Merdeka Belajar dan Critical Pedagogy [1]

Dr. Muqowim, M.Ag.
email: muqowim@uin-suka.ac.id

Pengantar
Merdeka belajar dan kampus merdeka menjadi terma yang paling banyak disebut, diperbincangkan, diperdebatkan, ditelaah, dan dikritisi dunia pendidikan setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadim Makarim memperkenalkan ke publik. Kata merdeka menjadi branding dan benchmarking dunia pendidikan saat ini mulai dari tingkat sekolah hingga perguruan tinggi. Banyak kajian dilakukan untuk menelaah lebih jauh tentang makna tersebut dikaitkan dengan pendidikan. Berbagai pertanyaan pun mengemuka, misalnya apa yang dimaksud dengan merdeka tersebut? Merdeka dalam pengertian apa dan dari apa? Selama ini pendidikan apakah belum merdeka dan memerdekakan? Bagaimana desain pembelajaran yang memerdekakan? Singkat kata, kata merdeka harus segera diwujudkan dalam praktik pendidikan. Tulisan ini mencoba menelaah istilah merdeka tersebut dari perspektif pedagogi kritis dan bagaimana implementasi spirit merdeka tersebut dalam konteks pendidikan.

Semua Manusia Merdeka
Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik ciptaan (ahsani taqwim) dan paling tinggi derajatnya (al-a’laun). Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-Thin ayat 6 dan QS. Ali Imran ayat 139. Manusia diberi anugerah oleh Allah berupa akal untuk membuat pilihan terbaik dalam melangkah. Ketika diciptakan, semua kualitas positif sudah diberikan secara embedded dalam diri setiap orang seperti penuh kedamaian, cinta, bahagia, berdaya dan ketulusan. Allah pun tidak akan memberikan masalah di luar kadar kemampuannya. Karena itu, setiap persoalan yang dihadapi pasti dapat diselesaikan. Tugas utama proses dan praktik pendidikan adalah mengoptimalkan dan menghidupkan setiap potensi tersebut. Hanya saja, sebagian dari proses pendidikan belum sepenuhnya mengoptimalkan semua potensi kemanusiaan tersebut sehingga menyebabkan ada sebagian manusia yang tidak atau belum mampu menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.

Howard Gardner (1987) menyatakan bahwa setiap orang diciptakan hebat sesuai dengan kecerdasannya masing-masing. Tidak ada ukuran tunggal atau seragam untuk menilai kehebatan seseorang. Setidaknya ada sembilan jenis kecerdasan yang diidentifikasi oleh Gardner yaitu kecerdasan linguistik, logis-matematis, fisik- kinestetik, visual, musikal, intrapersonal, interpersonal, natural dan eksistensial. Karena itu, one size fits for all sama sekali tidak dapat diterapkan dalam konteks pendidikan. Setiap orang adalah hebat dan juara di bidangnya masing-masing. Selain beragam jenis kecerdasan yang ditawarkan Gardner tersebut, keunikan setiap orang juga dapat dilihat dari gaya belajar (learning styles) yang dimiliki, sebagaimana dilontarkan oleh Dave Meier (2010), yaitu somatik-kinestetik, auditori, visual, dan intelektual. Ada orang yang belajar dengan cara langsung mempraktikkan atau menerapkan (learning by practicing and applying), ada yang belajar dengan cepat melalui mendengar (learning by listening), ada orang yang belajar dengan cepat ketika melihat secara langsung (learning by watching), dan ada yang dapat menangkap sebuah materi secara cepat melalui perenungan (learning by reflecting). Semua jenis keunikan ini sebenarnya menunjukkan bahwa setiap orang diciptakan2 merdeka, dalam pengertian setiap orang mempunyai minat, kecenderungan, motivasi, passion, cipta, rasa dan karsa yang unik. Kita tidak mungkin menyeragamkan ukuran antara satu orang dengan yang lain. Setiap proses pendidikan yang dilakukan pendidik seharusnya melihat keunikan tersebut dan mengembangkannya.

Setiap orang diciptakan oleh Allah dalam bentuk limited edition, edisi terbatas. Tidak ada satu pun manusia yang diciptakan sama persis. Ini menunjukkan bahwa setiap orang pada dasarnya diciptakan merdeka. Setiap orang disebut merdeka sebab setiap individu mempunyai potensi unik dan istimewa yang harus dikembangkan sendiri tanpa campur tangan orang lain, apalagi ingin menjadi orang lain. Hanya saja, yang menjadi persoalan, banyak praktik dan proses pendidikan yang belum maksimal misalnya dengan pola penyeragaman, memperlakukan setiap orang secara sama, setiap orang diajari dengan pengetahuan dan pengalaman yang pernah diterima di masa lalu padahal setiap orang mempunyai tantangan dan masa depannya sendiri. Secara teknis setiap orang seharusnya diperlakukan secara unik dan spesial sesuai dengan kondisi masing-masing. Satu-satunya hal yang dibutuhkan secara sama adalah nilai atau karakter. Setiap orang perlu karakter seperti damai, cinta, jujur, mandiri, tanggung jawab, peduli, toleran, bahagia, sederhana, rendah hati, kerjasama, dan integritas. Pendidikan seharusnya lebih fokus pada karakter.

Ketika setiap orang mempunyai karakter positif, maka dia akan dapat hidup di mana pun dan dengan siapa pun. Hanya saja, sejauh ini, praktik pendidikan lebih banyak fokus pada pemberian pengetahuan dan keterampilan teknis, belum sepenuhnya pada pembiasaan karakter. Kalaupun belakangan sudah ada program pendidikan karakter, karakter lebih banyak didiskusikan, diperdebatkan dan diwacanakan, belum sepenuhnya dipahami, dihayati dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, pendidikan karakter lebih banyak mencetak man of discourse, manusia wacana yang sangat memahami konsep dan teori karakter secara diskursif dan akademik, namun belum mengarah untuk menghasilkan man of action, manusia bertindak yang lebih fokus pada penerapan karakter dalam konteks realitas secara langsung. Kata merdeka itu sendiri pada hakikatnya merupakan sebuah karakter. Setiap orang seharunya dibiasakan dengan karakter merdeka. Merdeka berarti berpikir, berkata, menulis dan bertindak dengan penuh kesadaran, motivasi, minat dan perhitungan menurut keunikannya, bukan karena dikendalikan, didikte apalagi dipaksa oleh pihak lain sehingga dia sebenarnya tidak merasa merdeka sesuai dengan kehendaknya sendiri.

dirasakan dalam bentuk ucapan, tulisan dan tindakan tanpa batasan sehingga kadang malah mengganggu kemerdekaan orang lain. Karena itu ada mahfudzat, hurriyatuka mahdudatun bihurriyati siwaka, bahwa kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Batasan ini perlu disepakati bersama oleh semua pihak terkait agar setiap orang memahami konteks di mana dia tinggal. Batasan tersebut dapat berupa tata tertib, aturan lalu lintas, perundangan dan konstitusi. Setiap konteks mempunyai batasan yang berbeda sebab kebutuhan setiap masyarakat atau komunitas juga berbeda. Karena itu, local wisdom, kearifan lokal perlu menjadi pertimbangan. Dalam konteks pendidikan, kebutuhan setiap peserta didik di suatu satuan pendidikan pasti berbeda dengan kebutuhan di satuan pendidikan lain. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan setiap peserta didik dan socio-cultural setting di tiap masyarakat berbeda3. Bahkan, kebutuhan antar peserta didik di dalam satuan pendidikan yang sama pun pasti berbeda. Sejauh ini, di antara pertimbangan munculnya gagasan merdeka belajar dan kampus merdeka disebabkan oleh adanya gejala penyeragaman perlakuan (uniform treatment) terhadap peserta didik.

Proses pendidikan seharusnya memberikan ruang dan kesempatan sebanyak- banyaknya kepada setiap peserta didik untuk menjadi dirinya sendiri. Proses pendidikan harus mampu mengembalikan ruh pendidikan sebagai proses transformasi personal dan sosial. Dengan pendidikan, setiap orang seharusnya dapat melakukan perubahan diri secara positif dan membiasakan mereka sebagai agen perubahan positif di lingkungan masing-masing. Setiap orang harus siap menjadi warga lokal, nasional maupun global baik secara physical maupun virtual. Mereka harus dapat memberikan kontribusi positif dalam membangun peradaban sesuai dengan pilihan profesi masing-masing. Dalam situasi yang serba internet (Internet of Things) dan Internet of People saat ini, tantangan menjadi diri yang lebih otentik, merdeka, dan lepas dari berbagai pengaruh dan penindasan pihak lain menjadi sangat kompleks. Karena itu, proses pendidikan harus benar-benar mampu menggali setiap potensi unik setiap peserta didik agar mereka mampu menjadi dirinya sendiri dengan penuh kesadaran (mindfulness), mampu mengendalikan diri dan sekitar, bukan dikendalikan oleh realitas di luar dirinya.

Melanjutkan membaca “Mengapa pedagogi kritis? …

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →