Menciptakan Happiness-Based Learning
Narasi tentang kebahagiaan dengan berbagai indikator dan dimensinya di atas merupakan bagian dari filosofi dan paradigma tentang kebahagiaan. Kualitas kebahagiaan tersebut bukan untuk sekedar dibicarakan secara diskursif, namun harus dirasakan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Thomas Lickona, ada tiga domain yang harus kita integrasikan agar kebahagiaan tersebut lebih dirasakan dan membumi, yaitu knowing the happiness (mengetahui nilai kebahagiaan), feeling the happiness (merasakan kebahagiaan), dan doing the happiness (menerapkan nilai kebahagiaan). Jika kita dapat memadukan ketiga matra tersebut, maka kita menjadi man of action dalam konteks kebahagiaan, orang yang mengamalkan kualitas kebahagiaan tersebut, bukan man of discourse, orang yang hanya berwacana tentang kebahagiaan saja.
…maka kita menjadi man of action dalam konteks kebahagiaan, orang yang mengamalkan kualitas kebahagiaan tersebut, bukan man of discourse, orang yang hanya berwacana tentang kebahagiaan saja.
Dr. Muqowim, M. Ag.
Untuk mengimplementasikan kualitas kebahagiaan dalam konteks lembaga pendidikan, terutama madrasah, paling tidak ada tiga hal yang harus disiapkan yaitu aspek kebijakan, aspek program, dan aspek sumber daya manusia. Dari aspek kebijakan, semua produk kebijakan yang dibuat oleh seorang kepala madrasah seharusnya lebih didasari untuk menghidupkan nilai kebahagiaan, jika memang nilai ini menjadi core values lembaga tersebut. Karena itu, kepala madrasah perlu menerapkan [happiness] value-based policy making, pembuatan kebijakan berbasis nilai kebahagiaan. Semua aspek kebijakan yang dibuat kepala madrasah diorientasikan untuk mewujudkan nilai kebahagiaan seperti pengembangan kurikulum, pengadaan fasilitas, pengadaan referensi di perpustakaan, pembinaan guru dan tenaga kependidikan, aspek kesiswaan, hubungan masyarakat, relasi dengan orangtua, dan anggaran. Berikut ini beberapa contoh kebijakan kepala madrasah berbasis nilai kebahagiaan.
No. | ASPEK KEBIJAKAN | NAMA KEGIATAN |
1. | Kurikulum | Workshop Inovasi Kurikulum Berbasis Nilai Kebahagiaan |
2. | Peserta Didik | MOS Berbasis Nilai Kebahagiaan |
3. | Fasilitas | Pengadaan Fasilitas Berbasis Nilai Kebahagiaan |
4. | Guru dan Tendik | Pelatihan Living Happiness |
5. | Hubungan Masyarakat | Membangun Jaringan dengan Stakeholder yang Mempunyai Konsen Mengembangkan Nilai Kebahagiaan |
6. | Orang Tua | AMT tentang Living HappinessMendidik Anak dengan Bahagia |
7. | Budgeting | Penggunaan Anggaran untuk Kegiatan yang dapat Menghidupkan Nilai Kebahagiaan |
Setelah kebijakan kepala madrasah yang mendukung terwujudnya nilai kebahagiaan di atas dibuat, langkah selanjutnya adalah menjabarkan kebijakan tersebut kedalam bentuk program dan kegiatan yang lebih spesifik. Program dan kegiatan ini semua didesain untuk menghidupkan nilai kebahagiaan meskipun yang menyelenggarakan berbeda, ada yang didesain guru, tenaga kependidikan, pengurus organisasi kesiswaan, orangtua, dan komite madrasah. Kegiatan yang didesain oleh guru untuk menghidupkan nilai kebahagiaan dapat berupa proses pembelajaran di kelas, luar kelas, bahkan luar madrasah. Ketika guru membuat RPP, apa pun matapelajaran yang diampu, semua didesain untuk menghidupkan nilai kebahagiaan. Karena itu, ketika memilih pendekatan dan strategi pembelajaran, yang perlu direnungkan terlebih dahulu adalah apakah pendekatan dan strategi tersebut dapat membiasakan nilai kebahagiaan atukah tidak. Ketika membuat desain kegiatan luar kelas dan luar sekolah pun guru seharusnya lebih menekankan pada aktifitas yang dapat menghidupkan nilai kebahagiaan, bukan sekedar membuat kegiatan. Hal ini termasuk tugas rumah, kegiatan kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Yang jelas, nilai kebahagiaan bukan menjadi materi pelajaran, kecuali beberapa matapelajaran yang “kebetulan” materinya tentang nilai kebahagiaan, tetapi yang lebih tepat nilai ini diintegrasikan melalui pendekatan dan proses pembelajaran. Berikut ini adalah di antara contoh strategi pembelajaran untuk membiasakan peserta didik dengan nilai kebahagiaan.
No. | PENDEKATAN/STRATEGI | LANGKAH PEMBELAJARAN |
1. | Project-Based Learning | Ketika mempelajari tentang QS al-Ma’un, siswa diminta untuk berbagi kebahagiaan kepada anak-anak yatim di dekat tempat tinggal merekaKetika pembelajaran bahasa Indonesia, siswa dapat diminta membuat pantuan atau puisi tentang kebahagiaanKetika matapelajaran akhlak, siswa diminta untuk menghidupkan nilai kebahagiaan selama tiga hari |
2. | Discovery Learning | Ketika pembelajaran Matematika, siswa dapat diminta menemukan berapa persen warga di RT-nya yang sudah menghidupkan nilai kebahagiaanKetika pembelajaran PKn, siswa dapat diminta menemukan indikator dari sila dalam Pancasila yang membuat orang bahagia. Mereka juga diminta menerapkan nilai tersebut di masyarakatnya |
3. | Problem-Based Learning | Siswa dapat diminta mengidentifikasi berbagai faktor yang menyebabkan masyarakat bahagia dan tidak bahagia. Ini bisa masuk dalam beberapa matapelajaran seperti IPS, Budaya Lokal, dan Rumpun Agama |
4. | Contextual Teaching and Learning (CTL) | Siswa dapat diminta untuk merefleksikan aktifitas olah raga yang membuat mereka bahagia |
5. | Everyone is a Teacher Here | Ketika belajar tentang sejarah, siswa dapat diminta merefleksikan peristiwa sejarah atau tokoh masa lalu yang menginspirasi tentang kebahagiaan |
6. | Gallery of Learning | Ketika belajar tentang matapelajaran Hadis, siswa diminta untuk menerapkan nilai dari matan hadis yang berkaitan dengan kebahagiaan |
7. | Modelling | Setiap kali memulai pembelajaran, apa pun matapelajarannya, guru memulai dengan inspirasi tentang kebahagiaan, bisa berupa cerita dari buku, pengalaman pribadi, atau tokoh yang membahagiakan. |
8. | Reflective | Dalam pembelajaran sejarah dan akhlak, guru dapat merefleksikan momen-momen yang membuat hidup lebih bahagia. Peserta didik kemudian diminta menerapkan nilai kebahagiaan tersebut di rumah masing-masing |
Bagi tenaga kependidikan seperti pegawai tata usaha, laboran, pustakawan, tukang parkir, penjaga kantin atau sopir, mereka harus mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang bahagia sehingga dapat dicontoh peserta didik. Setiap kali menyambut siswa, penjaga gerbang menyambut dengan penuh keceriaan, sebab sekolah bukan penjara yang dijaga dengan “muka garang”, sekolah adalah surga yang menggembirakan. Setiap kali melayani siswa, tenaga kependidikan menyambut dengan muka penuh keceriaan. Ungkapan, “ada yang bisa Saya bantu?” seharusnya menjadi suatu kebiasaan yang sudah lazim. Jika ada laporan siswa tentang tenaga kependidikan yang belum ramah dan belum membahagiakan, kepala madrasah dapat memberikan peringatan atau pelatihan. Ini bukan berarti tidak perlu ada aturan atau tata tertib di madrasah. Tata tertib dan peraturan dibuat bersama-sama di awal dan disepakati bersama sehingga implementasinya menjadi tanggung jawab semua pihak. Pustakawan perlu mengusulkan bacaan seperti buku dan majalah yang dapat membiasakan nilai kebahagiaan hidup di madrasah.
Sebagai sebuah sistem, proses pembelajaran melibatkan banyak komponen yang saling berkaitan seperti kurikulum, pendekatan, guru, sumber belajar, dan evaluasi. Dari berbagai komponen dalam sistem pembelajaran tersebut faktor guru sangat menentukan. Sebaik apa pun muatan kurikulum, ragam pendekatan dan strategi, sumber belajar yang variatif, dan kecanggihan fasilitas di sebuah lembaga pendidkan jika tidak didukung oleh profil guru yang berkarakter bahagia, maka semua komponen pendidikan tersebut tidak akan berfungsi secara maksimal dalam implementasi nilai kebahagiaan. Bagaimanapun guru adalah ruh atau model yang hidup dalam pendidikan, apalagi pendidikan karakter [kebahagiaan]. Peserta didik lebih mengikuti apa yang ditampilkan oleh guru sehari-hari. Ketika seorang guru menampilkan diri dengan karakter positif, maka peserta didik akan terbiasa dengan karakter positif juga. Sebaliknya, ketika seorang guru lebih menampilkan diri sebagai figur berkarakter negatif maka hal ini juga akan mempengaruhi karakter anak. Karena itu, dalam pendidikan karakter terutama nilai kebahagiaan di madrasah sangat diperlukan guru yang menjadi living happiness model, model kebahagiaan yang hidup.
Guru di madrasah, apalagi untuk jenjang PAUD merupakan garda akhir dalam proses pendidikan di usia emas sebelum anak memasuki pendidikan dasar. Jika di PAUD ini anak tidak dibiasakan dengan karakter positif, maka dapat dikatakan terjadi kegagalan dalam pendidikan karakter, sebab lebih delapan puluh persen karakter manusia terbentuk di usia ini. Semakin dewasa seorang anak semakin sulit membiasakan karakter, apalagi ketika sudah di perguruan tinggi. Karena itu, guru PAUD adalah ujung tombak dalam pendidikan karakter. Tentu mereka tidak menjadi sosok yang selalu dijadikan sebagai titik kesalahan atau dikambinghitamkan jika terjadi kemerosotan moral atau karakter, sebab ada komponen lain yang juga harus bertanggung jawab.
Yang paling utama, sebagaimana diuraikan di atas, sebenarnya adalah orangtua di rumah. Sebab, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama sebelum anak masuk di PAUD. Karena itu, orangtua sebenarnya menjadi sosok yang paling bertanggung jawab dalam pendidikan karakter anak usia dini selain guru PAUD. Hanya saja, secara formal, guru PAUD adalah yang paling berpengaruh. Guru di tingkat ini seharusnya menjadi penggerak perubahan dalam pendidikan karakter. Ketika ada karakter anak yang negatif karena dipengaruhi pola asuh di lingkungan keluarga, maka guru bertanggung jawab memperbaiki karakter negatif anak tersebut agar menjadi karakter positif. Untuk dapat menjadi seorang guru penggerak pendidikan karakter guru di PAUD harus mempunyai kualifikasi unggul, tidak cukup hanya berbekal kompetensi formal dari lembaga pendidikan tinggi.
Menurut Stephen R. Covey, dalam 7 Habits for Highly Effective People, untuk menjadi manusia unggul ada tujuh kebiasaan yang harus dimiliki. Jika tujuh kebiasaan unggul ini dimiliki guru madrasah, maka mereka akan menjadi seorang guru penggerak, terutama dalam pendidikan karakter. Ketujuh kebiasaan unggul tersebut adalah proaktif, goalsetting, prioritas, menang bersama, mendahulukan menghargai orang lain, sinergi, dan mengasah diri terus-menerus. Habit proaktif terkait dengan kesadaran pentingnya melakukan perubahan yang dimulai dari diri sendiri. Hal ini membedakan dengan budaya reaktif yang cenderung bergerak karena didorong oleh faktor sekitar. Menurut Daniel Goleman, proaktif bertolak dari self-awareness, kesadaran seseorang untuk memetakan potensi diri sehingga dia mengetahui persis siapa dirinya. Dalam konteks madrasah, habit proaktif antara lain tampak dari guru yang berinisiatif melakukan perubahan di lembaganya agar menjadi selalu lebih baik. Guru proaktif mempunyai kesadaran kritis dan mampu mengatasi masalah yang ada. Mereka tidak cukup hanya berdiam diri dengan kondisi yang ada, apalagi kondisi sekolahnya kurang kondisif. Tanpa diminta atau disuruh guru proaktif selalu membuat usulan perbaikan.
Habit proaktif diikuti dengan kebiasaan membangun mimpi atau tujuan hidup. Orang yang mempunyai tujuan hidup visinya jelas. Apa yang akan diraih dan dituju di masa depan dijabarkan dalam timeline yang jelas baik yang berjangka pendek, menengah maupun panjang. Dimensi yang akan dilakukan pun dipetakan secara jelas sehingga tampak mana yang penting dan prioritas dan mana yang kurang penting dan tidak mendesak. Orang yang punya mimpi jelas, menurut Ibrahim Elfiky, penulis buku best-seller Personal Power, melangkah lebih yakin dan pasti daripada orang yang tidak mempunyai tujuan. Di madrasah, arah pendidikan lebih jelas jika didasarkan pada rencana strategis yang jelas. Renstra pada dasarnya merupakan mimpi dan rencana yang akan diraih di masa depan. Madrasah yang mempunyai mimpi dengan yang tidak mempunyai mimpi langkahnya lebih terarah yang punya mimpi. Guru madrasah yang punya mimpi lebih berorientasi pada masa depan. Mereka termasuk solution-based teacher, guru berbasis solusi. Mereka jarang mengeluh karena keadaan yang ada, tapi mereka selalu optimis dengan masa depan. Hal ini berbeda dengan tipe problem-based teacher, guru berbasis masalah yang lebih fokus pada masa lalu atau masalah.
Habit ketiga adalah pentingnya prioritas. Habit ini diawali dari mimpi yang jelas. Mimpi yang jelas sangat mempengaruhi langkah yang akan diambil. Guru yang mempunyai kebiasaan memprioritaskan sesuatu pasti karena didasari oleh mimpi atau tujuan yang jelas. Dalam konteks pendidikan karakter untuk anak usia dini, guru yang memahami urgensi karakter untuk anak usia dini pasti akan segera diwujudkan melalui langkah konkret berupa kegiatan dan program. Seorang guru yang mempunyai komitmen dalam pendidikan karakter lebih memprioritaskan memulai diri sendiri dengan menjai contoh atau teladan karakter. Dia akan berusaha membiasakan diri dengan karakter positif agar bisa menjadi positive energy generator, sumber energi positif. Hanya dengan ini guru dapat menebarkan karakter positif. Guru sebagai positive energy transmitter, penebar energi atau karakter positif.
Habit selanjutnya untuk menjadi guru unggul adalah ingin menang bersama. Kebiasaan ini didasari oleh pandangan bahwa setiap orang diciptakan unik dan istimewa oleh Allah. Karena itu, sikap yang harus dilakukan adalah menghargai setiap orang. Di samping itu, dalam kehidupan Kita sehari-hari, kita tidak dapat melakukan perubahan sendirian. Bahkan prestasi yang kita raih pun tidak mungkin karena faktor diri sendiri, pasti melibatkan pihak lain baik secara langsung maupun tidak. Karena itu, yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan komunikasi, bukan kompetisi. Hal ini sesuai dengan paradigma pendidikan abad ke-21 yaitu kolaboratif dan komunikatif. Habit ini relevan dengan habit berikutnya yaitu lebih mendahulukan menghargai orang lain daripada minta dihargai. Habit ini hanya bisa diwujudkan jika kita lebih melihat orang lain dari aspek kelebihannya, bukan kekurangannya. Habit ini mengingatkan pada pandangan Jamal dan McKinnon, The Power of Giving, semakin banyak memberi, semakin banyak akan menerima. Kebiasaan ini lebih menekankan pada kemauan untuk lebih banyak memberi daripada menerima. Untuk konteks madrasah, karakter memberi ini perlu dibiasakan sejak kecil sebab akan berdampak pada masa depan mereka dan bangsa. Menurut ajaran Islam (QS. Al-Thalaq: 7), memberi adalah solusi dari setiap persoalan. Habit ini sangat penting diwujudkan di saat muncul gejala egoisme yang lebih menekankan kepentingan dirinya daripada kepentingan orang lain.
Kebiasaan unggul selanjutnya yang perlu dimiliki guru madrasah adalah sinergi dengan berbagai pihak untuk mewujudkan pendidikan karakter. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, ada banyak pihak yang seharusnya terlibat dalam pendidikan karakter di madrasah seperti orang tua di rumah, kepala madrasah, pemilik yayasan, pemerintah, tokoh masyarakat, dan pemilik media khususnya media sosial. Sinergi berarti kemampuan seseorang dalam membangun kebersamaan dan melihat orang lain dari aspek kelebihan. Hal ini berbeda dengan kompromi, sebab kalau kompromi satu ditambah satu boleh jadi hanya dua atau satu setengah, namun kalau sinergi satu ditambah satu boleh jadi menghasilkan sepuluh sebab yang lebih ditekankan adalah kelebihan seseorang. Bahkan, dalam sinergi bagi kita mungkin dianggap sebagai kelemahan namun dapat diubah sebagai kelebihan. Banyaknya kelebihan dan potensi yang kita miliki tersebut kemudian diolah menjadi sebuah kekuatan bersama. Dalam konteks implementasi pembiasaan karakter bahagia di madrasah, habit sinergi perlu dilakukan sebab pembumian nilai tersebut memerlukan kerjasama dan kolaborasi dari semua pihak yang mempunyai komitmen bersama. Akhirnya, habit unggul yang harus dimiliki oleh guru madrasah dalam penguatan pendidikan karakter kebahagiaan adalah kebiasaan belajar sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat ini secara teknis dapat dilihat dari komitmen guru untuk selalu menjadi figur berkarakter bahagia di mana pun berada, tidak hanya di madrasah, namun juga di rumah bahkan di masyarakat. Apa yang dikatakan, tuliskan, dan lakukan selalu mencerminkan karakter mulia. Guru tipe ini tidak berorientasi formalitas-administratif, namun lebih menekankan aspek kualitas. Kebiasaan unggul ini sesuai dengan prinsip kaizen yaitu continuous quality improvement, peningkatan diri secara terus-menerus (Maurer, 2013). Guru yang mempunyai kebiasaan ini terus belajar dengan siapa pun, tadak ada kata berhenti belajar.
Meneruskan membaca: REBRANDING EDUCATION INSTITUTION IN DISRUPTION ERA: Happiness-Based Education [5]