Menjadi Otentik

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Setiap manusia diciptakan oleh Allah dalam kondisi otentik. Secara lughawi, kata otentik mempunyai beberapa makna yaitu dapat dipercaya, sah, asli dan tulen. Kata otentik bermakna dapat dipercaya sebab mengacu pada sifat yang apa adanya, tidak dibuat-buat, dan tidak ditambah ataupun dikurangi. Hal ini erat kaitannya dengan karakter kejujuran (honesty). Orang yang jujur, berkata sesuai dengan kondisi sebenarnya, maka dapat dipercaya dan accountable. Ketika kita menampilkan diri senyatanya, maka orang akan percaya. Kata otentik dikaitkan dengan makna sah sebagai lawan kata tidak sah, sebab otentik merujuk pada kondisi keaslian saat dikeluarkan di awal, belum ada manipulasi atau “difotokopi”. Karena itu, ijazah yang difotokopi harus dilegalisasi agar sah sebagaimana aslinya. Kata absah juga dapat kita artikan belum adanya campur tangan manusia. Sementara itu, kata otentik bermakna asli merujuk pada kondisi yang belum dijamah dan tercemar oleh sesuatu yang bersifat material-duniawi, masih pristine, genuine, natural, organic dan baby face. Akhirnya kata otentik diartikan dengan tulen mengacu pada konteks seperti apa adanya.

Setiap manusia diciptakan oleh Allah dalam kondisi otentik.

Dr. Muqowim, M. Ag.

Menurut Merriam-Webster, kata otentik identik dengan not false or imitation, real dan actual. Ini berarti orang yang otentik bermakna penuh dengan kebenaran, bukan kepalsuan. Diri yang otentik bermakna menjadi diri sendiri, tidak perlu menjadi atau meniru orang lain. Dengan meniru orang lain kita sebenarnya tercerabut dari akar dan potensi diri kita sendiri. Pribadi yang otentik menampilkan diri apa adanya, apa yang ditampilkan baik melalui perkataan, tulisan atau tindakan itulah yang senyatanya, bukan sesuatu yang dibuat-buat. Tidak ada yang disembunyikan dari diri yang otentik. Apa yang tampak atau diekspresikan di luar merupakan cerminan diri yang di dalam, tidak menimbulkan banyak penafsiran. Dalam konteks sekarang otentik dapat dianalogkan dengan integritas. Kepribadian yang ditampilkan merupakan wujud karakter apa adanya, integrasi antara body, mind and spirit. Karena itu, otentik berarti “worthy of acceptance or belief as conforming to or based on fact, conforming to an original so as to reproduce essential features, and made or done the same way as an original”.

Dalam konteks kelembagaan kita sering mendengar istilah “bonafide”, “certified”, dan “genuine”. Lembaga yang bonafide artinya lembaga yang mempunyai banyak kelebihan dan keunggulan dibandingkan dengan lembaga lain. Lembaga model ini berkarakter istimewa, mempunyai tradisi unggul yang lama diterapkan, sudah teruji oleh waktu, mampu melewati berbagai ujian, rintangan dan tantangan. Di saat lembaga lain mudah jatuh, turun, bahkan kolaps, lembaga bonafide masih mampu bertahan dan eksis, bahkan menawarkan keunggulan di tengah krisis. Pribadi yang bonafide seharusnya juga demikian, yaitu pribadi yang kuat, stabil, selalu menampilkan kualitas, tidak mudah menyerah di tengah arus perubahan dan disrupsi. Kita mempunyai karakter resiliens dan persisten di tengah badai kehidupan. Kita mampu melewati setiap ujian dan tantangan. Dalam situasi paling sulit saja dapat bertahan apalagi situasi normal. Dengan demikian, menjadi otentik berarti menjadi diri yang tahan banting dan sudah teruji dalam segala kondisi.

Secara institusional otentik dikaitkan dengan kata certified, tersertifikasi. Keunggulan yang kita miliki tidak berdasarkan pandangan sepihak yang lebih bersifat subyektif, namun sudah diverifikasi dan dikroscek oleh orang lain sehingga mendapatkan pengakuan. Dalam konteks sertifikasi kita melakukan penilaian subyektif yang disebut dengan self-evaluation dan mengisi borang yang berisi daftar bukti terkait semua dimensi yang kita miliki agar mudah dilihat atau dicek oleh orang lain. Sering kita kita jumpai dalam konteks sertifikasi ada sejumlah lembaga yang terkesan “sibuk menyiapkan bukti” yang sebenarnya tidak pernah dilakukan. Lembaga model ini “bekerja siang malam untuk menyulap bukti” sebelum proses sertifikasi agar “tampak bagus”. Lembaga seperti ini sebenarnya penuh dengan kepura-puraan, agar terlihat hebat tetapi sebenarnya “kosong” isinya. Tentu saja lembaga seperti ini belum bisa disebut sebagai lembaga yang otentik sebab semua bukti yang disiapkan sebenarnya tidak mencerminkan apa adanya tetapi sengaja diadakan untuk memenuhi persyaratan administrasi-formalitas.

Jika kita kaitkan dengan pandangan Rhenald Kasali dalam salah satu karyanya Camera Branding, lembaga atau pribadi yang menampilkan diri apa adanya disebut dengan auragenic, sedangkan lembaga atau diri yang “menyapkan diri” biar kelihatan hebat disebut dengan cameragenic. Perilaku lembaga atau seseorang yang berubah secara mendadak ketika akan dilihat atau dipotret orang atau lembaga lain disebut tipikal cameragenic. Biasanya perilaku kita di depan kamera berubah, apalagi kalau mau disiarkan secara langsung. Semua yang ada dalam diri kita “harus dibuat tampak sempurna” seperti pakaian, rambut, warna kulit, riasan wajah, dan cara kita tersenyum dan berbicara, bahkan intonasi suara. Sebelum take gambar atau video, biasanya kita perlu gladi bersih, bahkan harus diulang-ulang untuk meminimalisir atau menghilangkan kekurangan, jika perlu “zero defect”, tidak ada cacat sama sekali. Lembaga atau pribadi seperti ini biasanya tidak akan bertahan lama sebab kehebatan yang dihasilkan bersifat semu, hanya ketika di depan kamera atau dipotret saja. Hal ini berbeda dengan tipe auragenic.

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *