Konsep dan Praktik Pembelajaran Seharusnya Berubah! [2]

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Proses Reflektif
Bagi praktisi, pemikir pendidikan dan psikologi, pasti sangat familiar dengan tokoh Jean Piaget. Dia adalah tokoh psikologi kognitif yang teorinya mempengaruhi dunia psikologi dan pendidikan sampai sekarang. Tapi, tahukah Anda, bahwa kehebatan teori yang dia hasilkan bertolak dari proses reflektif secara terus-menerus dari “peristiwa biasa”, daily life activities, yang dialami anak-anaknya? Dia tekun mencatat setiap tahapan penting dari perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya. Berbagai catatan personal inilah yang dia refleksikan secara serius sehingga mampu menghasilkan sebuah teori psikologi kognitif. Jika Piaget “saja” mampu menghasilkan teori psikologi dan pendidikan berdasarkan aktifitas harian anak-anaknya, maka kita pun tentu juga bisa melakukan hal yang sama. Teori yang kita hasilkan pun boleh jadi akan berbeda sebab ruang dan waktunya berbeda. Yang perlu kita lakukan adalah melakukan proses refleksi secara mendalam dari yang kita alami dan ketahui. Mengikuti saran Klaus Schwab, penggagas Revolusi Industri 4.0, kita perlu menyediakan “time to pause, time to reflect, dan time to engage in meaningful conversation” untuk merefleksikan semua pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki.

Steven Covey pernah berkata “reading without reflecting is like eating without digesting”, yang kurang lebih artinya membaca tanpa melakukan refleksi ibarat makan tanpa dicerna. Beragam bacaan yang kita miliki boleh jadi tidak akan menjadi gagasan atau ide cemerlang yang menghasilkan perubahan ke depan jika tidak pernah kita refleksikan secara serius. Refleksi berarti kita melakukan perenungan, mencari makna dari bacaan yang kita miliki, dan mengambil pelajaran dikaitkan dengan problem kekinian. Ibarat makanan, jika tidak ada pencernaan, maka makanan tersebut tidak bisa menghasilkan energi dan gizi dalam tubuh kita. Makanan tersebut hanya lewat begitu saja dari mulut sampai kita keluarkan. Bagaimana dengan bacaan kita? Semua yang kita baca laksana tumpukan data atau pengetahuan tapi tidak akan menjadi gagasan yang menggerakkan, ruh yang menginspirasi atau memotivasi menuju perubahan. Karena itu, refleksi menjadi sangat penting jika kita mau melakukan perubahan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada. Dalam konteks ini, menarik pernyataan dari salah seorang futurolog kenamaan Alvin Toffler terkat dengan makna literasi.

Menurut Toffler, “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Makna dari statemen tersebut kurang lebih adalah yang dimaksud dengan orang yang buta huruf pada abad ke-21 bukanlah orang yang tidak dapat membaca dan menulis, namun mereka yang tidak dapat melakukan proses learning, unlearning dan relearning. Learning dapat dimaknai sebagai proses belajar, mengkonstruksi (constructing), mengumpulkan pengetahuan dan pengalaman sebanyak mungkin untuk menghadapi kehidupan nyata. Proses constructing ini tidak hanya melalui bacaan semata namun juga melalui pengindraan lain seperti melihat, mendengar, meraba, dan mencium. Hasil dari proses tersebut berupa pengetahuan dan pengalaman. Secara normal, semakin panjang usia semakin kaya pengetahuan dan pengalaman. Hanya saja, banyaknya pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki tersebut belum tentu membuat kita lebih dewasa dan matang, sebab panjangnya usia ini baru sebatas chronological age (usia kronologis), bukan mental age (usia mental). Usia mental yang kita miliki belum tentu berbanding lurus dengan usia kronologis kita. Usia mental terkait dengan kematangan dan kedewasaan seseorang seperti kemampuan mengambil keputusan, menyelesaikan masalah, membangun komunikasi, kemampuan bekerjasama, toleran, menghargai, bertanggung jawab, komitmen dan berintegritas. Orang yang secara kronologis berusia 60 tahun belum tentu usia mentalnya juga 60 tahun. Boleh jadi usia kronologisnya 60 tahun tapi usia mentalnya baru 20 tahun. Sebaliknya, boleh jadi ada orang yang secara kronologis baru berusia 20 tahun, namun usia mentalnya setara dengan 60 tahun. Karena itu, kita mungkin ingat ada istilah “tua itu pasti dan dewasa itu pilihan”. Pilihan terkait dengan kemampuan membuat alternatif yang terbaik. Hal ini dilakukan dengan proses unlearning.

Gambar tokoh pendidikan dunia (dari kiri): Maria Motessori; Jean Piaget; Rabindranat Tagore; Ki Hadjar Dewantara; K.H. Ahmad Dahlan; K.H. Hasyim Asy’arie

Unlearning dapat dimaknai sebagai proses deconstructing, yaitu melakukan refleksi dan kontemplasi atau perenungan atas pengetahuan dan pengalaman yang telah kita miliki. Dalam QS. Al-Hasyr ayat 18, proses unlearning adalah kegiatan wal-tandzur, merenungkan, mengkaji, mengevaluasi dan menganalisis atas pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Banyaknya jumlah pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki tidak akan bermakna dan menggerakkan diri kita menuju perubahan kalau tidak kita sadari, kita renungkan, dan kita jadikan sebagai gagasan untuk mengubah diri. Yang pertama perlu kita lakukan adalah melakukan self-awareness, kesadaran diri tentang semua yang pernah kita alami. Kesadaran diri dapat dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana misalnya kita berhenti sejenak melihat apa yang dapat diambil nilainya dari kegiatan mulai bangun tidur sampai mau tidur lagi. Kita bisa membuat daftar aktifitas harian (daily activities list) dengan klasifikasi paling penting (the most important), penting (important), kurang penting (less important) dan tidak penting (unimportant). Kita juga bisa kelompokkan kegiatan dengan aktifitas rutin dan pengembangan (hal-hal baru). Dari semua aktifitas harian kita, kita bisa juga kategorisasikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan non-pendidikan. Proses unlearning ini hakikatnya merupakan cara memetakan [mapping] dan mengendalikan diri [self-control] agar kita dapat lebih jauh mengenal dan memaknai setiap yang kita alami dan ketahui. Dengan demikian, kita lebih menyadari apakah kita sudah mempunyai visi hidup atau belum. Kita juga tahu apakah kita lebih berorientasi jangka pendek, di dunia, atau jangka panjang, di akhirat. Wal-akhiratu khairul-laka minal-ula. Dari proses kedua ini juga kita dapat menganalisis setiap yang kita alami dari aspek penyebab, akibat yang ditimbulkan, sampai jalan keluar yang dapat diambil. Proses kedua inilah yang kemudian mengantar kita pada proses ketiga yaitu relearning.

Relearning adalah proses rekonstruksi atau li-ghad dalam QS al-Hasyr ayat 18. Proses ini menjadikan kita punya dream, goal setting, cita-cita dan planning tentang apa yang akan dilakukan. Semakin jelas tujuan dan rencana hidup yang kita buat, semakin jelas langkah yang akan ditempuh. Sebaliknya, semakin tidak jelas rencana hidup, semakin tidak jelas arah yang akan ditempuh. Bukankah ada sebuah renungan “Gagal membuat rencana sama dengan merencanakan kegagalan”? Kita bisa belajar dari John Goddard yang berhasil mewujudkan 127 mimpi-mimpi yang dibuat di usia 15 tahun dan Merry Riana, sebagaimana dituangkan dalam bukunya Mimpi Sejuta Dolar, yang berhasil mewujudkan mimpinya terbebas dari masalah keuangan di usia 30 tahun, ternyata di usia 26 tahun mimpinya terwujud dengan punya penghasilan 1 juta dolar. Kedua orang ini sangat jelas ketika membuat rencana hidup.

Napoleon Hill pernah mengatakan, jika kita ingin tiap hari ada keajaiban (miracle) dalam diri kita, maka milikilah satu hal, yaitu KEYAKINAN (belief). Keyakinanlah yang membuat kita mempunyai dream. Keyakinanlah yang membuat kita mantap melangkah sebab punya arah mau kemana. Semakin jelas mimpi kita, maka semakin yakinlah kita dalam menghadapi hidup. Langkah kita semakin jelas. Strategi juga makin jelas. Sebuah survey tentang mimpi menunjukkan, hanya 3% orang yang punya mimpi dan ditulis. Sepuluh tahun berikutnya kelompok ini menjadi orang yang sangat sukses. 10% orang punya mimpi tapi tidak ditulis, sepuluh tahun berikutnya menjadi orang sukses. 60% orang punya mimpi tapi tidak jelas, setelah sepuluh tahun menjadi orang biasa saja. Dan 27% orang tidak punya mimpi, ketika 10 tahun berikutnya dicek menjadi orang gagal. Secara personal dan institusional kita bisa mewujudkan mimpi kita asal ditulis dan diyakini berhasil. Dalam sebuah lembaga, apapun lembaga tersebut, asalah semua elemen mempunyai satu mimpi maka akan terwujud. Namun, jika hanya ada satu elemen yang punya mimpi dan yakin sedangkan elemen lain tidak yakin, maka mimpi tersebut sulit diwujudkan.

Tiga hal yang sebutkan di atas, mulai dari learning, unlearning dan relearning, hakikatnya merupakan proses mengubah mindset menjadi pribadi tercerahkan, unggul dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Apa yang kita alami saat ini, nasib kita hari ini tidak lain adalah wujud mindset yang kita miliki. Today is yesterday. Apa yang kita pikirkan dan lakukan saat ini akan mempengaruhi sikap, tindakan, dan langkah di masa depan. Tomorrow is today. Untuk menghadapi masa depan diperlukan growth mindset dengan ciri mau belajar dan mau berubah. Orang yang mempunyai mindset perubahan lebih berorientasi masa depan, bukan masa lalu. Karena itu, dia yakin dengan masa depan, sebab masa lalu sudah pasti tidak dapat diubah, sedangkan masa depan terghantung apa yang dilakukan saat ini. Hanya orang yang yakin yang menjadi pemenang dan selalu beruntung. Rhenald Kasali pernah mengatakan jika kita ingin menjadi orang hebat, maka ubahlah pola berpikir kita dari “SEEING IS BELIEVING” menjadi “BELIEVING IS SEEING”. Akhirnya, ketiga hal mengubah mindset di atas sebenarnya merupakan penerapan prinsip KAIZEN, yaitu continuous quality improvement, peningkatan kualitas diri secara berkelanjutan. Dalam kaizen kita mengenal langkah PDCA, yakni Plan, Do, Check and Action yang seharusnya selalu kita laksanakan di mana pun berada, apa pun profesi kita. Hal yang sama juga dapat diterapkan dalam hidup kita, bahwa hidup harus terus berubah lebih baik. Maka, setiap pergantian waktu baik tahun, bulan, bahkan hari kita memulai babak baru mengubah nasib masa depan dengan mengubah mindset dengan proses selfawareness, selfunderstanding, selfcontrol, dan selfchanging. Dalam konteks pembelajaran, pernahkah kita berhenti sejenak memetakan dan merenungkan semua hal terkait dengan praktik pembelajaran kemudian melakukan perenungan dan refleksi terhadap aktifitas tersebut untuk konteks pengembangan konsep dan praktik pembelajaran sehingga kita mampu mereview teori-teori pembelajaran yang saat ini ada dan pada akhirnya menawarkan teori baru pembelajaran.

Melanjutkan membaca “Siklus Pengembangan Teori

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →