Perjuangan Mengubah Mindset [1]

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Tulisan sederhana ini berisi sebagian kecil pengalaman Saya sebagai Accredited Trainer Living Values Education (LVE) dan Konsultan pendidikan karakter ketika memberikan pelatihan dan pendampingan kepada para guru di madrasah sekitar tahun 2012. Paling tidak ada dua pengalaman yang Saya tulis dan refleksikan melalui buku ini. Tulisan reflektif ini bagian dari implementasi proverb Stephen R. Covey, “Reading without reflecting is like eating without digesting”, membaca tanpa melakukan refleksi sama dengan makan tanpa dicerna. Apa yang terjadi jika makan yang masuk dalam tubuh kita tidak dicerna? Semua makanan tersebut tidak dapat menghasilkan energi dan gizi yang dibutuhkan tubuh kita. Bagaimana dengan bacaan yang tidak direfleksikan? Bacaan tersebut hanya sekedar kumpulan data yang tidak mampu menghasilkan ide, gagasan atau inspirasi untuk perbaikan ke depan.

Pengumuman, Pak Inud sudah Jinak!
Pengalaman pertama ketika Saya memberikan pelatihan LVE bagi guru-guru dari Pesantren Al-Muayyad Surakarta. Di antara peserta pelatihan ini adalah Pak Inud, nama panggilan dari Pak Zainuddin, yang merupakan guru dan pengasuh pesantren senior. Dalam sebuah testimoni yang dibukukan PUSAD Paramadina berjudul Success Story, Pak Inud menceritakan proses perubahan yang dia alami sebagai seorang guru. Menurutnya, ada tiga fase yang dia lalui ketika menjadi seorang guru. Fase pertama adalah ketika dia dikenal sebagai guru paling galak. Semua santri tidak ada yang berani bertemu dengannya, jangankan bertanya, ketika Pak Inud lewat pun hampir semua santri minggir teratur. Kesan semua alumni Pesantren Al-Muayyad terhadap Pak Inud adalah sebagai guru paling galak dan sangar, apalagi mata pelajaran yang diampu cukup berat seperti nahwu, sharaf dan balaghah. Bahkan, ada wali santri yang juga alumni di pesantren ini sampai sekarang masih trauma mendengar nama Pak Inud.

Fase kedua disebut Pak Inud sebagai trial and error. Fase ini antara lain ditandai oleh adanya kesadaran bahwa apa yang dia lakukan selama ini sebagai guru kurang tepat sebab ketika santri belajar karena ketakutan dan terpaksa menjadikan materi yang dia sampaikan tidak dapat mereka tangkap dan pahami. Dia mendapat saran dari Gus Dian Nafi’, pengasuh Pesantren Al-Muayyad juga, agar mengubah karakter galak menjadi lembut dan menggembirakan. Pak Inud berupaya mengubah karakter yang dia miliki namun lebih sering gagal sehingga kembali ke karakter asal, yaitu galak dan sangar. Pada akhir bulan juli 2011 Pak Inud mendapat kesempatan Training LVE di Pesantren Kyai Ageng Sela Klaten di mana Saya sebagai trainernya. Pak Inud mengikuti seluruh sesi pelatihan selama tiga hari dengan penuh semangat sebab menurutnya, pelatihan ini adalah yang sangat ditunggu-tunggu selama ini.

Melalui pelatihan ini, semua peserta dibiasakan dengan nilai-nilai positif dengan pendekatan eksperiensial dan partisipatif. Peserta dilatih membuat aktifitas untuk menghidupkan nilai. Dengan penuh antusias Pak Inud mulai menyadari bahwa setiap anak mempunyai kualitas positif yang perlu didekati menurut keunikan masing-masing. Selama pelatihan Pak Inud mulai berlatih merangkai beberapa kata hingga menjadi lagu-lagu penyemangat dan sarat dengan penanaman nilai. Pak Inud mulai mendapatkan banyak alternatif strategi pembelajaran yang variatif berbasis nilai. Melalui kegiatan ini dia mulai memperhatikan sifat dan karakter siswa dan mengenal satu persatu dan menentukan strategi pembelajaran yang tepat.

Sebelum pelatihan ditutup, setiap peserta diminta membuat rencana tindak lanjut untuk menghidupkan nilai-nilai positif secara personal dan secara institusional sesuai dengan peran masing-masing di madrasah. Setelah pelatihan Saya melakukan pendampingan di Pesantren Al-Muayyad setiap sebulan sekali. Ketika proses pendampingan setiap guru yang ikut pelatihan LVE menyampaikan pengalaman menghidupkan nilai di tempat masing-masing. Setelah itu mereka membuat rencana perubahan untuk sebulan berikutnya agar ketika proses pendampingan ada kemajuan yang disampaikan baik secara personal di tempat tinggal masing-masing maupun sebagai guru di madrasah. Melalui proses ini akhirnya Pak Inud merasakan adanya perubahan. Hal ini tampak dari komentar para santrinya yang menganggap Pak Inud sudah berubah lebih akrab, sehingga banyak di antara santri yang berani curhat padanya.

Ada satu kisah menarik yang diceritakan Pak Inud ke Saya ketika ada santriwati yang mau pulang ke rumah, Pak Inud nitip salam kepada ibunya yang dulu juga sebagai santrinya di Pesantren Al-Muayyad. Sebelum santriwati tersebut pulang Pak Inud berkata, “Tolong sampaikan salam buat ibumu dan katakan sekarang Pak Inud sudah jinak”. Setelah kembali ke pesantren santriwati itu menyempatkan ke kantor Pak Inud. Kata santriwati tersebut, “Pak Inud, Saya menyampaikan salam kembali dari ibu”. “Wa-’alaikumussalam”, jawab Pak Inud. Santri tersebut kemudian menceritakan tentang komentar ibunya mengenai Pak Inud. ”Pak, ibu bilang “kamu kok bisa mendapat titipan salam dari Pak Inud, apa kamu dikenal? Apa kamu nggak takut? Ibu saja sampai sekarang masih takut kok, hingga kalau urusan ke sana biar bapakmu saja”. Pak Inud kemudian bertanya “Lha apa kamu tidak bilang bahwa Pak Inud sekarang sudah jinak?” Santriwati tersebut menjawab “Ya sudah pak, sekarang Pak Inud itu kalau ngajar semangat sekali, banyak variasi dan sangat menyenangkan”.

Melanjutkan membaca “Item Blekethek!

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *