Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Sains dan teknologi seharusnya dikembangkan untuk lebih merawat dan melestarikan alam dan keberlangsungan hidup umat manusia. Dengan sains dan teknologi manusia seharusnya hidup lebih damai, bahagia dan sejahtera. Namun, agaknya harapan tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam kenyataan, sebab faktanya kita masih menjumpai dan merasakan dampak negatif dari perkembangan sains dan teknologi di dunia modern. Kita menyaksikan banyak sekali kerusakan alam dan lingkungan baik di darat, air dan udara akibat pengembangan sains dan teknologi yang tidak dilandasi oleh kesadaran nilai dan spiritualitas. Hal ini disebabkan oleh keserakahan dan ketamakan manusia yang cenderung menjadikan alam sebagai obyek semata sehingga dieksploitasi dan dieksplorasi untuk tujuan jangka pendek. Kekayaan alam dikeruk semaunya sendiri tanpa mempertimbangkan efek jangka panjang, yang dipikirkan hanyalah keuntungan material semata. Hal ini setidaknya pernah diingatkan oleh pemikir modern seperti Ziauddin Sardar dalam The Touch of Midas: Science, Values, and Environment in Islam and the West dan Seyyed Hossein Nasr dalam Knowledge and The Sacred.
Sains dan teknologi seharusnya dikembangkan untuk lebih merawat dan melestarikan alam dan keberlangsungan hidup umat manusia.
Dr. Muqowim, M. Ag.
Kedua tokoh tersebut mengingatkan pentingnya menekankan dimensi nilai dan spiritual ketika mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi era modern sebab ketika fokusnya hanya pada manusia saja, kurang mempertimbangkan kelestarian alam, muncul berbagai bencana. Kita banyak menyaksikan bencana banjir, longsor, abrasi, badai dan polusi yang disebabkan oleh perilaku manusia itu sendiri. Perlakuan manusia yang negatif terhadap alam “akan direspon” negatif oleh alam juga, sebaliknya ketika manusia memperlakukan alam secara positif, maka alam juga akan merespon positif. Setidaknya hal ini tampak dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Masaru Emoto dalam The Power of Water. Dalam kajian yang dilakukan Emoto terhadap air yang diambil dari berbagai penjuru dunia di laboratorium miliknya, ternyata air merespon perlakuan yang diberikan manusia. saat kita memperlakukan air dengan cara yang baik dan positif baik melalui tindakan, kata-kata ataupun tulisan, ketika dicek di laboratorium, bentuk air tersebut tampak beraturan, indah dan enak dilihat. Sebaliknya, air yang diperlakukan secara negatif baik melalui tindakan, ucapan maupun tulisan, bentuk air tersebut “tidak karuan”, tidak beraturan, dan seperti monster.
Apa yang dilakukan oleh Emoto di Jepang tersebut sebenarnya merupakan “tanda” sekaligus warning agar kita lebih positif ketika memperlakukan lingkungan alam. Sains dan teknologi yang kita kembangkan seharusnya mempertimbangkan kelestarian alam, bukan mengeksploitasi untuk kepentingan material dan jangka pendek. Peringatan ini hakikatnya tidak hanya untuk para saintis dan teknolog saja, namun juga berlaku untuk semua orang. Setiap hal yang kita lakukan terhadap alam seharusnya dilakukan lebih berbasis nilai dan spiritual. Kita perlu menyadari bahwa kita adalah mikrokosmos, bagian dari makrokosmos, yaitu alam semesta itu sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, hal-hal yang kita anggap kecil dan sepele dalam memperlakukan alam boleh jadi menjadi penyebab keruskan alam dan terjadinya bencana. Mungkin kita pernah membuang sampah tidak pada tempatnya, menggunakan bahan kimia di air dan tanah, memakai listrik dan air yang kurang tepat, serta menebang pohon yang tidak diimbangi dengan reboisasi. Semua itu pada dasarnya membawa dampak negatif terhadap lingkungan alam. Berdasarkan hal tersebut, agar lingkungan alam lebih terjaga dan lestari, kita perlu literasi sains.
Literasi sains (science literacy) berasal dari dua kata yaitu literatus yang berarti ditandai dengan huruf, melek huruf atau berpendidikan, dan kata scientia yang berarti memiliki pengetahuan. Menurut Paul de Hurt dari Stanford University literasi sains artinya tindakan untuk memahami sains dan mengaplikasikannya bagi kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan definisi yang disampaikan de Hurt tersebut, menurut National Science Teacher Association (NSTA), seseorang dianggap mempunyai literasi sains jika dia menggunakan konsep sains, mempunyai keterampilan proses sains untuk dapat menilai dan membuat keputusan sehari-hari ketika dia berhubungan dengan orang lain, lingkungan dan memahami interaksi antara sains, teknologi dan masyarakat, termasuk perkembangan sosial dan ekonomi. Dengan pengertian ini, literasi sains tidak sebatas pada pengetahuan kognitif tentang sains semata namun juga harus diterapkan dalam kehidupan nyata.
Sementara itu, menurut OECD, literasi sains didefinisikan sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan data untuk memahami alam semesta dan membuat keputusan dari perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia. Agak sedikit berbeda dengan OECD, National Science Education Standards menegaskan “scientific literacy is knowledge and understanding of scientific concepts and processes required for personal decision making, participation in civic and cultural affairs, and economic productivity. It includes specific types of abilities”. Dengan pengertian ini, literasi sains tidak sekedar untuk kepentingan personal tiap orang saja namun harus digunakan untuk ikut aktif memecahkan problem realitas sekitar. Selain itu, dengan literasi sains seharusnya menjadikan kita mempunyai kesadaran tentang pentingnya merawat lingkungan alam mulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari sampai hal-hal besar seperti “menggarap” alam untuk kesejahteraan manusia.
Kesadaran ini seharusnya dimulai dari diri kita, tidak menggantungkan orang lain. Ada sebuah renungan berjudul “toh hanya saya yang melakukan”. Ketika kita membuang sampah bungkus permen berupa plastik tidak pada tempatnya, kita mungkin berpikir bahwa tidak mungkin terjadi banjir akibat sampah plastik bungkus permen yang kita buang, toh hanya sebungkus saja dan saya sendiri yang melakukan. Pernahkah kita berpikir bahwa ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan orang juga mungkin berpikir dengan cara yang sama dengan kita. Mereka membuang bungkus permen di sembarang tempat juga. Apa dampaknya? Ribuan atau jutaan sampah plastik bungkus permen ada di mana-mana, di selokan, sungai, dan gorong-gorong sehingga menyebabkan air macet, terjadilah banjir bandang yang dapat menenggelamkan banyak pemukiman warga. Semua dari pemikiran kita yang sangat sepele, “toh hanya saya yang melakukan”. Karena itu, untuk mengatasi bencana dahsyat tersebut juga harus dimulai dari diri sendiri, sekarang juga dan dari hal kecil dan sepele. Literasi sains harus dimulai sejak anak usia dini, dilakukan secara sinergis-kolaboratif antara lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.