Memahami Nilai Kebahagiaan
Pada tahun 2016, penerbit Avery New York menerbitkan sebuah buku berjudul The Book of Joy: Lasting Happiness in a Changing World yang ditulis oleh His Holiness the Dalai Lama, Archbishop Desmond Tutu, dan Douglas Abrams. Buku ini adalah “an invitation to more joy and more happiness”, semacam undangan kepada kita agar lebih senang dan bahagia. Menurut buku ini, kebahagiaan ada di dalam pikiran dan hati kita, “It reside only in the human mind and heart and it is here that we hope you will find it.” Kita tidak perlu mencari kebahagiaan tersebut di tempat lain, sebab Allah sudah memberi kita portable paradise, surga jinjing, ke mana pun pergi kita selalu membawanya, yaitu ada di dalam hati kita. Hanya saja kita sering mencari kebahagiaan tersebut di luar diri kita. Kita sering melakukan outward looking misalnya mencari kebahagiaan di mal, pantai, bioskop, uang, atau jabatan. Anehnya, ketika kita mencari melalui hal-hal tersebut, bukan ketenangan dan kebahagiaan yang diperoleh, kita justru semakin menderita dan sengsara. Namun jika kita sering melakukan inward looking dan inner journey, kita akan menemukan kebahagiaan tersebut.
Menurut Dalai Lama, Desmond Tutu dan Douglas Abrams, joy lebih bersifat fundamental daripada happiness, sebab happiness lebih didorong oleh sesuatu yang bersifat eksternal, “happiness is an emotion in which one experiences feelings ranging from contentment and satisfaction to bliss and intense pleasure”. Kebahagiaan muncul karena ada sesuatu di luar diri kita yang menyenangkan. Sementara itu, joy muncul dari dalam diri kita sendiri, “joy is a source or cause of keen pleasure or delight, something or someone greatly valued or appreciated”. Joy tidak didasarkan pada apa yang terjadi tetapi lebih berkaitan dengan apa yang menjadi sumber bagi kehidupan. Karena sumber happiness adalah sesuatu yang di luar diri kita, ketika sesuatu tersebut hilang maka kita tidak lagi merasakan kebahagiaan. Hal tersebut berbeda dengan joy, di mana ia bersumber dari dalam diri, bukan karena pengaruh sesuatu di sekitar kita sehingga kualitas ini lebih berlangsung lama, bahkan ketika ada kejadian yang kurang menyenangkan pun kita tetap merasa sukacita.
…joy, di mana ia bersumber dari dalam diri, bukan karena pengaruh sesuatu di sekitar kita sehingga kualitas ini lebih berlangsung lama, bahkan ketika ada kejadian yang kurang menyenangkan pun kita tetap merasa sukacita
Dalai Lama, Desmond Tutu dan Douglas
Menurut Dalai Lama dan Desmond Tutu, ada delapan penghalang yang menyebabkan kita sulit mendapatkan kualitas sukacita (joy). Penghalang pertama adalah fear (ketakutan), stress (stres) dan anxiety (kecemasan). Hal ini menjadikan kita sangat gugup (nervous) ketika melakukan sesuatu. Penghalang kedua adalah frustrasi (frustration) dan kemarahan (anger). Kondisi ini menyebabkan kita seakan ingin berteriak sekencang-kencangnya. Penghalang ketiga adalah kesedihan (sadness) dan duka cita yang mendalam (grief). Kondisi ini merupakan masa-masa sangat sulit yang menjadikan kita merasa lebih disatukan agar lebih erat. Penghalang keempat adalah keputusasaan (despair) yang menjadikan kita merasa seakan dunia berada dalam kekacauan. Penghalang selanjutnya adalah kesepian (loneliness). Kondisi ini menjadikan kita seakan tidak terhubung dengan siapa pun. Penghalang berikutnya yaitu iri (envy). Kondisi ini disebabkan kita memasukkan hal yang bersifat material-duniawi ke dalam hati, sehingga ketika melihat orang lain yang lebih baik secara materi kita merasa iri. Penderitaan (suffering) dan kesulitan (adversity) adalah penghalang kualitas sukacita berikutnya. Sementara itu, penghalang terakhir dari perasaan sukacita adalah penyakit (illness) dan takut akan kematian (fear of death). Kondisi ini seperti berada di neraka, penuh dengan siksaan.
Menurut Dalai Lama dan Desmond Tutu, ada delapan pilar yang menjadi penyangga dari kualitas sukacita. Jika pilar ini kita jaga dan tegakkan, maka kita menjadi diri yang penuh dengan suka cita. Kedelapan pilar tersebut adalah perspective, humility, humor, acceptance, forgiveness, gratitude, compassion, dan generosity. Perspektif adalah pilar pertama dari kualitas sukacita. Perspektif dapat kita maknai dengan sudut pandang. Mengapa sudut pandang penting dalam meraih kualitas sukacita? Sebab, ibarat empat orang melihat binatang gajah dari arah atau sudut berbeda maka gambaran tentang binatang tersebut juga berbeda-beda. Jika kita memaksakan sudut pandang yang kita miliki, maka akan terjadi perbedaan dan benturan, bahkan konflik, namun jika melihat dan mempertimbangkan sudut pandang orang lain maka membuat pemahaman kita lebih utuh atau komprehensif dalam memandang sesuatu. Berbagai penghalang terhadap kualitas sukacita di atas dapat segera diatasi jika kita mempunyai banyak sudut pandang. Munculnya emosi negatif lebih disebabkan kita lebih banyak menghadapi persoalan dengan satu perspektif saja sehingga ketika perspektif tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah kita merasa sedih dan gagal, padahal ketika kita menggunakan banyak sudut pandang maka akan muncul beragam alternatif pemecahan.
Rendah hati (humility) adalah pilar kedua dari sukacita. Rendah hati adalah bersikap sederhana, apa adanya, tidak mengada-ada. Kita merasa bahwa semua manusia diciptakan sama oleh Allah karena itu tidak boleh ada orang yang menganggap diri lebih hebat daripada orang lain. Kita dilahirkan tidak mempunyai apa-apa dan ketika kembali kepada Allah juga tidak membawa apa-apa kecuali keimanan dan amal shalih masing-masing. Sikap rendah hati sulit diwujudkan sebab yang menjadi ukuran tentang sesuatu adalah hal yang bersifat material-duniawi. Jika kita memupunyai kesadaran bahwa semua dimensi material tersebut hanyalah lampiran dan kenikmatan dunia yang bersifat sementara, maka kita tidak neko-neko. Hal ini diingatkan QS. Ali ‘Imran ayat 14, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” Menurut ayat ini, semua lampiran materi di dunia hanyalah hiasan sementara, sebaik-baik tempat kembali adalah Allah semata.
Pilar sukacita ketiga adalah kualitas humor. Humor dapat diartikan sebagai kualitas mental terhadap sesuatu atau kondisi yang berhubungan dengan kelucuan, jenaka, menyenangkan dan dapat menyebabkan kita tertawa. Tertawa pada dasarnya hanya merupakan respons fisik terhadap humor. Untuk mendapatkan kualitas sukacita, kita perlu mempunyai sense of humor. Rasa humor merupakan bentuk emosi positif. Orang yang mempunyai kualitas ini mampu mengubah sudut pandang dari negatif menjadi lebih positif. Jika kita mempunyai kualitas ini, maka kita merasa senang dan akan menyenangkan orang-orang yang ada di sekitar kita. Masalah yang kita hadapi akan dilihat secara sederhana dan positif, bukan sebuah beban yang memberatkan. Orang yang mempunyai kualitas humor, menurut Abraham Maslow, maka dia mampu mengaktualisasikan diri secara positif.
Pilar keempat dari kualitas sukacita adalah acceptance (penerimaan diri). Kualitas penerimaan adalah menerima diri apa adanya. Kita tidak pernah mengeluh mengapa penuh dengan keterbatasan. Keterbatasan dan masalah yang kita miliki bagian dari rencana Allah. Jika kita mampu menerima realitas apa adanya, maka kita lebih berpeluang mempunyai kualitas sukacita. Kita tidak perlu meratapi atau menyesali masa lalu, sebab masa lalu tidak pernah dapat diulang, yang dapat dilakukan adalah menerima apa adanya dari masa lalu dan mengambil inspirasi, nilai dan pelajaran dari masa lalu tersebut. Kita menyadari bahwa semua peristiwa terjadi karena atas izin dan kehendak Allah, tidak ada seorang pun yang mampu menolak kehendak Allah. Karena itu, kita sering mendengar sebuah ungkapan, “orang hebat bukan orang yang tidak pernah mengalami kegagalan, namun orang yang mampu bangkit dari kegagalan, sebab dia mampu mengambil pelajaran penting dari kegagalan tersebut”. Allah tidak akan mungkin memberikan masalah atau beban di luar batas kemampuan kita, artinya semua masalah yang kita hadapi, pasti dapat diselesaikan asal kita selalu berpikiran positif dan bergantung hanya kepada Allah.
Pilar kelima dari sukacita adalah memaafkan (forgiveness). Memaafkan menjadi pilar dari sukacita sebab kita menyadari bahwa setiap orang mempunyai keterbatasan. Tidak ada satu pun manusia yang sempurna. Yang paling sempurna, dan tidak pernah salah hanyalah Allah. Karena itu, sebagai manusia kita pernah berbuat salah dan menyakiti orang lain. Sebaliknya, orang lain juga pernah berbuat salah dan mungkin pernah menyakiti kita. Dengan kesadaran ini, kita seharusnya segera menerima dan memaafkan semua kesalahan yang pernah kita lakukan dan dilakukan orang lain. Orang yang tidak mau memaafkan lebih disebabkan terbelenggu masa lalu, yang muncul adalah rasa dendam, selalu ingin membalas orang lain. Jika kita ibaratkan dendan kesumat tersebut sebagai beban, maka kita kemana-mana membawa beban tersebut. Memaafkan adalah proses meletakkan dan menghilangkan beban tersebut sehingga kita merasa lebih ringan. Yang lebih kita lihat adalah aspek kelebihan dan kebaikan orang lain, bukan kelemahan dan kesalahannya. Karena itu, menurut ajaran Islam kualitas memaafkan lebih tinggi derajatnya daripada meminta maaf.
Gratitude (rasa syukur) merupakan pilar sukacita yang keenam. Kualitas syukur artinya sikap menerima diri dan semua yang ada dalam diri kita apa adanya, kemudian menggunakannya untuk hal-hal yang positif. Rasa syukur juga muncul ketika kita merasa lebih beruntung daripada orang lain. Ketika kita menghadapi masalah, kita coba membandingkan masalah tersebut dengan orang lain yang masalahnya jauh lebih berat daripada yang kita hadapi. Rasa syukur menyadarkan kita bahwa kita tidak sendirian di dunia. Dengan kesadaran ini, kita akan ringan memberikan pertolongan kepada orang lain. Apa pun yang kita miliki disyukuri, diterima sebagai karunia agung dari Allah. Sikap syukur dilandasi oleh positive thinking. Dengan sikap ini kita akan lebih berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam hidup, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Karena itu, sangat wajar jika Allah berfirman bahwa “jika kamu sekalian bersyukur atas nikmat yang telah Aku berikan, maka Aku pasti akan menambah nikmat padamu, jika kamu sekalian mengkufuri nikmat-Ku, menutup diri tidak mau mensyukuri nikmat-Ku, maka Aku akan memberikan siksa yang pedih”.
Pilar ketujuh dari kualitas sukacita adalah compassion (welas asih). Welas asih artinya senang memberi, peduli dan berbagi dengan orang lain tanpa membeda-bedakan. Orang yang mempunyai welas asih mempunyai banyak keuntungan misalnya kita tidak merasa sendirian dalam hidup, muncul kesadaran bahwa masalah bisa datang setiap saat, kita mempunyai kepekaan terhadap orang lain, kita lebih kuat ketika menghadapi masalah, dan lebih toleran terhadap orang lain. Orang yang mempunyai rasa welas asih lebih bertanya, “apa yang bisa saya berikan kepada orang lain, bukan apa yang sudah saya peroleh atau dapatkan”. Perasaan welas asih mendorong kita untuk memberikan yang terbaik kepada pihak lain meskipun boleh jadi kita sebenarnya lebih membutuhkan saat itu. Kualitas ini mendorong kita untuk mau berkorban untuk kepentingan orang lain, tidak bersikap egois apalagi arogan.
Pilar terakhir dari suka cita adalah kedermawanan atau murah hati (generosity). Kualitas kedermawanan muncul karena kita merasa cukup dengan semua yang telah diberikan oleh Allah. Dengan perasaan ini kita melihat orang lain dalam posisi lebih membutuhkan daripada kita sehingga perlu ditolong atau dibantu. Sikap ini muncul karena kita bersikap legowo dan qana’ah terhadap milik kita. Dalam situasi sulit seperti munculnya wabah COVID-19, orang yang dermawan atau murah hati lebih banyak bersyukur dan berusaha untuk membantu orang lain yang mengalami kesulitan, bukan memanfaatkan kondisi untuk mengambil keuntungan diri sendiri alias aji mumpung. Seorang dermawan justru menjadikan sebuah musibah sebagai kesempatan emas untuk lebih banyak beramal untuk orang lain. Orang yang mempunyai kualitas ini dijamin hidupnya oleh Allah. Azim Jamal dan Harvey McKinnon dalam The Power of Giving mengatakan bahwa semakin banyak kita memberi kepada orang lain semakin banyak kita akan menerima kembalian energi positif dari Allah.
Delapan pilar di atas merupakan bentuk energi positif yang dapat mengantarkan kita menjadi diri yang lebih bersuka cita dan berbahagia. Perasaan positif ini menjadi salah satu syarat agar kita mempunyai kualitas bahagia yang otentik menurut Martin Seligman. Menurutnya, selain positive emotion, ada empat hal lain yang perlu kita miliki agar lebih merasakan kebahagiaan otentik yaitu engagement, relationship, meaning dan achievement. Engagement artinya ketika kita melakukan aktifitas terlibat secara lahir dan batin, bukan sekedar fisiknya saja. Jika kita melakukan kegiatan hanya secara fisik saja sedangkan pikiran dan hati tidak terlibat, maka kita akan merasa menderita, resah dan terpaksa dalam melangkah. Relationship artinya kesediaan membangun relasi dan berkomunikasi dengan orang lain secara positif, tanpa membeda-bedakan mereka. Semakin banyak relasi yang kita bangun atas dasar ketulusan, bukan karena modus, maka kita semakin bahagia. Meaning artinya kita selalu dapat memberikan makna positif dari setiap momen yang kita lalui. Semua momen yang kita lewati selalu kita maknai secara positif. Sementara itu, achievement artinya pencapaian kualitas jiwa yang positif dan selalu meningkat dari waktu ke waktu. Jika kelima hal, yang ditawarkan Seligman, tersebut kita miliki maka kita akan mempunyai kualitas kebahagiaan yang otentik.
Meneruskan membaca: REBRANDING EDUCATION INSTITUTION IN DISRUPTION ERA: Happiness-Based Education [4]