REBRANDING EDUCATION INSTITUTION IN DISRUPTION ERA: Happiness-Based Education [2]

Kebahagiaan dan Pendidikan
Nel Noddings menulis buku tentang relasi antara kebahagiaan dan pendidikan yang berjudul Happiness and Education (2016), yang diterbitkan oleh Cambridge University Press. Menurutnya, kebahagiaan merupakan tujuan utama dari proses pendidikan. Kebahagiaan seharusnya tidak hanya dibiasakan di sekolah, namun juga di keluarga (rumah), masyarakat dan tempat bermain atau pergaulan. Hal ini sudah digelorakan oleh pemikir muslim lebih dari seribu tahun yang lalu, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Untuk meraih kebahagiaan ini, menurut al-Ghazali, sebagaimana dibahas secara panjang lebar dalam karya magnum opus-nya yaitu Ihya’ ‘Ulum al-Din, kita harus membersihkan hati dari berbagai kotoran, noda atau hal yang bersifat negatif. Dari empat jilid karya al-Ghazali tersebut, jilid ketiga dan keempat masing-masing berbicara tentang “al-muhlikat” dan “al-munjiyat”. Jilid ketiga berbicara tentang semua hal yang dapat menjadikan hati kotor dan penuh dengan energi negatif seperti cinta dunia, takut mati, riya’, takabur, dan hasad, sementara itu jilid keempat menitikberatkan pada langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk membersihkan hati dari semua noda tersebut seperti taubat, ikhlas, sabar, ridla, dan tawakkal.

…sementara itu jilid keempat menitikberatkan pada langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk membersihkan hati dari semua noda tersebut seperti taubat, ikhlas, sabar, ridla, dan tawakkal.

Imam al-Ghazali


Ringkasan atau semacam abstrak dari Ihya’ ‘Ulum al-Din tersebut tertuang dalam karya kecil al-Ghazali berjudul Kimiya al-Sa’adah, kimia kebahagiaan. Kimia yang dimaksud dalam karya ini bukan kimia eksoterik sebagaimana yang dikembangkan oleh Program Studi Kimia atau Teknik Kimia di perguruan tinggi yang mengubah benda-benda tidak berharga menjadi lebih berharga dan mempunyai nilai jual tinggi. Namun, yang dimaksud dengan karya al-Ghazali tersebut adalah kimia esoterik, yaitu mengubah hati yang penuh dengan noda, kotoran dan energi negatif menjadi bersih dan penuh energi positif. Bagi al-Ghazali, hati ibarat cermin. Jika cermin tersebut penuh dengan noda dan kotoran, maka ia tidak dapat memantulkan cahaya dari Allah. Sebaliknya, jika cermin tersebut bersih, maka cahaya yang datang ke arah cermin tersebut akan dipantulkan. Pantulan cahaya (nur) dari Allah tersebut berupa akhlak yang mulia baik tampak dari perkataan, tulisan maupun tindakan. Orang yang mampu menampilkan diri dengan akhlaq al-mahmudah ini, maka dia akan menjadi pribadi yang penuh kebahagiaan, sebab hakikat kebahagiaan ada di dalam hati. Yang menjadi persoalan, sejak manusia terlahir ke dunia, lebih banyak energi negatif yang masuk ke dalam hati sehingga kebanyakan manusia tidak merasakan kebahagiaan. Karena itu, proses pendidikan harus mampu mengembalikan kualitas kebahagiaan ini.


Salah satu pilar pendidikan UNESCO adalah learning to transform oneself and society, melakukan transformasi diri dan masyarakat. Proses transformasi ini pada dasarnya sama dengan proses kimia, yaitu proses mengubah diri dari kondisi yang negatif, yang kurang berharga, menjadi kondisi positif yang lebih berharga dan bermakna. Transformasi ini harus dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu sehingga kita menjadi pribadi yang positif dan bahagia. Jika hal ini dapat kita lakukan, maka kita menjadi positive [happiness] energy generator, sumber energi [kebahagiaan] positif. Karena kita mempunyai energi kebahagiaan, maka kita dapat menularkan atau menebarkan energi kebahagiaan tersebut ke lingkungan sekitar, di mana pun kita berada. Kita menjadi positive [happiness] energy transmitter. Dalam praktiknya yang lebih menantang dan berat adalah mempertahankan kualitas kebahagiaan ini agar selalu maksimal, sebab kita dihadapkan pada banyak stressor dari luar diri kita. Jika kita tidak mampu mempertahankan kualitas diri yang penuh kebahagiaan, maka kualitas ini terus berkurang, bahkan boleh jadi hilang, dari diri kita. Karena itu, untuk terus menjaga kualitas kebahagiaan tersebut, praktik pendidikan yang membahagiakan sangat penting dan diperlukan.


Menurut laporan World Economic Forum (WEF) yang dikeluarkan tahun 2020, di antara pendekatan dalam pembelajaran yang dikenal dengan istilah innovative pedagogies yaitu playful, experiential, dan embodied. Ketiga pendekatan ini relevan dengan misi pendidikan yang membahagiakan. Pendekatan playful lebih menekankan pada belajar secara menyenangkan. Pembelajaran perlu menekankan aspek makna (meaning) dari setiap materi yang dipelajari, bukan sekedar rutinitas dan formal-administratif. Pembelajaran seharusnya didesain secara lebih bermakna (meaningful) yang memungkinkan setiap peserta didik aktif berpikir baik secara personal maupun sosial. Dalam Islam, Rasulullah sangat menekankan ‘basysyiru’, gembirakanlah, dalam pembelajaran, bukan ‘tunaffiru’, menakut-nakuti. Peserta didik akan lebih mudah menangkap makna jika dilakukan secara menyenangkan, bukan menakutkan. Karena itu, dalam penerapan kurikulum di madrasah kita mengenal istilah PAIKEM, Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. PAIKEM merupakan langkah konkret agar muncul joyful learning di sekolah. Hanya saja, kata “menyenangkan” ini sering disalahpahami oleh beberapa guru, sebab sebagian mereka berpendapat bahwa menyenangkan identik dengan hal-hal lucu, suka ngelawak, dan bahkan saru. Padahal, yang dimaksud dengan menyenangkan adalah pembelajaran yang didesain sesuai dengan karakteristik dan keunikan setiap peserta didik.


Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan, pembelajaran perlu didesain yang dapat membangkitkan emosi positif. Hal ini ditegaskan oleh Hyson (2008, x) yang mengatakan, “effective learning requires activation of both positive emotions and motivation and engaged actions and behaviors, including attention, persistence, flexibility, and self-regulation. Enthusiastic and engaged are not the primary learning goals, but instead they are a means to an end—enhanced achievement across all areas of the curriculum and a disposition toward life-long learning”. Proses pembelajaran efektif harus mampu menciptakan emosi dan motivasi positif dalam diri peserta didik. Mereka perlu dikondisikan agar terlibat secara lahir dan batin dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran perlu didesain dalam suasana penuh kegembiraan. Dalam suasana seperti ini mereka penuh perhatian, antusias dan merasa “ini aku banget”. Mereka berada dalam gelombang alfa yang membuat suasana sugestible. Apa pun materi yang disampaikan oleh seorang guru akan mudah dipahami sebab mereka lebih fokus dan konsentrasi.


Pendekatan selanjutnya adalah experiential, yaitu pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek pengalaman (experience), bukan pada penguasaan materi secara kognitif. Proses pembelajaran yang didesain dengan pendekatan ini lebih melibatkan peserta didik pada dunia nyata dan memecahkan problem realitas sekitar, bukan berbasis buku teks. Di antara pendekatan yang dapat kita gunakan adalah CTL, contextual teaching and learning, problem-based learning, dan project-based learning. Pendekatan ini sangat penting dalam proses internalisasi nilai-nilai positif sebab para peserta didik lebih mengalami secara langsung, bukan berwacana. Model pembelajaran ini lebih berdampak panjang dalam ingatan (long term memory) jika dibandingkan dengan model hafalan. Menurut Roth, Goulart, dan Plakitsi (2013) dalam Science Education during Early Childhood: A Cultural-Historical Perspective, pendidikan sains bagi anak usia dini seharusnya lebih diarahkan untuk lebih mengenal tentang realitas di sekitarnya. Meskipun buku ini lebih fokus pada PAUD, namun semua jenjang pendidikan yang lebih tinggi pun seharusnya menerapkan pembelajaran yang lebih kontekstual. Hal ini sangat penting agar mereka lebih mengenal berbagai peristiwa sains yang ada di sekitarnya sehingga mereka tahu bagaimana cara merawat, menjaga dan melestarikan alam sekitarnya. Proses ini merupakan pembiasaan kepada peserta didik agar kelak menjadi khalifah, yaitu orang yang mampu merawat dan melestarikan alam semesta, bukan merusaknya.


Sementara itu, pendekatan ketiga adalah embodied, yaitu pembelajaran yang mensyaratkan pentingnya melibatkan seluruh dimensi yang ada dalam diri peserta didik baik secara fisik-kinestetik, mental-psikologis, sosial, dan mental-spiritual. Menurut Abdurrahman Salih Abdullah, dalam Islamic Education: A Qur’anic Outlook, empat aspek yang ada dalm diri peserta didik perlu dikembangkan secara integratif dan komprehensif yaitu ahdaf al-jismiyyah (jasmani), ahdaf al-ijtima’iyyah (sosial), ahdaf al-’aqliyyah (intelektual), dan ahdaf al-ruhiyyah (mental-spiritual). Dengan pendekatan ini diharapkan proses pendidikan tidak berjalan secara mekanis-robotik yang tanpa ruh, namun harus dilakukan secara purposif dan bermakna. Hal ini sesuai dengan pandangan Martin Seligman dalam Beyond Authentic Happiness (2015), yang mengatakan bahwa salah satu cara untuk menjadi bahagia adalah pentingnya engagement, terlibat secara lahir dan batin dalam setiap aktifitas. Suasana pembelajaran seperti ini seharusnya dibiasakan sejak PAUD. Hal ini dipertegas oleh Hyson (2008), dalam Enthusiastic and Engaged Learners: Approaches to Learning in the Early Childhood Classroom, bahwa pelibatan dimensi fisik dan mental dalam pembelajaran anak usia dini sangat penting karena akan mempengaruhi karakter mereka ketika dewasa.

Meneruskan membaca: REBRANDING EDUCATION INSTITUTION IN DISRUPTION ERA: Happiness-Based Education [3]

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *