Pause, Reflect, dan Engage

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Hampir setiap orang saat ini melakukan kegiatan multitasking, menjalankan banyak aktivitas dalam satu waktu. Persoalan dan tantangan seakan tidak pernah berhenti, selalu datang silih berganti, bahkan dalam waktu bersamaan. Satu persoalan belum diselesaikan sudah muncul hal baru. Mengerjakan aktivitas multitasking seakan sudah menjadi menjadi kebiasaan baru. Saking banyaknya aktivitas yang harus diselesaikan membuat kita lupa diri, waktu berjalan seakan begitu cepat, “tidak kita rasakan”. Kita mungkin sering mengalami aktifitas yang terasa hambar, tidak kita nikmati sama sekali, sebagai contoh fisik kita ada di rumah tetapi pikiran dan jiwanya ada di tempat lain. Dalam situasi seperti ini biasanya kita tidak merasakan kebahagiaan sebab body, mind dan soul tidak menjadi satu. Untuk mengatasi hal ini agaknya kita perlu mengikuti saran dari Klaus Schwab, Executive Chairman of the World Economic Forum (WEF) yang juga penggagas The Fourth Industrial Revolution, terkait tiga aset yang jarang kita gunakan. Aset tersebut adalah “time to pause, time to reflect, and time to engage in meaningful conversation”.

Aset pertama, time to pause, terkait pentingnya kita mempunyai waktu untuk jeda sejenak, berhenti dari semua aktivitas rutin. Waktu jeda bukan berarti kita “bengong” tanpa kesadaran. Dengan waktu khusus jeda ini kita dapat melakukan beberapa hal. Pertama, kita dapat gunakan waktu ini untuk istirahat sejenak dari hiruk-pikuk pekerjaan yang multitasking. Istirahat sejenak ini sangat dianjurkan untuk mengurangi atau menghilangkan kelelehan fisik dan mental (tired and fatique) seperti otot mata, leher, jari-jari tangan, dan dahi. Banyaknya aktivitas membuat tubuh kita “diforsis” dan kejar target. Dengan jeda kita bisa lakukan hening sejenak, breathing, bernafas sambil dirasakan. Kita dapat berdoa, yoga ringan atau meditasi. Kedua, kita dapat gunakan waktu jeda untuk melihat posisi saat ini, kita di mana, dari mana, dan mau ke mana. Pertanyaan ini simple tetapi mempunyai makna mendalam sebab melalui ini kita dapat melihat jejak yang kita lakukan, berhenti sejenak untuk melihat perjalanan aktivitas yang pernah kita lakukan. Waktu jeda ini perlu segera dilanjutkan dengan kegiatan merefleksikan apa yang sudah kita lakukan.

Pentingnya memanfaatkan waktu untuk refleksi (time to reflect) mengingatkan kita pada sebuah ungkapan dari Stephen R. Covey, “reading without reflecting is like eating without digesting”, membaca tanpa dibarengi dengan aktivitas perenungan [refleksi] sama dengan makan tanpa dicerna. Apa yang terjadi jika kita makan sate kambing tetapi tidak kita cerna di perut? Sate tersebut sama sekali tidak menjadi energi dalam tubuh kita. Begitu juga dengan apa yang telah kita baca. Hasil bacaan kita baik berupa teks [yang tertulis] dalam buku atau artikel maupun konteks [yang tidak tertulis] dalam realitas sekitar hanya menjadi tumpukan atau kumpulan data tetapi tidak menjadi ide atau inspirasi yang menggerakkan perubahan. Semua bahan atau data yang telah kita baca dan alami tersebut akan menjadi inspirasi yang membawa perubahan di masa depan hanya jika kita renungkan dan refleksikan.

Melalui refleksi kita dapat memperoleh banyak manfaat. Pertama, kita bisa merenungkan apakah aktivitas yang saat ini dilakukan sesuai dengan tujuan hidup ataukah tidak. Kita dapat menilai apakah yang kita lakukan sudah on the right track atau misleading, salah arah dari tujuan yang kita buat. Kedua, melalui refleksi kita dapat mengambil inspirasi dari setiap pengetahuan dan pengalaman yang telah kita miliki. Bukankah ada peribahasa yang mengatakan “experience is the best teacher”? Semua pengetahuan dan momen masa lalu yang pernah kita alami hanya dapat menjadi guru jika kita ambil pelajaran dan inspirasinya. Ketiga, melalui refleksi ini kita akan mendapatkan insight untuk melakukan perubahan guna mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Arah perjalanan hidup kita sangat ditentukan oleh hasil refleksi ini, apakah kita akan tetap melakukan aktivitas yang sudah ada karena dianggap sesuai dengan cita-cita ataukah kita menghentikan langkah lama dan menggantinya dengan langkah baru yang lebih relevan dengan tujuan.

“Melalui refleksi kita dapat memperoleh banyak manfaat.”

Dr. Muqowim, M. Ag.

Tindak lanjut dari aktivitas refleksi adalah time to engage, saatnya melakukan perubahan dengan mengerjakan hal-hal yang dapat mendukung pencapaian tujuan hidup. Kita akan mengesampingkan semua kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan tujuan baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Kita mulai refocusing dan reconstructing semua langkah agar semua target dapat dicapai. Konsekuensi dari langkah ini antara lain kita tidak akan sembrono atau grusa-grusu ketika mengambil tindakan, tetapi kita akan melangkah dengan penuh perhitungan (mindfulness) dan berkesadaran (consciousness), selalu melakukan self-talk sebelum bergerak, apakah yang akan kita lakukan termasuk hal penting dan relevan dengan cita-cita ataukah tidak. Selain itu, kita akan melangkah dengan sepenuh hati, tidak asal jalan, “yang penting melangkah” atau “sebisanya saja”. Panduan utama dari titik keberangkatan (the point of departure) dan titik tujuan (the point of destination) ketika melangkah adalah tujuan hidup yang telah kita buat dengan penuh kesadaran.

Tiga hal yang disarankan Schwab di atas jika dapat dilakukan secara konsisten, maka kita akan mudah mewujudkan tujuan yang telah dibuat. Mengapa demikian? Dengan langkah ini kita telah menempatkan diri sebagai solution-based person, orang yang berorientasi pada solusi, lebih berbicara pada masa depan, bukan problem-based person, orang yang berorientasi pada masalah atau masa lalu. Keberhasilan lebih mudah diwujudkan jika kita menjadi tipe manusia yang pertama sebab kita menjadi manusia di atas rata-rata (trans-human), bukan manusia rata-rata (average human), apalagi manusia di bawah rata-rata (under-human). Manusia tipe pertama berpikir tentang hal-hal yang ada pada saat ini 50% dan tentang masa depan 50%. Tipe manusia kedua fokus tentang problem saat ini 50% dan tentang masa lalu sebanyak 50%. Sementara itu, tipe ketiga lebih fokus pada masa lalu (100%), akibatnya lebih banyak menyesali dan meratapi masa lalu.

Di tengah berbagai kemudahan akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, di era revolusi industri 4.0 ini setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk maju, tumbuh dan berkembang. Yang membedakan antara satu orang dengan yang lain terletak pada kemampuan menggunakan tiga aset di atas. Bagi yang mampu memanfaatkan ketiga aset tersebut akan keluar sebagai pemenang, sebagai trendsetter, bukan follower. Trendsetter berpeluang menjadi producer, sedangkan follower hanya sebagai consumer. Menjadi penentu arah masa depan hanya dapat dilakukan jika kita proaktif menciptakan perubahan. Kita harus aktif melakukan perubahan, anti terhadap perubahan. Kesiapan mental ini menjadi modal penting untuk menghadapi setiap permasalahan dan tantangan yang terus berubah dan baru. Kita menyadari bahwa masa depan penuh ketidakpastian. Dalam situasi seperti ini, kita yang harus berubah dengan penuh keyakinan. Dengan demikian, masa depan harus diperjelas dengan cara memperjelas diri kita sendiri melalui tujuan hidup yang jelas. Cara paling mudah adalah saat ini kita melakukan perubahan diri secara positif, maka masa depan insyaallah akan jelas dan positif, sebab “our future is what our mind in the present”.

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *