Merdeka Belajar dan Critical Pedagogy [2]

Mengapa Pedagogi Kritis?
Menurut Elias (1994), pedagogi kritis merupakan konsep eklektif yang berasal dari Paulo Freire. Dalam Freire’s Eclecticism: Drinking from Many Wells, dia mengatakan “Freire’s chief works are filled with many references to and quotations from philosophers, theologians, political scientists, sociologists, anthropologists, historians, educators, and linguistic scholars.” Kutipan ini menegaskan bahwa untuk memahami secara utuh tentang makna dari pedagogi kritis harus didukung dengan perspektif multidisciplinary, transdisciplinary dan crossdisciplinary. Secara filosofis, pedagogi kritis mengungkap tentang hakikat manusia dan realitas alam. Manusia harus dilihat sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang unik, istimewa dan sempurna. Proses pendidikan seharusnya mampu menjaga dan merawat keistimewaan tersebut. Hanya saja, faktanya proses pendidikan banyak yang justru menjadikan manusia mengalami degradasi karena sering diperlakukan secara robotik dan mekanik. Secara teologis, pedagogi kritis merupakan bentuk penghargaan terhadap peran dan posisi manusia sebagai makhluk bebas yang hanya tunduk pada kekuasaan Tuhan. Tidak boleh ada praktik penindasan terhadap manusia, sebab setiap orang diciptakan sama derajat dan kualitas di hadapan Tuhan. Tidak boleh ada yang menganggap orang lain lebih rendah apalagi menjadikannya sebagai budak.

Dari perspektif ilmuwan politik pedagogi kritis mengingatkan semua penguasa, bahwa semua kekuasaan yang diamanatkan kepada seseorang tidak boleh dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk menindas pihak lain. Karena itu, semua kebijakan dibuat untuk memuliakan setiap orang. Semua pengambil kebijakan harus menyadari bahwa mereka hakikatnya hanyalah alat atau pranata yang seharusnya memfasilitasi tumbuh kembangnya setiap orang dengan kebijakan yang humanis. Kekuasaan bukan merupakan tujuan (ghayah) namun hanya sebagai jalan (wasilah) menuju tempat yang diharapkan. Politik yang dimaksud lebih menekankan pada high politics, bukanlow politics. Politik harus lebih mengedepankan etika dan tatakrama, bukan4 menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan dan kekuasaan yang diharapkan. Secara sosiologis pedagogi kritis harus menjadi alat transformasi sosial untuk mengatasi berbagai persoalan sosial. Pendidikan bukan untuk melanggengkan diskrepansi atau diskriminasi yang ada di masyarakat. Pendidikan justru untuk menghilangkan terjadinya penyimpangan di masyarakat. Karena itu, proses pendidikan harus membangun kesadaran kritis tentang realitas sosial. Pendidikan tidak boleh anti realitas, yang hanya menyampaikan pengetahuan di dalam teks-teks bahan ajar yang cenderung out of date dan obsolete.

Selain secara sosiologis, pedagogi kritis juga harus melibatkan pendekatan antropologi. Perspektif ini mampu menjelaskan keunikan manusia dengan semua dimensinya secara budaya sebagai individu yang mempunyai cipta, rasa dan karsa. Setiap orang seharusnya dipahami dalam konteks tersebut. Tidak ada satu pun manusia yang sama persis meskipun berasal dari orang tua yang sama, bahkan mungkin kembar zigot. Meskipun berada dalam ruang dan waktu yang sama, ketika mereka diminta mengekspresikan apa yang dipikirkan akan beragam atau berbeda antara satu orang dengan yang lain. Karena itu, dengan perspektif ini kita dapat memahami mengapa anak yang dibesarkan dalam keluarga yang sama mempunyai karakter berbeda. Meskipun mereka berasal dari kampung atau suku yang sama ternyata mereka mempunyai perbedaan. Dengan pendekatan antropologi ini kita dapat menerima fakta keragaman. Ketika kita menyadari bahwa keragaman adalah sebuah keniscayaan, unavoidable, maka tugas pendidikan adalah memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan kepada semua peserta didik agar mampu mengelola dan merayakan keragaman tersebut secara positif.

Pendidikan perlu dipahami sebagai bentuk transformasi diri dan sosial untuk menjawab setiap persoalan yang ada. Pendidikan harus didesain untuk lebih memanusiakan manusia dengan cara mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki. Setiap orang adalah hebat dan juara. Pendidikan tidak boleh mengarah pada upaya penyeragaman (uniformity) setiap peserta didik sebab hal ini hanya akan menghasilkan manusia seperti produk barang di pabrik. Proses pendidikan harus lebih diarahkan untuk membangun kesadaran kritis bukan mengangggap peserta didik laksana bejala kosong yang dapat diisi kapan saja. Freire menyebutnya the banking concept of education, konsep pendidikan gaya bank. Manusia hanya dijadikan sebagai obyek mati tanpa kesadaran. Pendekatan linguistik juga digunakan dalam pedagogi kritis sebab kata dan bahasa harus dipahami sebagai manifestasi paradigma yang dimiliki setiap orang. Apa yang dikatakan, dituliskan dan diekspresikan melalui bahasa hakikatnya merupakan cermin mindset seseorang. Mengapa berbagai pendekatan tersebut penting dipahami dalam pedagogi kritis?

Tujuan utama dari pedagogi kritis, menurut McLaren, adalah terbentuknya keadilan dan kesetaraan dan terbentuknya peserta didik yang mempunyai kemampuan literasi kritis. (2001: 122). Hal ini mempertegas pandangan Freire yang menyatakan bahwa kesadaran kritis diperlukan untuk melakukan perubahan sosial dan sebagai bentuk komitmen terhadap keadilan sosial. (1998). Menurut McArthur, sebagaimana dikutip oleh Emi Emilia, “an underlying tenet of critical pedagogy is the belief that education is transformative and involves a strong agenda for change: within education, through education and throughout society”. (Emilia, 2020: 195) Dengan pemahaman ini, hakikat pendidikan adalah transformasi di dalam pendidikan, melalui pendidikan dan seluruh masyarakat. Karena itu, praktik pendidikan tidak5 sekedar business as usual, harus ada misi yang jelas. Pendidikan dijadikan sebagai social engineering, rekayasa sosial menuju tatanan yang diharapkan.

Munculnya berbagai persoalan di masyarakat seharusnya menimbulkan pertanyaan kritis tentang konsep dan proses pendidikan yang selama ini dipraktikkan. Pendidikan seharusnya mampu mengantarkan setiap peserta didik menjadi manusia otentik, menjadi dirinya sendiri dengan semua keunikan yang telah dianugerahkan Tuhan. Hanya saja, kenyataannya, praktik pendidikan belum seperti yang diharapkan. Dalam perspektif UNESCO, pilar pendidikan yang terdiri dari learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together dan learning to transform oneself and society belum berhasil seperti yang diharapkan. Terjadinya diskrepansi antara yang diharapkan dengan kenyataan menjadi semacam paradoks pendidikan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi (Mastuhu, 2004: 30). Pendidikan seharusnya mencetak individu kritis-transformatif yang mampu memberikan alternatif pemecahan sekitar, namun faktanya sebagai proses indoktrinasi. Tidak menherankan jika Neil Postman mengatakan bahwa peserta didik datang ke sekolah dengan tanda tanya (?) dan keluar dari sekolah dengan tanda titik (.).

Apa yang digelisahkan Postman dan Freire di atas sebenarnya juga terjadi dalam praktik pendidikan Islam. Pendidikan Islam seharusnya mampu menawarkan dan mengantarkan setiap didik menuju kebahagiaan, kedamaian dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hanya saja, praktiknya pendidikan Islam sebagian masih berjalan secara mekanik, eksklusif, formalis, dan indoktrinatif. Outcome pendidikan Islam seharusnya mampu mencontoh Rasulullah dalam living qur’anic values, menghidupkan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an (Rahman, 1994: 45). Nilai-nilai yang terkandung dalam dua ajaran Islam ini seharusnya menjadi rujukan siapa pun di dunia, sebab ajaran Islam untuk seluruh alam, bukan hanya untuk umat Islam saja (Abdullah, 2003: 13). Karena itu, kerangka berpikir integratif seharusnya dimiliki setiap orang Islam sehingga mampu menawarkan solusi dari setiap persoalan yang muncul. Tawaran solusi alternatif ini berupa keilmuan yang selalu berkembang secara dinamis sesuai dengan problem dan tantangan jaman. Karena itu, produk keilmuan seharusnya selalu baru. Karena itu, sebagai sebuah produk keilmuan, sifat ilmu ini bersifat relatif, debatable, verifiable dan falsifiable (Mulkhan, 2002: 229- 248). Hal ini membutuhkan kesadaran kritis sebab harus selalu ada dialektika antara teks yang terkandung di dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan konteks yang berupa realitas sosial, budaya dan alam. Menurut Muhammad Iqbal (1982), setiap orang Islam harus mempunyai kesadaran profetik, ketika cakrawala larut dalam diri setiap orang Islam, mereka menjadi trendsetter, bukan justru menciptakan masalah dengan pihak lain (Halili dan Sudarto, 2017).

Karena itu, berdasarkan narasi di atas, pedagogi kritis diperlukan agar pendidikan kembali kepada ruh yang sebenarnya, sebagai proses transformasi diri setiap orang agar menghasilkan pribadi kritis, transformatif dan transendental. Dalam ajaran Islam pendidikan seharusnya mampu menghasilkan orang yang mempunyai kesadaran sejarah sehingga dapat menjadi penentu arah peradaban dengan spiritualitas dan nilai ajaran Islam yang universal. Iqbal dalam karyanya Bal-I-Jibril, mengingatkan tentang arti penting pembumian nilai-nilai universal Islam dalam kehidupan sehari-hari seperti peristiwa isra’ dan mi’raj-nya Rasulullah. Perintah Allah berupa shalat yang berasal dari peristiwa ini bukan sekedar ritual-fisikal,6 namun mempunyai konsekuensi dalam kehidupan sehari-hari. Semua nilai yang terkandung dalam ayat dan doa dalam ibadah shalat harus dipahami, dihayati, dan dilaksanakan dalam kehidupan nyata agar umat Islam tidak termasuk kategori fawailul-lil-mushallin, celakah mereka yang shalat. Menurut Allah, sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Ma’un, orang yang termasuk kategori ini adalah ketika menjalankan ibadah shalat sama sekali tidak ada kesadaran tentang apa yang dibaca dan dilakukan, shalat hanya dilakukan secara formalitas dan kewajiban, dijadikan alat kepentingan, shalat yang modus, agar dilihat orang lain atau makhluk, bukan karena Allah.

Melanjutkan membaca, “Karakteristik Critical Pedagogy…

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *