sehari-hari bagi netizen. Maka pertemuan lintas iman dirasa sangat perlu dalam upaya meluruskan kesalahpahaman tersebut. Benang kusut informasi keagamaan yang telah bertaut dengan hoaks akan diuraikan dengan bijak dalam dialog antar agama.
Apalagi jika pertemuan ini dihadiri oleh tokoh pemuka agama yang notabenenya menjadi salah satu role mode masyarakat dalam beragama, pasti nantinya juga memiliki pengaruh dalam hal ini. Ketika seorang yang dianggap sebagai pemuka agama melaksanakan nilai-nilai toleransi dan moderasi, maka juga akan menarik masyarakat dari kelompok agamannya untuk ikut serta melaksanakan nilai-nilai positif tersebut.
Siapa yang harus memulai?
Sejatinya pertemuan lintas iman atau agama ini tidak harus dilakukan oleh para tokoh-tokoh pemuka agama. Siapa saja bisa terlibat tanpa harus ada tujuan khusus untuk membawa misi tertentu. Karena selain sebagai bentuk menjaga perdamaian antar umat beragama, secara tidak langsung kegiatan ini juga membawa kemanfaatan yang berdampak besar bagi persatuan dan kesatuan masyarakat kita yang heterogen.
Perbedaan ras, suku, jenis kelamin, usia, profesi, strata sosial hingga kelas ekonomi tidak membatasi adanya kegiatan ini. Bahkan bisa jadi pertemuan lintas agama yang ada pada masyarakat adalah dalam bentuk pergaulan sehari-hari, relasi hobi, dagang, bisnis, politik dan sebagainya.
Namun kiranya generasi muda yang dianggap memiliki pemikiran terbuka lebih berpotensi besar dalam menginisiasi adanya kegiatan-kegiatan yang melibatkan hubungan antar agama. Kreativitas pemikiran yang didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa dimanfaatkan secara maksimal. Nilai toleransi antar umat beragama bisa disebarluaskan melalui pertemuan lintas iman yang dikemas dalam event-event menarik dan bisa menjangkau khalayak yang lebih luas.