Direktur Rumah Kearifan: Nilai Harus Dicontohkan, Bukan Diajarkan

Saat ini, di Indonesia sedang menerapkan kurikulum baru yang disebut dengan Kurikulum Merdeka (KURMER). Di antara inti dari kurikulum baru tersebut adalah pentingnya mencetak profil Pelajar Pancasila. Ada enam indikator profil Pelajar Pancasila yaitu beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, mandiri, gotong royong, kreatif, dam bernalar kritis. Dalam konteks Kementerian Agama, KURMER juga harus menghasilkan pelajar dengan karakter rahmatan lil-‘alamin atau Profil Pelajar Rahmatan lil-‘Alamin. Setidaknya ada sepuluh karakter yang harus dibiasakan yaitu ta’adub, tawasuth, tawazun, tasamuh, ishlah, muwathanah, syura, qudwatiyyah, tathawwur, dan ibtikar. Dalam konteks Pendidikan, semua karakter tersebut seharusnya dilaksanakan, bukan sekedar diajarkan. Sebab, sejauh ini semua konsep tersebut sudah ada dalam ajaran Islam, hanya saja baru sebatas ide atau gagasan. Karena itu, diperlukan sebuah pendekatan yang tepat dalam pembiasaan karakter. Di antara pendekatan dalam Pendidikan karakter adalah LVE (Living Values Education).

Berdasarkan pemikiran di atas, Program Studi PAI FTIK UIN KHAS Jember mengadakan kegiatan Seminar Nasional tentang Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Living Values Education (LVE) pada tanggal 21 Juni 2023. Kegiatan ini diperuntukkan bagi semua mahasiswa yang menjadi pengurus HMPS PAI. Dengan seminar ini diharapkan semua mahasiswa mempunyai perspektif baru dalam memahami persoalan karakter sebab mereka semua berada di FTIK yang bergerak di bidang pendidikan di mana fokus utamanya adalah tentang karakter atau akhlak. Di antara pendekatan yang perlu mereka ketahui adalah Living Values Education (LVE) yang di-launching oleh UNESCO PBB tahun 1996. Dalam kegiatan ini, sebagai pembicara adalah Ziadatul Husnah, M.Pd., seorang Accredited Trainer LVE yang juga sebagai Direktur Rumah Kearifan (House of Wisdom).

Dalam kesempatan ini Ziadatul Husnah menegaskan beberapa poin penting. Pertama, inti pendidikan dalam Islam hakikatnya adalah menyempurnakan akhlak mulia. Hal ini sesuai dengan misi utama Rasulullah yaitu li-utammima makarim al-akhlaq. Karena itu, seluruh proses dan komponen dalam pendidikan seharusnya untuk membiasakan karakter yang terpuji. Dalam konteks normatif, sebagaimana terdapat dalam ajaran Islam, tujuan dan materi dalam pendidikan pada dasarnya sudah lengkap dan komprehensif, hanya saja secara historis manifestasi keduanya sangat tergantung dan dipengaruhi oleh kapasitas, kualitas, dan kompetensi pelaku Pendidikan [orang Islam itu sendiri].

Dalam konteks keindonesiaan, semua lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, sedang menerapkan kurikulum baru yang dikenal dengan Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka. Fokus dari kurikulum baru ini sebenarnya terkait dengan penguatan pèndidikan karakter dan softskill. Hanya saja, sejauh ini karakter dan softskill cenderung lebih dipahami secara kognitif, transfer of knowledge, bukan pada aspek afektif dan psikomotorik, transfer of values, setidaknya dalam dataran praktis. Karena itu, pembiasaan karakter melalui kurikulum tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak terutama para pemangku kepentingan bidang pendidikan.

Dalam seminar ini, Ziadatul Husnah menawarkan sebuah pendekatan yang pernah diperkenalkan oleh UNESCO yang dikenal dengan LVE (Living Values Education). Menurut pendekatan ini, karakter harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari atau dihidupkan secara nyata, bukan berhenti pada tingkatan wacana yang hanya diajarkan. Mengacu gagasan Thomas Lickona, ada tiga dimensi yang perlu diperhitungkan dalam pendidikan karakter yaitu knowing the good, feeling the good, dan doing the good. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidik, sebab dalam konteks pendidikan karakter, serorang pendidik harus menjadi living model, sosok yang memberikan teladan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat dilihat oleh peserta didik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *