SANTRI – SOSOK AGAMAWAN CALON PEMIMPIN MASA DEPAN YANG BERPERADABAN

Penulis: Slamet Khoeron

Politik dan agama merupakan dua entitas yang saling melengkapi untuk memberikan hubungan yang positif. Politik tanpa agama fasiq dan agama tanpa politik lemah. Seorang ulama besar pengarang kitab fikih politik termasyhur, Imam Mawardi mengatakan bahwa politik yang dilandasi dengan agama akan baik dan agama jika disokong oleh politik akan kuat. Maka fungsi politik adalah sebagai penjaga agama dan pengatur urusan dunia. Karena pada dasarnya politik itu adalah wasilah (jalan, cara, alat), bukan tujuan (ghoyyah).

Mengenai politik, banyak asumsi orang yang menyatakan bahwa politik merupakan dunia korupsi, dunia perebutan kekuasaan, dan hal lainnya yang menjadi “momok” untuk dijauhi terutama bagi kalangan santri pondok pesantren. Anggapan demikian perlu dibenarkan karena baik buruknya politik tergantung siapa nahkodanya. Maka kaum santri yang diidentikkan sebagai kaum terpelajar harus “melek politik” dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang kotor. Perlu diketahui bahwa dalam sejarah mencatat bahwa keterlibatan kalangan pesantren di dalam politik sudah terjadi sejak dahulu kala. Hal tersebut dibuktikan dengan banyak dari kalangan pesantren yang ikut serta mendirikan dan mengembangkan organisasi politik Islam di Indonesia seperti halnya Masyumi, MIAI, PSII, dan Perti.

Politik terbuka untuk siapapun selama ia memiliki kualitas. Berhubungan sebagai seorang pemimpin, maka golongan pemimpin yang paling tepat adalah mereka yang lulus dari pondok pesantren atau sebut saja sebagai santri. Mengapa demikian? Peran santri sebelum kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan bahkan hingga saat ini tidaklah kecil. Peristiwa heroik perlawanan terhadap pemberontakan sisa-sisa penjajah di Surabaya menjadi momen yang tidak dapat terlupakan hingga diabadikannya sebagai hari besar yaitu Hari Pahlawan Nasional. Hal tersebut dilandasi dengan semangatnya para santri untuk mempertahankan NKRI meskipun bertaruhan dengan mati.

 Santri lahir dari rahim pesantren dengan kultur pendidikan yang mengedepankan semangat ke-Indonesia-an. Semboyan “cinta tanah air merupakan bagian dari iman” menjadi penguat untuk berjuang. Mempertahankan tanah air adalah bagian dari jihad fi sabilillah hingga dideklarasikan sebuah jargon bahwa “NKRI adalah HARGA MATI”. Hingga kurang dalam apa lagi nasionalisme seorang santri?

Alasan yang selanjutnya pentingnya sosok politikus dari santri adalah  ketinggian adab dan juga ilmunya. Sedikit mengupas makna santri, bahwa menurut Adi dalam artikel yang terbit pada laman dki.kemenag.go.id santri didefinisikan dari kata “Sun” yang bermakna matahari, dan “Three” yang bermakna tiga. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa santri merupakan orang yang berpegang pada tiga hal, yakni Iman, Islam, dan Ihsan. Pengertian tersebut mengungkapkan bahwa betapa tingginya makna seorang santri yang sangat patuh terhadap agama dan menjunjung nilai-nilai dunia maupun akhirat. Hal ini karena dalam sistem pembelajarannya sangat ditekankan untuk memiliki jiwa moral yang tinggi, memiliki jiwa yang berakhlakul karimah, dan memiliki jiwa yang spiritual tanpa meninggalkan aspek intelektualitasnya. Oleh karena itu, tidak menutup alasan lagi bahwa santri harus berperan dalam kemajuan bangsa salah satunya menjadi pemimpin tanpa meninggalkan karakternya.

Keunggulan lainnya, santri merupakan orang-orang yang mendalami Islam melebihi dari masyarakat umum, memiliki keimanan dan ketaatan yang tinggi. Maka santri adalah harapan generasi dan peradaban. Bukan hanya berpendapat, namun santri juga harus menjadi kontribusi yang nyata bagi masa depan umat dan bangsa. Santri tidak hanya sebagai kelompok yang berperan sebagai supporting semata, melainkan sebagai penggagas dan juga penggerak sebagaimana makna politik dalam Al-Qur’an yaitu amar ma’ruf nahi. Santri tidak boleh diam menyaksikan ketidakadilan di negeri ini. Mereka memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membawa bangsa Indonesia ke arah perubahan yang lebih baik.

Mengingat sejarah berdirinya Indonesia tak jauh dari peran kyai beserta kaum santri pondok pesantren,  maka santri di era saat ini harus mampu menjadi kader-kader untuk mewujudkan negeri “baldatun thayyibatun wa robbun ghafur” atau negeri yang subur, makmur, adil, dan aman. Jangan sampai membiarkan bangsa ini dipimpin oleh orang-oirang yang tidak tepat. Pasalnya, banyak orang yang menjalankan kekuasaanya tanpa memperhatikan nilai syariat agama, tanpa mengenal halal haram, bahkan lebih parahnya mengesampingkan aspek kemanusiaan.

Maraknya beberapa penyalahgunaan jabatan (abuse of power) dapat diminimalisir salah satunya dengan terjunnya santri ke dalam dunia politik. Dengan begitu, diharapkan santri mampu mengemudikan atau mengontrol politik agar tetap pada jalur yang benar. Karena kembali lagi bahwa pada dasarnya politik itu netral, baik dan buruknya tergantung siapa yang memegangnya. Namun ketika tidak adanya keikutsertaan umat islam umumnya dan santri khususnya dalam percaturan politik, yang terjadi adalah memperbesar peluang masuknya program politik yang tak berkelindan dengan islam. Hingga pada akhirnya proyek liberal sekular mengusai sistem kehidupan masyarakat.

Politik harus dijalankan dengan tetap memperhatikan etika, sopan santun politik dan dijalankan sesuai kaidah politik moral yang kemudian bisa membimbing para pemegang amanah kekuasan agar tidak keluar dari moral agama Islam. Inilah pentingnya kepemimpinan politik santri untuk selalu mengawal berbagai urusan dan berbagai masalah umat dengan pandangan dan solusi Islam.  Kalau santri tidak ada yang masuk politik lalu dari golongan mana yang akan memimpin bangsa?

Santri yang juga bagian dari agen of change tidak cukup hanya dengan menekuni kitab-kitab klasik dan keagamaan belaka, akan tetapi harus memiliki jiwa nasionalisme dan memahami dunia perpolitikan. Mengingat sejarah periode islam setelah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, yaitu masa Khulafaurasyidin, hingga Dinasti Ayyubiyah dan lainnya, banyak pemimpin (umara’) yang sebenarnya background mereka adalah seorang ulama. Seorang pemimpin yang sekaligus juga paham dalam ilmu agama, maka kebijakannya disandarkan terhadap Al-Qur’an, As-Sunnah dan kemaslahatan bagi rakyat. Dari sini santri juga harus mampu memasuki kancah politik untuk menggemakan kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat. Karena tujuan utama dari peran santri bukan untuk menggadaikan sebuah idealisme dan spiritualisme demi hal-hal yang rendah, bukan juga mencari proyek atau merusak tatanan yang sudah. Namun tidaklah lain karena demi kemaslahatan umat dan bangsa.

Dengan kepemimpinan seorang santri yang menjunjung tinggi moralitas seperti yang dicontohkan Nabi SAW, yakni jujur, cerdas, amanah, menyampaikan atau mampu memenuhi hak-hak rakyat, berakhlakul karimah, memiliki jiwa amar ma’ruf nahi munkar, memiliki ilmu yang mendalam diharapkan masa depan dapat terbangun lebih baik lagi. Kemajuan bangsa tidak luput dari kualitas seorang pemimpin. Maka menjadi pemimpin yang tepat adalah solusi untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan, sebagaimana rencana pembangunan jangka panjang nasional Indonesia. Maka sekali lagi, santri tidak boleh berdiam diri, bangkitlah dari keterpurukan negara ini. Satu ucapan untuk mewakili, Jihad Santri Jayakan Negeri!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *