Merdeka Belajar dan Critical Pedagogy [3]

Karakteristik Critical Pedagogy
Munculnya terma pedagogi kritis tidak dapat dilepaskan dari gagasan dari Paulo Freire tentang pendidikan bagi kaum tertindas di Brasil (Freire, 1973). Berbagai gagasan Freire tentang pendidikan kritis tersebut antara lain terdapat dalam Pedagogy of the Oppressed (1971), The Politics of Education Culture, Power and Liberation (1985), Pedagogy of Freedom (1998), dan Literacy Reading the Word and the World (1985). Gagasan Freire tentang pendidikan pembebasan dan pedagogi kritis banyak diulas para pemikir seperti Henry Giroux, Colin Lankshear, Michael Peters, dan Michele Knobel. Hal ini tampak dari karya bersama mereka yang berjudul Conternarratives (1996: 125-126). Menurut mereka paling tidak ada enam ciri pendidikan kritis yang dilontarkan oleh Freire. Pertama, pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk kritik sosial dan kultural, sebab pendidikan berada dalam konteks realitas sosial dan budaya. Proses pendidikan diharapkan menjadi alat untuk melakukan perbaikan dari persoalan di masyarakat. Karena itu, salah satu tujuan pendidikan adalah melakukan rekonstruksi sosial, social reconstruction. Semua bentuk ketimpangan, penyelewengan dan diskriminasi yang ada di masyarakat karena faktor sosial, ekonomi, budaya dan politik harus dibawa ke ruang kelas untuk direfleksikan dan dikritisi agar dapat menghasilkan solusi alternatif. Solusi yang dihasilkan di ruang kelas kemudian diterapkan di masyarakat. Proses ini disebut dengan kodifikasi konteks dan dekodifikasi teks. Yang pertama adalah membawa problem realitas kedalam ruang kelas, sedangkan yang kedua adalah menawarkan solusi di masyarakat.

Kedua, keberadaan seseorang tidak terlepas dari realitas di sekitarnya. Kesadaran yang kita miliki pada dasarnya dibentuk melalui proses panjang dari lingkungan sekitar mulai dari konteks keluarga (nuclear family dan extended family), masyarakat, teman pergaulan baik secara physical maupu virtual, dan lembaga pendidikan. Personal consciousness yang kita miliki pada dasarnya dipengaruhi oleh collective consciousness. Pendidikan mempunyai peran penting membentuk kesadaran seseorang. Boleh jadi melalui proses ini muncul kontestasi antar kelompok yang mempengaruhi kesadaran kita. Dalam hal ini proses pendidikan sangat diharapkan berperan menjadi penentu munculnya kesadaran kritis (Kincheloe and McLaren, 2000: 139-140). Hal ini sangat ditekankan sebab seringkali kita hidup dalam lingkungan yang tidak memungkinkan berkembangnya kesadaran kritis secara maksimal terutama secara struktural dan kultural (lankshear, Peters and Knoebel, 2000: 150). Dalam lingkungan seperti ini, kadang kita memahami dan menyadari bahwa ada persoalan namun kita “dibuat tidak berdaya” oleh lingkungan sekitar, karena itu proses pendidikan seharusnya dapat ‘menyadarkan’ tentang kondisi tersebut dan mengubah dari magical consciousness (kesadaran magis menegaskan bahwa ketika terjadi persoalanlebih menyalahkan pada takdir dan sesuatu di luar dirinya) dan naive consciousness (sebagai ilustrasi, kesadaran naïf adalah ketika seseorang mengetahui bahwa dia sebenarnya ‘bermasalah’, namun tidak kuasa mengatasi karena dikondisikan secara eksternal seperti ekonomi, politik, hukum, dan budaya) menjadi critical consciousness (sementara itu, kesadaran kritis terjadi ketika seseorang menyadari permasalahan yang dihadapi [dan problem masyarakat sekitar] dan aktif dalam pencarian alternatif pemecahan.).

Ketiga, apa yang tampak atau diekspresikan dalam realitas sosial dan budaya pada hakikatnya merupakan manifestasi dari nilai yang dianut (McLaren, 2000: 125). Sebuah ujaran, tulisan dan tindakan dari seseorang atau komunitas merupakan cermin nilai dari sang pelaku, sebab antara pelaku dengan nilai yang dirasakan tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan wujud dari signifier dan signified, antara penanda dengan petanda. Dalam konteks semiotik, ada tiga level relasi keduanya yaitu ikon, indeks dan simbol. Menurut pedagogi kritis relasi antara keduanya bersifat dinamis, sangat dipengaruhi oleh lingkaran production, consumption, dan social relation. Karena itu, critical and productive reading terhadap keduanya perlu dilakukan. Sebagai sebuah ilustrasi, pergantian sebuah kurikulum oleh seorang menteri menjadi sangat beragam hasil pembacaan antar orang. Ada sebagian yang menganggap sebagai branding menteri baru agar diketahui oleh publik bahwa sang menteri mempunyai konsep tersendiri tentang pendidikan sehingga menjadi pembeda dengan menteri-menteri pendahulunya. Sebagian yang lain menganggap pergantian sebuah kurikulum adalah karena kebutuhan dan tuntutan jaman, tidak bisa ditunda- tunda lagi. Bahkan, mungkin ada yang beranggapan perubahan kurikulum dikaitkan dengan proyek yang berdampak pada anggaran. Yang pasti, mereka yang beragam pandangan itu pun penuh dengan nilai yang dianut. Yang lebih penting dilakukan adalah mencoba memahami apa motivasi dan kesadaran dari mereka sehingga lebih menghargai dan mampu menempatkan posisi secara tepat.

Keempat, pedagogi kritis berpandangan bahwa bahasa merupakan pusat bagi formasi subyektifitas yang mencerminkan mindset seseorang atau komunitas. Bahasa merupakan alat penting untuk mengungkapkan ide, pendapat dan pemikiran seseorang tentang sesuatu (McLaren, 2000). Secara antropologis, bahasa merupakan hasil kesepakatan sebuah komunitas sebagai media komunikasi. Karena itu, boleh jadi kita menemukan adanya perbedaan bahasa yang digunakan oleh antar komunitas dengan yang lain. Melalui bahasa kita dapat memahami pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang. Melalui bahasa juga kita dapat memahami bahwa meskipun persoalan yang dihadapi sama, namun jika antara satu orang dengan yang lain mempunyai latar belakang intelektual, pengalaman serta setting sosial dan budaya berbeda, maka bahasa yang digunakan pasti juga berbeda. Di sinilah pentingnya kita menekankan budaya dialog, komunikasi dan saling mendengar. Tanpa hal ini, keragaman ekspresi bahasa satu orang atau kelompok dengan orang atau kelompok lain dapat menimbulkan prasangka, kecurigaan, konflik, kekerasan dan kerusuhan (bahasa pada dasarnya merupakan ekspresi kultur dari sebuah komunitas).

Selanjutnya, menurut pedagogi kritis, terjadinya perbedaan status di8 masyarakat terutama secara ekonomi dan sosial diyakini karena adanya perbedaan perlakuan yang cenderung kurang adil sehingga menyebabkan keragaman strata ekonomi dan sosial. Hal ini lebih disebabkan oleh perbedaan kepentingan para birokrat, politisi, dan pemilik modal. Ketika di sebuah masyarakat ada orang kaya dan miskin, menurut sudut pandang ini, disebabkan oleh perbedaan perlakuan antara keduanya. Perbedaan tersebut dapat dilacak dari berbagai kepentingan tersebut sehingga menyebabkan ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan. Yang diuntungkan menjadi lebih kaya, sedangkan yang dirugikan menjadi semakin miskin. Pedagogi kritis diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya kepentingan yang disalahgunakan berdasarkan kesepakatan yang ada. Dalam konteks sekarang, kadang sentimen keagamaan juga digunakan untuk mempengaruhi keputusan kelompok kepentingan.

Akhirnya, menurut pedagogi kritis setiap persoalan yang muncul harus dilihat dari banyak perspektif, sebab antara satu aspek kehidupan dengan yang saling berkelindan (McLaren, 2000: 126). Karena itu, sebagaimana telah diuraikan di atas, pedagogi kritis menggunakan interdisipliner, multidisipliner, transdisipliner, bahkan krosdisipliner. Sebagai contoh, rendahnya literasi masyarakat tidak cukup dilihat dari aspek pendidikan saja misalnya karena faktor ketidakmampuan membaca dan memahami buku bacaan, namun perlu juga dilihat dari perspektif lain seperti ekonomi, misalnya rendahnya pendapatan masyarakat menyebabkan daya beli buku rendah. Untuk mememuhi kebutuhan pokok saja masih kurang apalagi membeli buku bacaan. Selain ekonomi, problem tersebut dapat juga dilihat dari aspek sosial, misalnya tidak adanya dukungan atau keteladanan dari tokoh masyarakat. Sudut pandang politik juga dapat digunakan untek mencermati fenomena tersebut misalnya tidak adanya political will atau program dan kebijakan dari negara menyebabkan masyarakat mempunyai literasi rendah.

Berbagai indikator dari pedagogi kritis di atas hakikatnya merupakan ruh dari pendidikan yang membebaskan. Selain itu, pendidikan seharusnya digunakan sebagai media transformasi secara personal dan sosial. Hal ini sangat relevan dengan salah satu pilar pendidikan dari UNESCO yaitu learning to transform oneself and society. Secara personal setiap orang harus melakukan self-transforming baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik. Secara kognitif, harus ada perubahan tingkat dari lower order thinking skills (LOTS) menjadi higher order thinking skills (HOTS). Secara afektif setiap orang juga harus ada perubahan dari sekedar self-awareness, self-regulation dan motivation menjadi empathy dan social skill. Sementara itu, secara psikomotorik, setiap peserta didik juga harus ada perubahan dari sekedar melakukan tanpa kesadaran menjadi penuh kesadaran (engagement) dan creativity dan innovation. Untuk dapat melakukan transformasi tersebut setiap peserta didik harus mempunyai kesadaran kritis. Selain menekankan proses transformasi diri, pedagogi kritis juga memberikan perhatian pada proses transformasi sosial. Berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat harus dicarikan solusi melalui pendidikan. Praktik pendidikan tidak boleh mendukung atau melanggengkan ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Karena itu, proses pendidikan harus membiasakan peserta didik dengan reflection and action.

Berdasarkan uraian tersebut, pedagogi kritis mempunyai alur yang sama dengan paradigma transformatif (Eisner, 1996: 314-316), bukan positivistik atauinterpretif. Paradigma postivistik mencakup positivisme, neopositivisme, positivisme metodologis, dan positivisme logis, sementara paradigma interpretif mencakup interaksionisme simbolis, fenomenologi, etnometodologi, hermeneutika, psikoanalisa, etnologi, etnografi, dan sosiolinguistik, dan paradigma transformatif mencakup sosiologi kritis, conflict school of thought, Marxisme, dan feminisme (Sarantakos, 1998: 33). Ketiga paradigma tersebut mempunyai perbedaan dalam memandang realitas, manusia, ilmu pengetahuan, dan tujuan penelitian. Dalam paradigma transformatif realitas merupakan sesuatu yang kompleks, apa yang tampak di permukaan sebenarnya belum mencerminkan realitas sesungguhnya, sebab realitas diciptakan oleh orang, bukan dikondisikan oleh alam. Di balik yang tampak terdapat banyak ketegangan karena ada banyak kepentingan dari pelaku. Pandangan ini berbeda dengan paradigma positivistik yang beranggapan bahwa realitas bersifat obyektif, dipersepsi melalui indera, dipersepsi secara seragam oleh semua orang, dan diatur berdasarkan hukum eksternal. Sementara itu, bagi paradigma interpretif, realitas bersifat subyektif, berada dalam pikiran orang dan ditafsirkan secara beragam oleh setiap orang.

Dalam paradigma transformatif manusia dipandang sebagai pencipta bagi nasibnya sendiri. Hanya saja, seringkali manusia tidak berdaya karena diperlakukan secara tidak wajar oleh pihak lain karena berbagai kepentingan. Kadang ia ditindas, dialienasi, dieksploitasi, dibatasi, dikondisikan, dan dihambat realisasi potensinya oleh pihak lain yang lebih memiliki kekuasaan. Dalam kondisi seperti ini praktik pendidikan diharapkan mampu membangun kesadaran kritis sehingga setiap individu mampu melihat permasalahan yang dihadapi dengan berbagai sudut pandang. Dengan kesadaran kritis ini setiap orang mampu mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, bahkan pada titik tertentu mampu memberikan feedback bahkan perlawanan kepada berbagai pihak yang selama ini menindas atau menyingkirkan mereka.

Lanjutkan membaca, “Merdeka dalam Konteks Teologi Pembebasan…



About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →